Jangan Lupakan Wedang Jahe yang Penuh Filosofi Jawa di Tengah Dominasi Kopi Literan

Daftar Isi


Ilustrasi wedang jahe yang dimodifikasi dengan lemon

Ilustrasi wedang jahe yang dimodifikasi dengan lemon (unsplash.com/Kelly Sikema)

Penulis: Angga Saputra

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Di sudut-sudut kampung Jawa, terutama ketika malam mulai turun dan angin membawa aroma tanah basah selepas hujan, wedang jahe pernah jadi teman akrab obrolan.

Minuman sederhana hasil rebusan jahe, gula merah, dan kadang-kadang serai ini bukan sekadar penghangat tubuh. 

Minuman itu adalah simbol dari kehangatan hidup, kerukunan, dan kearifan lokal yang kini mulai terkikis oleh zaman yang melaju cepat.

Kini, kita hidup di era kopi literan. Di berbagai kota, kopi hadir dalam botol, ditata manis di etalase kafe modern, dengan cita rasa yang lebih dekat ke tren ketimbang akar budaya. 

Kopi literan jadi identitas baru bagi kaum urban: cepat, instan, dan (katanya) kekinian. Tapi ada yang pelan-pelan kita lupakan—bahwa di balik sederhananya wedang jahe, ada filosofi Jawa yang dalam, yang tak bisa dibeli dengan packaging cantik.

Wedang jahe, dalam konteks budaya Jawa, bukan cuma minuman. Ia adalah bagian dari laku hidup "eling lan waspada"—ingat dan waspada. 

Jahe yang pedas membakar tenggorokan seolah jadi pengingat bahwa hidup tak selamanya manis. 

Gula merah mencairkan pedas itu, seperti harapan yang melembutkan kerasnya kehidupan. Diseruput pelan-pelan, bukan diteguk buru-buru. Seperti orang Jawa bicara: pelan, tak meledak-ledak, tapi penuh makna.

Sementara kopi literan? Ia hadir sebagai bentuk gaya hidup baru. Diseruput sambil kerja, sambil scroll media sosial, sambil meeting daring yang kadang cuma formalitas. Kopi menjadi pelarian, bukan penghayatan. 

Tak ada waktu merenung, apalagi menyimak filosofi dari cairan hitam pekat itu. Padahal, jika dirunut, kopi pun punya akar lokal di Nusantara, tapi telah dikemas ulang oleh kapitalisme menjadi sekadar gaya.

Kearifan Jawa, seperti yang tersemat dalam kebiasaan minum wedang jahe, perlahan terpinggirkan oleh derasnya modernitas. 

Kita lebih suka hal yang instan, cepat, dan bisa dipamerkan di media sosial. 

Padahal, hidup orang Jawa dahulu dibangun dari proses—ngangsu kawruh (menimba ilmu), laku prihatin (menjalani hidup dengan kesadaran), dan guyub rukun (hidup bersama dalam harmoni).

Wedang jahe disajikan ketika ada tamu. Ia bukan cuma suguhan, tapi pertanda bahwa tamu dihormati dan diterima sepenuh hati. 

Coba bandingkan dengan kopi sachet atau literan yang kini sering jadi andalan: praktis, tapi kehilangan ruh. 

Budaya Jawa selalu menekankan bahwa setiap tindakan punya makna, setiap suguhan punya rasa, bukan cuma soal selera, tapi juga relasi.

Ironisnya, kini wedang jahe mulai dikomersialisasi dengan cara yang sama seperti kopi. 

Dikemas dalam botol, diberi label estetik, dan dijual di marketplace dengan embel-embel “rempah nusantara” atau “heritage drink”. 

Bukan hal yang buruk memang, tapi kita mesti jujur, bahwa esensinya telah bergeser. Dari yang semula budaya, kini menjadi barang dagangan.

Tak salah menikmati kopi literan. Sama sekali tidak. Tapi di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, ada baiknya kita sesekali kembali ke akar. 

Duduk di teras rumah, menatap langit senja, menyeruput wedang jahe buatan sendiri, sambil ngobrol tentang hidup, bukan tentang algoritma. 

Karena di situ ada kearifan yang menenangkan: bahwa hidup tak harus selalu cepat, tak harus selalu viral.

Wedang jahe adalah lambang laku hidup Jawa: sederhana tapi penuh makna, pedas tapi menyehatkan, tak selalu manis tapi menghangatkan. 

Ia mengajarkan kita untuk hadir secara utuh dalam momen, bukan sekadar numpang lewat. Ia mengajak kita untuk menepi sejenak, dari dunia yang terlalu bising.

Kalau hari ini anak-anak muda Jawa lebih kenal latte daripada wedang jahe, mungkin sudah waktunya kita bertanya: siapa yang lupa mengajarkan? Siapa yang abai mewariskan? Dan siapa pula yang terlalu sibuk menjadi modern, sampai lupa menjadi manusia yang membumi?

Ketika wedang jahe lebih punya nilai dari kopi literan, itu bukan nostalgia. 

Itu adalah ajakan: untuk kembali menemukan makna dalam kesederhanaan, dan menyadari bahwa kearifan lokal bukan barang usang, melainkan warisan yang layak dirawat.

Mari sesekali simpan dulu botol kopi di kulkas. Rebus air, iris jahe, campur dengan gula merah. Ajak ngobrol tetangga atau keluarga. 

Rasakan hangatnya. Bukan hanya di tubuh, tapi juga di hati. Karena itulah sejatinya rasa dari hidup ala Jawa: sak madyo, nanging ngemu kawicaksanan (secukupnya, namun penuh kebijaksanaan).

Posting Komentar