Bisakah Karawitan Menyuarakan Kritik? Begini Jawaban Anon Suneko, Dosen Karawitan ISI Yogyakarta
Pentas Karawitan di New York Uniersity (UGM)
Oleh: Mukaromatun Nisa
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Awal tahun 2025, Indonesia diguncang gelombang demonstrasi besar bertajuk Indonesia Gelap. Dimulai di Jakarta pada 17 Februari, gerakan ini dipelopori mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil.
Mereka menyerbu kantor-kantor legislatif, berkumpul di Patung Arjuna Wiwaha yang hanya selemparan batu dari Istana Presiden, dan menyerukan perlawanan terhadap pemotongan anggaran besar-besaran senilai Rp 306 triliun.
Tidak hanya di Jakarta, demonstrasi serupa meletus di Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan hamper seluruh wilayah di Republik Indonsia.
Ribuan warga turun ke jalan, menuntut akuntabilitas pemerintah dan mengecam kecenderungan negara yang semakin melayani kepentingan segelintir elit bisnis-politik.
Selain soal pemangkasan anggaran pendidikan dan kesehatan, keresahan publik juga menguat terkait disahkannya UU TNI dan pembahasan RUU Polri.
Revisi UU TNI memperluas peran militer di ranah sipil tanpa pengawasan ketat, membangkitkan trauma masa Dwifungsi ABRI.
Sementara itu, RUU Polri memperluas kewenangan polisi hingga ke sektor-sektor bisnis dan teknologi informasi, menciptakan potensi besar bagi pelanggaran HAM dan monopoli kekuasaan.
Kekhawatiran publik meningkat dengan fakta bahwa eks-koruptor kini kembali duduk di jabatan strategis, memperdalam luka kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan. Juga masih banyak lagi kebijakan-kebijakan yang dirasa semakin mencekik rakyat.
Dalam situasi ini, pertanyaan muncul saat live ngobrol santai di Instagram dalam program Aku Wong Jawa episode 17 bersama Anon Suneko, pengrawit dan dosen karawitan di ISI Yogyakarta, “Bisakah karawitan, musik gamelan yang mengalun halus itu, menjadi alat kritik terhadap kebijakan pemerintahan?”
“Sangat bisa,” tegas Anon.
Karawitan: Kritik Sosial yang Dibungkus Rasa
Menurut Anon, karawitan sejak dulu bukan sekadar suguhan estetika bunyi. Ia adalah refleksi sosial yang hidup.
Banyak gending klasik yang dengan bahasa simbolik, menyampaikan kritik terhadap ketidakadilan, kerakusan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Misalnya, Kuwi Opo Kuwi karya Ki Cokro Wasito, menyindir perilaku pejabat korup dengan lirik dan melodi yang bersahaja namun menohok.
“Kalau yang paham, langsung kena. Langsung malu dan tahu diri,” kata Anon Suneko.
“Sedangkan untuk sekarang, apakah lirik-lirik itu mampu dipahami apalagi dilakukan?” ucapnya.
Dalam sejarah, karawitan menjadi ruang subtil bagi ekspresi sosial politik. Pada masa Orde Baru, gending-gending responsif terhadap isu-isu nasional seperti program KB atau reboisasi tetap hadir, kadang dengan sisipan kritik tersembunyi.
Anon menegaskan, karawitan punya kekuatan unik: mengkritik tanpa menyerang, menggugat tanpa membakar amarah secara membabi buta.
Kritik bisa hadir dalam bentuk lancaran sederhana, atau dalam struktur lebih besar seperti gendhing ladrang dan gendhing kethuk kalih.
Proses Penciptaan Gending
Menciptakan gending, apalagi gending kritikal, bukan sekadar mengatur nada.
Seorang pengrawit harus meresapi rasa zaman, mengolah harmoni gamelan (dari bonang, rebab, gender, gambang hingga kendang) sampai membungkus pesan dalam alunan yang dibawakan.
Menurut Anon, gending sederhana bisa selesai dalam sehari, tapi karya besar seperti tentang isu negara kadang perlu berminggu-minggu: mencari bentuk, rasa, dan makna yang paling dalam.
Bagi Anon, keberhasilan sebuah kritik dalam karawitan bukan di kerasnya suara, melainkan di dalam rasa yang mampu menyentuh kesadaran.
Menjaga Napas Kritis dalam Tradisi
Anon Suneko mengingatkan, meski zaman berubah, bahkan dengan hadirnya notasi digital, karawitan harus tetap berakar pada rasa. Kalau tidak, seni hanya menjadi angka dan catatan kosong, kehilangan jiwanya.
Dalam konteks Indonesia Gelap, seorang pengrawit bisa menciptakan gending yang mencerminkan kegelapan sosial, harapan perubahan, dan kegelisahan publik terhadap penguatan militerisme dan kapitalisme politik.
Kritik melalui karawitan tidak hanya lebih sulit disensor, tetapi juga lebih dalam dampaknya: membangkitkan kesadaran tanpa menciptakan permusuhan langsung. Namun, tentu semua itu menurut Anon, perlu sebuah proses yang Panjang.
Posting Komentar