Sejarah Motif Parang Barong yang Dikenakan Sri Sultan Hamengkubuwana X Saat Menjamu Kaisar Naruhito dari Jepang
YOGYAKARTA, BABAD.ID | Stori Loka Jawa – Tahun lalu, pada 21 Juni 2023 lalu, Sri Sultan Hamengkubuwana X menyambut kunjungan Kaisar Naruhito dari Jepang di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kaisar Jepang tersebut disambut di Regol Dana Pratapa oleh Ngarsa Dalem dan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas tepat pukul 18.00.
Pada saat itu, Ngarsa Dalem X mengenakan busana Agengan Dalem Takwa lengkap dengan Kuluk Kanigoro, serta dipadukan dengan sinjang atau jarik motif Parang Rusak Barong.
Sejarah Motif Parang Rusak Barong
Menurut jurnal skripsi (Faturohmah, 2023) dijelaskan bahwa motif Parang Rusak Barong ini sejatinya adalah turunan dari motif parang selaku motif induk dari seluruh motif parang turunan yang ada.
Konon, motif ini muncul setelah pusat pemerintahan Jawa berpindah ke Mataram Islam setelah dari Demak dan Panjang. Pada waktu itu pemimpin kerajaan adalah Panembahan Senopati.
Panembahan Senopati selaku raja sering pergi bertapa atau bermeditasi di sekitaran Pantai Jawa untuk mendapatkan ketenangan dalam beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dari hasil pertapaannya ini, beliau mendapat sebuah ilham untuk menciptakan motif baru.
Dimana motif tersebut adalah motif parang rusak, yang memiliki makna kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak.
Seiring dengan berjalannya waktu, masa kepemimpinan berubah di tangan Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Sultan kemudian menciptakan motif baru dengan bentuk yang sama namun ukuran yang berbeda. Kemudian motif ini diberi nama parang rusak barong.
Larangan Penggunaan Motif Batik
Di Keraton Yogyakarta, terdapat sebuah hak yang diberikan kepada sultan yang memimpin untuk memilih satu motif yang menjadi motif larangan.
Sri Sultan Hamengkubuwana VIII memilih motif batik parang rusak barong ini sebagai motif larangannya.
Hal ini ditulis dalam Rijksblad van Djokjakarta tahun 1927 tentang Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Keraton Nagari Yogyakarta.
Alasan Motif Parang Rusak Menjadi Larangan
Motif parang rusak barong memiliki makna tinggi tentang kehidupan dan kepemimpinan. Oleh karena makna tersebut, akhirnya motif batik ini hanya boleh digunakan oleh sultan selaku pemimpin keraton.
Hal ini digambarkan dalam corak yang ada dalam batik tesebut, kiranya ada sekitar enam corak yang tergambar.
- Ombak yang saling menyusul digambarkan dengan bentuk intan
- Burung rajawali melambangkan wong agung
- Kepala dan paruh dalam burung memiliki makna kecerdasan
- Tuding menunjuk berarti petunjuk bagi rakyat
- Badan burung adalah gambaran dari kekuatan fisik seorang pemimpin
- Sayap burung menggambarkan kemampuan aktivitas dan mobilitas
Kesimpulan:
Pada 21 Juni 2023, Sri Sultan Hamengkubuwana X menyambut Kaisar Naruhito di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Upacara berlangsung di Regol Dana Pratapa pukul 18.00, dengan Sri Sultan mengenakan busana ageng dan sinjang bermotif parang rusak barong.
Motif parang rusak barong, diciptakan sejak era Panembahan Senopati dan dikembangkan oleh Sultan Agung, melambangkan kekuasaan, kebesaran, dan kewibawaan.
Di Keraton Yogyakarta, motif ini menjadi simbol eksklusif kepemimpinan dan hanya boleh digunakan oleh sultan, sebagaimana ditetapkan sejak masa Hamengkubuwana VIII pada 1927.
Maknanya tercermin dalam corak yang menggambarkan kebijaksanaan, kekuatan, dan kemampuan pemimpin mengayomi rakyat.
Referensi:
Faturohmah, I. H. (2023). Pemakaian Batik Parang Barong Pada Masa Sri Sultan Hamengkubuwana IX di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Tahun 1943-1988 M. Skripsi Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Penulis: Nadya Zuhri, mahasiswa Universitas Negeri Semarang yang belajar melestarikan budaya.
Posting Komentar