Tata Rias dan Busana Tari Bedhaya Bedhah Madiun: Pesona Pengantin Jawa dalam Gerak Gemulai

Daftar Isi

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Tata rias dan busana dalam tarian bukan sekadar hiasan, tetapi kunci untuk menghidupkan karakter dan makna di setiap gerakan.

Begitu pula dengan Tari Bedhaya Bedhah Madiun, tarian sakral yang memikat dengan sembilan penari anggunnya.


Sembilan Bidadari dalam Formasi

Sama seperti tari Bedhaya pada umumnya, Tari Bedhaya Bedhah Madiun dibawakan oleh sembilan penari.

Masing-masing penari memiliki peran dan nama unik, mencerminkan urutan tinggi badan mereka: hendel, batak, janggi, dhaha, buntil, apit ngajeng, apit wingking, endhel wedalan ngajeng, dan endhel wedalan wingking.

Mereka menyajikan dua gerakan utama: mandheg, gerakan tanpa berpindah tempat, dan milir, gerakan dengan langkah kaki yang mengalir.

Baca Juga: Kisah Dibalik Tarian Indah Tari Bedhaya Bedhah Madiun yang Populer Masa Kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwana VIII


Transformasi Rias Paes Ageng

Menurut tesis Indrasari (2023), penari Bedhaya Bedhah Madiun dirias dan dibalut busana layaknya pengantin putri Jawa, dengan riasan paes ageng yang megah dan busana kampuh.

Riasan paes ini bukan hanya mempercantik, tetapi juga mengubah penampilan penari sehibgga tampak mangklingi.

Inilah esensi riasan tari Bedhaya, seperti yang tertulis dalam serat Babad Nitik: "Busana dan rias wajah semua penari sama tidak ada bedanya. Maksudnya agar samar. Setiap manusia yang hidup tidak menimbulkan iri atau merasa unggul, semua busana dan riasan itu indah".

Proses riasan paes dimulai dengan membuat pola dasar, meliputi penunggul, pengapit, penitis, dan godheg.

Pola ini kemudian dihitamkan dengan pidih, dihiasi prada emas di tepi, dan ketep atau payet berbentuk belah ketupat serta capung di bagian tengah.

Penari kemudian mengenakan sanggul gelung bokot mengkurep, rajutan melati, dan gajah ngoling melengkapi riasan kepala, bersama dengan aksesori seperti centhung, pethat, mentul, sumping ron, subang, sangsangan, susun, kelat bahu, slepe, dan binggel.

Busana kampuh dengan kain cindhe dan udhet cindhe menjadi pilihan utama.

Namun, seiring waktu, kain parang dan seredan menggantikan kampuh, sementara paes tetap dipertahankan. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII, hiasan bulu-bulu ala prajurit Barat turut memperkaya aksesori kepala.

Baca Juga: Sejak Kapan Paes Ageng Boleh Dipakai Masyarakat Umum? Ini Perjalanan Seni Tata Rias Keluar Keraton Yogyakarta


Iring-Iringan

Pementasan tarian tidak luput dari adanya music pengiring. Selain sebagai penggugah suasana, music juga merupakan jiwa agar bisa menciptakan momen sacral dan tenang. Ada beberapa jenis music yang digunakan dalam tarian Bedhaya Bedhah Madiun, yakni sebagai berikut:

Pada bagian pembuka menggunakan music berupa Lagon Lasem Jugog Pelog Nem dan Ladrang Gari Branta Pelog Nem.

Di bagian pertengahan, ada pengiring dari lagu Lagan Panunggal Pelog Nem, Gending Gandangkusuma, Ladrang Awis-Awis, Ladrang Gurisa Mengkreng, Ketawang Mijil Wedaringtyas, dan Lagon Manunggul.

Sementara di bagian akhir ada Ladrang Gati Raja dan Lagon Panunggal Pelog Nem.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dalam Paes Ageng, Seni Tata Rias Keraton Yogyakarta Awal Abad 20


Kesimpulan:

Tata rias dan busana dalam Tari Bedhaya Bedhah Madiun memiliki peran penting untuk menonjolkan karakteristik tarian.

Penari yang berjumlah sembilan orang ditata dengan riasan paes ageng dan busana kampuh yang seragam untuk menciptakan kesan anggun dan harmoni.

Riasan ini mengikuti aturan dari Serat Babad Nitik, yang menekankan kesamaan demi menghilangkan kesenjangan antar penari.

Gerakan tari terdiri dari mandheg (tanpa perpindahan tempat) dan milir (dengan perpindahan tempat).

Pementasan tarian diiringi musik gamelan yang terdiri dari beberapa lagu khas, seperti Lagon Lasem, Gending Gandangkusuma, hingga Ladrang Gati Raja, yang menciptakan suasana sakral dan tenang.

Perubahan aksesoris kepala di masa Sultan Hamengkubuwono VIII menunjukkan akulturasi budaya tanpa menghilangkan keasliannya.


Referensi:

Indrasari, R. (2023). Pasemoning Joged Bedhaya Madiun di Kraton Yogyakarta: Kajian Makna Simbolik. Masters Thesis, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
https://digilib.isi.ac.id/13640/3/Rahma%20Indrasari_2023_BAB%20PENUTUP.pdf


Penulis: Nadya Zuhri, mahasiswa Universitas Negeri Semarang yang belajar melestarikan budaya.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar