Sri Sultan Hamengkubuwana I: Sang Pendiri dan Pembangun Keraton Yogyakarta

Daftar Isi

YOGYAKARTA, BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Kehidupan Indonesia yang dirasakan oleh para sedulur saat ini tentu karena ada sosok pendiri dan pembangun negara ini.

Begitu pula dengan Keraton Yogyakarta, tentu ada sosok yang menjadi pendiri dan pembangun Keraton Yogyakarta. Sosok itu bernama Sri Sultan Hamengkubuwana I

Lalu, bagaimanakah perjalanan hidup Sri Sultan Hamengkubuwana I dalam mendirikan dan membangun Keraton Yogyakarta?

Dalam artikel ini akan diulas mengenai kehidupan Sri Sultan Hamengkubuwana I. Simak jawabannya di bawah ini.

Baca Juga: Seri Kisah Hidup Raja Jogja: Menelisik Awal Mula Berdirinya Keraton Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I


Nama Kecil Sri Sultan Hamengkubuwana I

Dikutip dari kratonjogja.id, Sri Sultan Hamengkubuwana I dikenal dengan nama Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi, yang nama aslinya adalah Bendara Raden Mas Sujono, dilahirkan pada 5 Agustus 1717. Ia merupakan keturunan Sunan Amangkurat IV dari ibu bernama Mas Ayu Tejawati

Sejak kecil, BRM Sujono dikenal sangat cakap dalam olah keprajuritan. Beliau mahir bermain senjata dan berkuda.

Selain itu, beliau juga dikenal taat beribadah sambil tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya Jawa.

Berkat kecakapan itulah, ketika paman beliau yang bernama Mangkubumi wafat pada 27 November 1730, beliau diangkat sebagai Pangeran Lurah.

Pangeran Lurah merupakan sebutan bagi pangeran yang dituakan di antara para putra raja.

Kelak, ketika dewasa, beliau juga menyandang nama yang sama dengan pamannya. BRM Sujono kemudian lebih dikenal dengan Pangeran Mangkubumi.

Mengenai ketaatan beribadah Pangeran Mangkubumi secara rinci dikisahkan di dalam Serat Cebolek. 

Dalam serat tersebut digambarkan bahwa beliau memiliki kebiasaan puasa Senin-Kamis, salat lima waktu, dan mengaji Al Quran.

Dikisahkan juga bahwa Pangeran Mangkubumi gemar mengembara dan mendekat kepada masyarakat serta memberikan pertolongan kepada yang lemah.

Sikap beliau ini menghasilkan loyalitas yang mendalam di antara para pengikutnya.

Pada 1746, ketika beliau mengangkat senjata melawan VOC, Pangeran Mangkubumi memiliki pengikut sebanyak 3.000 prajurit.

Pada 1747, jumlahnya meningkat pesat menjadi 13.000 prajurit yang diantaranya terdapat 2.500 pasukan berkuda.

Kesediaan dan kesetiaan mengikuti Pangeran Mangkubumi ini kian meluas ke masyarakat umum pada 1750.

Baca Juga: 3 Cara Sri Sultan Hamengkubuwana I Kembangkan Seni Musik Karawitan di Keraton Yogyakarta


Perjuangan atas Bumi Mataram

Era tahun 1740 merupakan masa-masa berat bagi bumi Mataram. Pemberontakan merajalela yang dimulai dengan Geger Pacina.

Geger Pacinan dipimpin oleh Sunan Kuning dan dibantu oleh Pangeran Sambernyawa hingga gerakan-gerakan pemberontakan lainnya yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa.

Akibat dari pemberontakan-pemberontakan ini adalah pemindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745.

Untuk memadamkan pemberonakan Sambernyawa, Raja Mataram saat itu, Susuhunan Pakubuwana II mengadakan sayembara yang dimenangkan oleh Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi kemudian bermaksud mengendalikan pesisir Utara Jawa sebagai langkah strategis untuk mengurangi pengaruh VOC di Mataram.

Namun, akibat pengkhianatan dan kecurangan oleh Patih Pringgoloyo yang didukung VOC, langkah Pangeran Mangkubumi menjadi buntu.

Sebagai konsekuensi dari serangkaian kejadian tersebut, Pangeran Mangkubumi mengambil keputusan untuk meninggalkan lingkungan istana dan melancarkan perlawanan terbuka terhadap VOC

Keputusan tersebut mendapat dukungan dari Pangeran Sambernyawa. Kemudian, melalui kerja sama mereka, beberapa daerah berhasil dibebaskan dari genggaman VOC.

Di sisi lain, pada akhir 1749, kondisi kesehatan Pakubuwana II semakin menurun.

Belanda memanfaatkan kondisi ini sehingga muncul traktat yang berisi penyerahan kerajaan Mataram kepada VOC pada 16 Desember 1749.

Beberapa hari kemudian, Pakubuwana II wafat dan digantikan oleh putranya, Pakubuwana III.

Mengetahui kesepakatan tersebut, Pangeran Mangkubumi dan Sambernyawa semakin sengit bertempur. 

Situasi ini menyebabkan pasukan VOC mengalami kemunduran signifikan di garis depan, dengan banyak korban jiwa berjatuhan. 

Dalam waktu singkat, hampir seluruh wilayah Kerajaan Mataram berhasil dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi.

Kegagalan menghadapi Pangeran Mangkubumi mengakibatkan Gubernur Jawa Utara, Baron Van Hohendorff mengundurkan diri.

Berikutnya kepemimpinan Jawa Utara yang berkedudukan di Semarang diserahkan kepada Nicholas Hartingh.

Perubahan kepemimpinan VOC ini membawa perubahan dalam corak penyelesaian masalahnya.

Hartingh dikenal lancar berbahasa Jawa, mendapatkan ide bahwa untuk menyelesaikan masalah ini bisa melalui jalan perdamaian.

Kemudian, Hartingh mengutus Syekh Ibrahim atau Tuan Sarip Besar untuk menawarkan jalan perundingan kepada Pangeran Mangkubumi.

Pada 23 September 1754, pertemuan antara Hartingh dan Pangeran Mangkubumi membuahkan hasil.

Kesepakatan yang diperoleh merupakan rancangan awal perjanjian yang dikenal sebagai Palihan Nagari.

Hasil kesepakatan ini disampaikan kepada Gubernur Jenderal VOC dan Pakubuwana III. Kata sepakat dari Pakubuwana III diperoleh pada 4 November 1754.

Kemudian butir-butir kesepakatan tersebut dituangkan dalam Perjanjian Giyanti. 

Puncaknya pada tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangi oleh pihak-pihak terkait.

Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, babak awal Kasultanan Yogyakarta dimulai.

Pada Kemis Pon, 13 Maret 1755, Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai Raja Pertama Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwana I.

Baca Juga: Peran Sri Sultan Hamengkubuwana I pada Pengembangan Seni Karawitan Non Musik di Keraton Yogyakarta


Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat

Dalam Babad Nitik Ngayogya, disebutkan mengenai kecerdasan beliau terkait ilmu tata kota dan arsitektur.

Dalam menentukan posisi Keraton Yogyakarta, beliau mempertimbangkan letak dan keadaan lahan agar menyejahterakan dan memberi keamanan untuk penduduk Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta yang berdiri kokoh hingga saat ini menempati posisi yang sangat strategis. 

Terdapat batas-batas alam mulai dari Kali Code di sebelah timur dan Kali Winongo di sebelah barat.

Di sebelah utara dibatasi dengan Gunung Merapi sementara di sebelah selatan berbatasan dengan Pantai Laut Selatan.

Arsitektural Keraton Yogyakarta sepenuhnya dirancang oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I juga selaku arsitek Keraton Surakarta.

Tidak hanya tata ruang dan bangunannya, hiasan bahkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam di Keraton Yogyakarta dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki nilai filosofis dan spiritual yang tinggi.

Selain kompleks keraton, Sri Sultan Hamengkubuwana I juga membangun kompleks istana air. 

Atas hasil karya serta karakter kuatnya, para sejarawan menjuluki beliau sebagai “a great builder” yang sejajar dengan Sultan Agung.

Baca Juga: Mengenal 3 Macam Bentuk Tandu Khas Keraton Yogyakarta, Salah Satunya Ada Tandu Sri Sultan Hamengkubuwana I


Peninggalan Sri Sultan Hamengkubuwana I

Peninggalan Sri Sultan Hamengkubuwana I bagi Yogyakarta sangat besar. Beliau mencetuskan konsep Watak Satriya.

Konsep tersebut berisi Nyawiji (konsentrasi total), greget (semangat jiwa), sengguh (percaya diri), dan ora mingguh (penuh tanggung jawab).

Konsep tersebut menjadi credo atau prinsip bagi Prajurit Keraton, Abdi Dalem, dan juga gerak tari yang disebut Joged Mataram.

Sri Sultan Hamengkubuwana I juga mengajarkan falsafah golong gilig manunggaling kawula Gusti.

Arti falsafah tersebut adalah hubungan yang erat antara rakyat dengan raja dan antara umat dengan Tuhan).

Selain itu ada juga nilai Hamemayu Hayuning Bawono yang artinya adalah menjaga kelestarian alam. 

Semuanya menjadi nilai-nilai utama sebagai pedoman karakter bagi Keraton Yogyakarta dan masyarakatnya.

Peninggalan dalam bidang seni ada Beksan Lawung, Tarian Wayang Wong Lakon Gondowerdaya, Tarian Eteng, dan Wayang Purwo.

Sri Sultan Hamengkubuwana I wafat pada 24 Maret 1792 dan dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri.

Baca Juga: Mengenal Asal Usul dan Filosofi Jemparingan, Olahraga Tradisional Jawa Sejak Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana I Tahun 1755


Kesimpulan

Kehidupan Keraton Yogyakarta saat ini merupakan bentuk perjuangan dari pendiri dan arsitek andal yaitu Sri Sultan Hamengkubuwana I.

Besar sekali perjuangan dan peninggalan yang diwariskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I.


Referensi

kratonjogja.id. Sejarah Raja-Raja. Diakses pada 30 November 2024, dari https://www.kratonjogja.id/raja-raja/

kratonjogja.id. Sri Sultan Hamengkubuwana I. Diakses pada 30 November 2024, dari https://www.kratonjogja.id/raja-raja/2-sri-sultan-hamengku-buwono-i/


Penulis: Fauzan Ansori, Mahasiswa Teknologi Pendidikan UNNES sekaligus penggemar keluarga Keraton Yogyakarta.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar