Seri Kisah Hidup Sultan Jogja: Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Dari Pangeran Keraton Yogyakarta Hingga Pangeran Dalam Republik

Daftar Isi

 

YOGYAKARTA, BABAD.ID | Stori Loka Jawa – Sedulur, tahukah kalian bahwa salah satu Sultan Yogya dari Keraton Yogyakarta  pernah menjadi pegawai negeri sipil dan menjadi bapak Pramuka Indonesia?

Beliau adalah Raja/Sultan Keraton Yogyakarta ke-9, Sri Sultan Hamengkubuwana IX. 

Ia dinilai telah memberikan kontribusi yang berarti bagi NKRI, antara lain memberikan dukungan materil, ruang, dan pendanaan, serta dianugerahi Penghargaan Pahlawan Nasional.

Kita patut membaca kisah hidup Sri Sultan Hamengkubuwana IX yang sangat dermawan. Pelajari dan manfaatkan kisah-kisah bagusnya.

Lalu bagaimana kisah Sri Sultan Hamengkubuwana IX yang beralih dari putra mahkota menjadi pegawai negeri? Simak penjelasannya dibawah ini! 

Baca Juga: Sri Sultan Hamengkubuwana IX: Pemimpin Visioner yang Menghidupkan Keraton Yogyakarta di Era Modernisasi


Kehidupan Pribadi

Sri Sultan Hamengkubuwana IX lahir di Ngasem, Songpilan, Yogyakarta dengan nama anak Gusti Raden Mas (GRM) Dorojatun. Ia merupakan anak kesembilan dari Gusti Pangeran Purboyo dan istri pertamanya Raden Ajeng Kustilah.

Sebelum berumur tiga tahun, Gusti Pangeran Purboyo diangkat menjadi putra mahkota. Dan pada tahun 1915, ibu GRM Dorojatun Raden Ajeng Kustilah mendapat gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom.

Namun KRA Adipati Anom dipulangkan ke rumah ayahnya sekitar tahun 1918-1919 sebelum menjadi ratu. Alasan deportasi ini adalah putusnya hubungan antara KRA Adipati Anom dengan mertuanya. 

Dikutip dari website Universitas Stekom Hamengkubuwana IX, Romo Tirun mengatakan alasan kepulangannya karena KRA Adipati Anom merupakan keturunan Untung Suropati yang merupakan musuh Belanda, dan kejadian itu bertujuan untuk melindungi KRA Adipati Anom.

Ketika GRM Dorojatun berumur empat tahun, ayahnya memerintahkan dia untuk  tinggal jauh dari istana. Dorojatun kecil menangis keras dan terus memeluk salah satu pilar istana sebelum ditarik pergi.

Selanjutnya, GRM Dorojatun muda tinggal bersama keluarga Mulder sebagai kepala Sekolah Neutrale Holland Javaansche Jongens School di daerah Gondokusuman.

Saat tinggal bersama keluarga Mulder, ia diberi julukan Henky (Henk Kecil) yang diambil dari nama Pangeran Hendrik dari Belanda. Julukan ini ia gunakan hingga bersekolah dan kuliah di Belanda.

Henky menerima pendidikan pertamanya di TK Fribel School kemudian melanjutkan di sekolah dasar di Eerste Europa Lager School B.

Setahun kemudian dia pindah ke perkebunan keluarga Koch dan bersekolah di sekolah Neutrale Europeesche Lagere sampai lulus pada bulan Juli 1925. 

Ia duduk di bangku sekolah tahun ketiga ketika ayahnya diangkat menjadi Raja Hamengkubuwana VIII.

Di sekolah inilah ia bertemu dan berteman dengan Sultan Hamid II yang saat itu dikenal dengan nama Musa.

Dorojatun mendapat pendidikan lanjutan di Hoogere Burger School (HBS) Semarang mulai Juli 1925. Saat itu, dia tinggal bersama keluarga Voskuil yang menjadi sipir penjara di Semarang.

Ayahnya memindahkannya ke HBS Bandung pada tahun 1928 karena ia merasa iklim Semarang sangat panas dan tidak cocok untuk Dorojatun.

Di sana ia dan saudaranya BRM Tingart tinggal bersama Letnan Kolonel de Boer, seorang tentara Belanda.

Sebelum menyelesaikan pendidikan menengahnya di HBS Bandung, Sri Sultan Hamengkubuwana VIII memerintahkan dirinya dan adiknya untuk belajar di Belanda. 

Pada bulan Maret 1930, mereka berangkat menyeberangi laut, ditemani oleh keluarga Hofland, manajer pabrik gula di Gesikan.

Mereka berdua bersekolah di Gymnasium atau Lyceum Haarlem, yang dibentuk dari penggabungan dua lembaga pendidikan berbeda, yaitu Hogere Burger School B (HBS-B) dan Gimnasium Stedelijk.

Keduanya tinggal di asrama milik kepala sekolah, Mourik Broekman. 

Karena perbedaan kualitas pendidikan dengan Hindia Belanda, ia harus mengulang pelajaran dari dua kursus di Haarlem.Menurut catatan sejarah, dia bukanlah siswa yang istimewa atau siswa yang berprestasi. 

Meski nilainya relatif bagus, ia harus mengulang beberapa mata pelajaran sebanyak dua kali, termasuk geometri dan trigonometri.

Kedua siswa tersebut berhasil lulus dari sekolah ini pada tahun 1934. Setelah lulus, mereka pindah ke Leiden dan mendaftar di Universitas Rijksuniversiteit Leiden (sekarang dikenal sebagai Universitas Leiden).

Mereka mempelajari Indologi yang membahas administrasi kolonial, studi etnis, dan sastra Hindia Belanda.

Namun, setelah invasi Jerman ke Polandia pada tahun 1939, ia dan saudara-saudaranya  di luar negeri harus kembali ke Yogyakarta sebelum ia dapat menyelesaikan tesis doktoralnya, karena keluarganya memanggilnya kembali.

Tesis doktoralnya yang hampir selesai dibawa ke Jawa dalam bentuk manuskrip.

Tetapi sayangnya naskah tersebut hilang dan hanya tersisa judul saja yaitu “Kontrak Politik antara Sunan Solo dan Pemerintah Belanda''.

Hingga sampai akhir hidup Sri Sultan Hamengkubuwana IX, beliau tidak mendapatkan gelar dari universitas karena tidak sempat untuk menghadiri upacara wisuda.

GRM Dorojatun dilantik pada tanggal 18 Maret 1940 sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono IX setelah berlakunya perjanjian politik dengan Pemerintah Hindia Belanda.

Gubernur Lucien Adam, seorang pejabat senior Hindia Belanda dan ahli adat istiadat Jawa memberikan dua gelar sekaligus kepada GRM Dorojatun yaitu

  1. Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Narendra Mataram, sebagai gelar Putra Mahkota, dan
  2. Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga

Pada upacara penobatan Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Sri Paku Alam, KGPAA Mangkunegara dan dua orang pangeran Solo turut serta. Gubernur H.J. Semarang dan Gubernur Solo Van Mook turut hadir.

Sri Sultan Hamengkubuwana IX diketahui memiliki 5 istri yaitu

  1. Bendara Raden Ayu Pintakapurnama / Kanjeng Raden Ayu Pintakapurnama, putri Raden Bagus Suryokusumo (kakek buyut Hamengkubuwana VI)
  2. Raden Ayu Siti Kustina/ Bendara Raden Ayu Widyaningrum/ Kanjeng Raden Ayu Widyaningrum/ Raden Ayu Adipati Anom, putri Raden Wedana Puwowinoto (buyut Hamengkubuwana III)
  3. Kanjeng Raden Hastungkara/ Bendara Raden Ayu Kusyadinah, putri Raden Panji Trusthajumena (buyut Hamengkubuwana VII)
  4. Kanjeng Raden Ayu Ciptamurti, putri KPH/BRA Brotodiningrat (cucu Hamengkubuwana VII)
  5. Norma Musa/ KRA Norma Nindya Kirana, putri Musa Alimad (1975)

Dari kelima pernikahannya, beliau dikaruniai 15 orang putra dan 6 orang putri. Salah satu putra beliau yang keenam dari RA Siti Kustina kelak diangkat dan bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana X.

Baca Juga: Peran dan Kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwana IX Terhadap Kedaulatan NKRI di Awal Kemerdekaan


Masa Pemerintahan

Dikutip dari website kratonjogja.id berjudul “Sri Sultan Hamengku Buwono IX”, pada tahun 1939, peta politik dunia berubah dengan cepat dan tanda-tanda Perang Dunia II semakin terlihat jelas.

Mengingat hal tersebut, Sri Sultan Hamengkubuwana VIII memutuskan untuk memanggil GRM Dorojatun pulang ke rumahnya, meskipun ia belum menyelesaikan  pendidikannya. 

Setibanya di tanah air, ia diterima langsung oleh Sri Sultan Hamengkubwana VIII yang langsung menghadiahkan keris Kyai Joko Piturun sebagai atribut putra mahkota.

Jalannya menuju takhta tidaklah mudah, karena sudah menjadi bagian dari sejarah Mataram bahwa calon raja Yogyakarta yang baru harus menandatangani perjanjian bersama dengan Belanda.

Politisi tinggi Belanda Dr. Lucien Adam yang berusia 60 tahun, harus berdebat panjang dengan GRM Dorojatun, yang baru berusia 28 tahun. Perdebatan berlangsung alot yang disebabkan oleh beberapa hal berikut:

  1. GRM Dorojatun tidak setuju jabatan Patih merangkap pegawai kolonial, hal ini agar tidak ada konflik kepentingan
  2. Beliau tidak setuju dewan penasehatnya ditentukan oleh Belanda
  3. Beliau juga menolak pasukan/prajurit keraton mendapat perintah langsung dari Belanda.

Empat bulan kemudian, setelah kesepakatan gagal, GRM Dorojatun tiba-tiba berubah pendirian. Dia menerima segalanya tentang Dr. Lucian Adams.

Ia kemudian mengatakan bahwa keputusan ini didasarkan pada bisikan bahwa Belanda akan segera meninggalkan tanah Mataram dan yang perlu mereka lakukan hanyalah menandatangani usulan perjanjian tersebut.

Pada tanggal 12 Maret 1940, di Tratag Prabaeksa, ia segera menandatangani Perjanjian Politik dengan Belanda yang terdiri dari 17 bab dan 59 pasal, tanpa membacanya lagi. Perjanjian ini berlaku sejak aksesi GRM Dorojatun  pada tanggal 18 Maret 1940.

Dua hari setelah penobatan Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Ketika Jerman berhasil menduduki wilayah Belanda, pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk mengumpulkan dana militer dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX.

Gubernur Adam di Yogyakarta mengadakan panitia pendukung dengan sumbangan 2.000 gulden dari Hamengkubuwana IX, 3.000 gulden dari Kesultanan Yogyakarta, dan 1.500 gulden dari Pakualaman.

Pada tanggal 6 Desember 1941, setelah penyerangan Pearl Harbor, Gubernur Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang.

Gubernur Adam membuat rencana seandainya Jepang menyerang Hindia Belanda. Dari sini, empat penguasa diketahui diajak melarikan diri ke Australia oleh Belanda. Namun Sri Sultan Hamengkubuwana IX menolak undangan tersebut dan menyatakan akan tetap berada di Yogyakarta.

Singkat cerita, ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberikan ucapan selamat kepada para proklamator melalui telegram.

Dua minggu kemudian, tepatnya pada tanggal 5 September 1945, ia bersama Raja Paku Alam VIII mengeluarkan proklamasi yang menyatakan wilayah Yogyakarta menjadi bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Langkahnya mendapat dukungan penuh, terbukti dengan dedikasi penuh masyarakat Yogyakarta. Tak lama kemudian, Indonesia baru menghadapi tekanan dari pemerintahan kolonial yang kembali.

Melihat hal itu, Sri Sultan Hamengkubuwana IX mengajak tokoh-tokoh dari seluruh dunia untuk pindah ke Yogyakarta dan menyatakan bahwa Yogyakarta siap menjadi ibu kota republik yang baru berdiri.

Pada masa Pemerintahan Republik Indonesia berkedudukan di Yogyakarta, seluruh pendanaan diambil dari Kas Istana.

Meliputi gaji Presiden/Wakil Presiden, staf, operasional TNI, serta biaya perjalanan dan penginapan bagi delegasi yang dikirim ke luar negeri.

Baginya, ini adalah bagian dari perjuangan. Ia pun menginstruksikan para penerusnya untuk tidak menghitung, apalagi meminta, pengembalian aset istana yang telah diberikan kepada NKRI saat itu.

Sri Sultan Hamengkubuwana IX juga membantu meyakinkan para pemimpin negara bahwa Indonesia masih ada dan masih menjadi bagian dari negara ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan pada tahun.

Seiring berkembangnya Republik Indonesia sebagai negara, beliau telah mengabdikan diri dalam berbagai posisi. 

Dikutip dari website Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwana IX pernah menjabat sebagai;

  1. Kepala dan Gubernur Militer Daerah Istimewa Yogyakarta
  2. Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III
  3. Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II
  4. Menteri Negara pada Kabinet Hatta I
  5. Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II
  6. Menteri Pertahanan pada masa RIS
  7. Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir
  8. Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan
  9. Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata
  10. Menteri Koordinator Pembangunan
  11. Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi, dan
  12. Wakil Presiden Indonesia yang kedua pada tahun 1973

Tepat pada 2 Oktober 1988 malam saat berkunjung ke Amerika, Sri Sultan Hamengkubuwana IX wafat di Goerge Washington University Medical Center. Beliau dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-raja di Imogiri.

Baca Juga: Wejangan dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX yang Selalu Diingat GKR Hemas: Bukan Dikenang Saja, Tapi Saya Pegang


Karya dan Peninggalan

 

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana IX, membangun Selokan Mataram yang merupakan bangunan paling monumental. 

Jalur air ini menghubungkan sungai Progo dan Opak yang membelah Yogyakarta dari barat ke timur. Proyek ini telah menyelamatkan banyak warga Yogyakarta dari program pasca kerja Romusha Jepang.

Di bidang pendidikan, Sri Sultan Hamengkubuwana IX mendukung penuh berdirinya Universitas Gadjah Mada. Universitas ini telah banyak melahirkan orang-orang berbakat baik dalam negeri maupun internasional.

Awalnya, universitas menggunakan ruang acara dan bangunan lain di dalam dan sekitar keraton sebagai tempat belajar mengajar. 

Sejalan dengan perkembangan universitas tersebut, sultan membangun gedung induk universitas di Burak Sumur yang diberi nama Baralun UGM yang dirancang langsung oleh Presiden Sukarno.

Beliau juga aktif dalam organisasi pramuka sejak kecil dan menjadi pandu agung (pemimpin pramuka) pada tahun 1960an. Pada tanggal 14 Agustus 1961, beliau dianugerahi Panji Kepramukaan dan defile.

Kesuksesan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dibuktikan dengan menerima Penghargaan Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) pada tahun 1973, sebagai pengakuan atas prestasinya dalam membangun gerakan Pramuka pada masa transisi dari "kepanduan" menjadi "Pramuka".

Seperti semua raja sebelumnya, ia juga berkontribusi pada bidang seni. Terinspirasi dari kisah Wayang Golek, ia menciptakan tari klasik Golek Menak yang menonjolkan ciri khas gerak tari gaya Yogyakarta.

Karya lainnya yaitu tarian 'Bedhaya Sapta' dan 'Bedhaya Sangaskara (Manten)'.

Sri Sultan Hamengkubwana IX atas berbagai prestasinya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, diberikan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 053/TK/Tahun 1990.

Baca Juga: Mengenal Sosok Sri Sultan Hamengkubuwana IX dari Kacamata GKR Hemas: Sangat Powerful, Adil, Nggak Pernah Memarahi Putranya di Depan Mantu


Kesimpulan

Gusti Raden Mas (GRM) Dorojatun atau  lebih dikenal dengan Sri Sultan Hamengkubuwana IX lahir pada tanggal 12 April 1912 di Yogyakarta.

Ia merupakan putra kesembilan dari istri kelima Sri Sultan Hamengkubuwana VIII, Raden Ajeng Kustilah/Kanjeng Ratu Alit.

Ia meninggal pada tanggal 2 Oktober 1988  di Washington, DC, AS, pada usia 76 tahun. Ia dimakamkan di kompleks Pemakaman Raja di Imogiri, di mana ia diantar oleh massa yang berkabung.

Beliau merupakan seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Yogyakarta, dan setelah Indonesia merdeka, beliau menjabat sebagai gubernur pertama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ia juga  menjabat sebagai wakil presiden kedua Indonesia pada tahun 1973 hingga 1978.


Referensi

…. Sri Sultan Hamengkubu Buwono IX. [Online]. https://www.kratonjogja.id/raja-raja/10-sri-sultan-hamengku-buwono-ix/ - diakses pada 11 Desember 2024

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. Menteri – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. [Online]. https://www.ekon.go.id/profil/menteri-detail/21/sri-sultan-hamengkubuwono-ix - diakses pada 11 Desember 2024

Universitas STEKOM. Hamengkubuwana IX. [Online]. https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Hamengkubuwana_IX - diakses pada 11 Desember 2024


Penulis: Laila Immatun Nissak, Mahasiswa Pendidikan berdarah Jawa yang menyukai Yogyakarta dan seisinya 

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar