Apa Itu Sangkan Paraning Dumadi? Mengenal Sumbu Filosofis Keraton Yogyakarta

Daftar Isi

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Keraton Yogyakarta masih sangat kental dengan budaya dan tradisinya ya sedulur.

Hal ini tentu tidak lepas dari pengaruh keluarga Keraton dan juga masyarakat Yogyakarta.

Sikap masyarakat Keraton Yogyakarta ini juga tidak lepas dari sumbu filosofis Keraton Yogyakarta yang dikenal juga dengan Sangkan Paraning Dumadi.

Dalam artikel ini akan dijelaskan mengenai sumbu filosofis Keraton Yogyakarta. Simak pembahasannya di sini!

Nilai Kebudayaan dalam Tata Letak Kota

Dikutip dari artikel Permadi yang berjudul “Empat Jalan Menuju Ketuhanan: Memahami Sumbu Filosofis Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan”, nilai kearifan lokal Keraton terus dilestarikan.

Nilai-nilai kearifan lokal yang sarat akan makna pelajaran di dalam kehidupan masyarakat Jawa tidak hanya terbatas kepada aturan berperilaku sosial saja. 

Lebih dari itu nilai pelajaran yang dicurahkan dari kebudayaan Jawa juga terdapat pada tata kotanya. 

Dalam hal ini adalah tata letak pembangunan Keraton Yogyakarta. 

Seperti yang kita pahami bahwa Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. 

Batas wilayah dari dua kerajaan yang masih bersaudara ini adalah Kali Opak pinggiran kompleks Candi Prambanan. 

Terbelahnya Jawa ini ditandai dengan adanya Perjanjian Giyanti yang terjadi pada tanggal 13 Februari 1755.

Sumbu filosofis yang mengandung unsur kosmologi di Keraton Yogyakarta sebetulnya adalah sebuah garis lurus berupa jalan yang menghubungkan antara Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, dan Tugu Yogyakarta. 

Sumbu filosofis yang menghubungkan tiga hal tersebut mendeskripsikan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Sang Pencipta, hubungan manusia dengan manusia yang lainnya, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. 

Setiap hubungan-hubungan tersebut bertaut satu garis yang lurus. Simbolisasi-simbolisasi ini sering dijumpai dalam kebudayaan Jawa. 

Pada akhirnya simbolisasi tersebut melahirkan berbagai mitos pada masyarakat Jawa

Mitos yang berkembang tersebut atau dijaga oleh masyarakat setempat agar terhindar dari mara bahaya. 

Selain itu upaya masyarakat setempat untuk menjaga mitos yang telah berkembang juga dipengaruhi oleh adanya fakta bahwa mereka berupaya menjaga keselarasan sosial.

Pangeran Mangkubumi yang menjadi Sultan pertama Keraton Yogyakarta dalam upaya membangun Keraton tersebut menempatkan manusia menjadi titik sentral kehidupan di alam semesta ini. 

Beliau menjadikan manusia sebagai aspek terpenting dalam menyusun cara pandang manusia Jawa terhadap hidup dan kehidupan. 

Hal inilah yang menjadikan kebudayaan Jawa begitu memandang posisi manusia di alam ini. 

Proses terjadinya kehidupan manusia menjadi hal yang cukup penting untuk dipahami, khususnya berkaitan dengan bagaimana manusia berawal, bagaimana manusia menjadi seorang manusia, dan bagaimana manusia berakhir.

Sumbu Filosofis Keraton Yogyakarta

Sumbu filosofis di Keraton Yogyakarta ini setidaknya terdapat dua hal yang ingin disampaikan. 

Pertama adalah sumbu filosofis yang menghubungkan dari Panggung Krapyak dengan Keraton Yogyakarta. 

Sumbu ini adalah sebuah simbolisasi dari konsep Sangkaning Dumadi

Pada sumbu pertama ini merepresentasikan sebuah laku (perjalanan) seorang manusia bagaimana dirinya dilahirkan, tumbuh remaja, dewasa kemudian memperoleh pasangan hidup. 

Kedua adalah sumbu filosofis yang membentang dari Tugu Pal Putih atau yang kini kita kenal dengan nama Tugu Jogja menuju Keraton Yogyakarta. 

Pada sumbu kedua ini, Sultan hendak memberikan simbolisasi terkait perjalanan manusia yang telah dewasa menuju Sang Pencipta. 

Dalam istilah Jawa ini dikenal sebagai Paraning Dumadi.

Simbolisme Sangkaning Dumadi

Simbolisme pertama yang hendak Pangeran Mangkubumi berikan adalah simbolisme sangkaning dumadi. 

Hal ini tergambar jelas melalui sumbu yang membentang dari Panggung Krapyak sampai dengan Keraton Yogyakarta. 

Di sini beliau hendak menggambarkan perjalanan seorang manusia dari lahir, hidup dewasa sampai dengan membangun rumah tangga. 

Panggung Krapyak sendiri adalah sebuah lambang dari rahim seorang wanita. 

Panggung Krapyak ini pun juga dijadikan sebagai penggambaran dari Yoni atau alat kelamin wanita. 

Melalui panggung ini hendak disimbolkan awal terjadinya manusia yang berasal dari rahim (Gua Garba) seorang ibu sebelum dirinya terlahir di dunia. 

Untuk itulah kampung yang berada di sekitar Panggung Krapyak ini diberi nama Kampung Mijen. Mijen berasal dari kata wiji yang berarti biji atau benih.

Setelah melewati Panggung Krapyak, kita diarahkan pergi ke Alun-Alun Kidul. 

Jalan menuju Alun-Alun Kidul atau (selatan) ini ada lima yang secara keseluruhan melambangkan telah berfungsinya lima panca indra manusia dengan baik. 

Hal ini menandakan bahwa individu tersebut telah mencapai tahap dewasa dan siap untuk membentuk sebuah keluarga baru. 

Untuk itulah konsep Sangkaning Dumadi berhenti pada kompleks Keraton Yogyakarta. 

Di mana kompleks tersebut menyimbolkan bersatunya dua individu membentuk keluarga baru.

Simbolisme Paraning Dumadi

Kemudian istilah Paraning Dumadi dipersonifikasikan perjalanan dari Tugu Jogja atau Tugu Pal Putih menuju Keraton Yogyakarta. 

Paraning dumadi ini melambangkan sebuah perjalanan seorang manusia yang telah dewasa mengalami masa tua dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. 

Perjalanan dari Tugu Pal Putih menuju Keraton Yogyakarta ini melewati beberapa jalan yang secara berurutan adalah dari Jalan Margautama.

Kemudian Jalan Maliabara, Jalan Margamulya, Jalan Panguraan, dan akhirnya berhenti di Keraton Yogyakarta.

Perjalanan awal manusia dalam usaha penghadap kembali kepada Sang Penguasa diawali dari Tugu Pal Putih atau Tugu Yogyakarta. 

Tugu Pal Putih ini dahulu dikenal dengan Tugu Golong Giling. 

Tugu Yogyakarta seperti yang kita lihat sekarang adalah bangunan baru, tugu yang asli buatan Pangeran Mangkubumi adalah Tugu Golong Gilig. 

Tugu Golong Gilig ini memiliki makna manunggaling kawulo gusti

Selain menjadi simbol Manunggal-nya manusia dengan Sang Pencipta, tugu ini juga menyimbolkan manunggal-nya raja dengan rakyatnya.

Perjalanan dari Tugu Pal Putih menuju Keraton Yogyakarta diawali dari Jalan Margautama. 

Jalan Margautama ini berarti jalan menuju keutamaan. Dari Jalan Margautama, kemudian berganti menjadi Jalan Maliabara. 

Jalan ini menyimbolkan bahwa seseorang harus maliabara yaitu berubah dengan hidup membawa obor kehidupan (ajaran para wali). 

Jalan selanjutnya adalah Jalan Margamulya. Jalan ini menyimbolkan sebuah upaya seseorang memperoleh kemuliaan. 

Setelah Jalan Margamulya, untuk dapat kembali kepada Sang Pencipta seseorang harus melewati jalan bernama Jalan Pangurakan. 

Jalan ini menjadi sebuah simbol upaya seseorang mengusir nafsu-nafsu keduniawian yang ada pada dirinya. 

Akhir dari perjalanan seseorang dalam mendekatkan diri kepada Sang Pencipta adalah bermuara di Keraton Yogyakarta. 

Keraton ini adalah simbolisasi dari suasana sakral yang tercipta karena telah menyatu dengan Sang Penciptanya.

Sumbu filosofis Keraton Yogyakarta berkaitan dengan tata letak Kota Yogyakarta yang menghubungkan antara Panggung Krapyak, Tugu Jogja, dan Keraton Yogyakarta.

Sumbu filosofis Keraton Yogyakarta yang dikenal dengan istilah Sangkaning Dumadi merepresentasikan kehidupan manusia sejak lahir hingga menikah.

Sumbu kedua dikenal dengan istilah Paraning Dumadi memberikan simbolisasi perjalanan manusia menuju Sang Pencipta.


Referensi

Permadi, D.P. (2024). Empat Jalan Menuju Ketuhanan: Memahami Sumbu Filosofis Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan. NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam, 21 (1), 1-20. 


Penulis: Fauzan Ansori, Mahasiswa Teknologi Pendidikan UNNES sekaligus penggemar keluarga Keraton Yogyakarta.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar