Menelisik Logika Tersembunyi ‘Ora ilok’: Kearifan Lokal Jawa di Balik Larangan yang Sering Disepelekan

Daftar Isi

 

Ilustrasi duduk di atas bantal
‘Ora ilok’ duduk di atas bantal, ndak udunen (unsplash.com/Yasir Slash)

Penulis
Angga Saputra

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Dalam kehidupan masyarakat Jawa, ada satu frasa yang sudah akrab di telinga sejak kita kecil: "ora ilok."

Frasa ini sering kali hadir sebagai penutup dari teguran orang tua atau sesepuh ketika kita melakukan sesuatu yang dianggap melanggar norma atau etika. 

Tapi bagi anak muda zaman sekarang, larangan semacam ini kadang dianggap mitos, tak masuk akal, bahkan usang. 

Padahal, kalau mau sedikit menepi dari hiruk-pikuk logika modern, "ora ilok" bisa jadi cermin bagaimana kearifan lokal mengatur etika dan relasi sosial masyarakat Jawa.

Mari kita telaah lebih dalam: apa itu "ora ilok"? 

Secara harfiah, "ora ilok" berarti "tidak pantas" atau "tidak baik." Tapi maknanya lebih luas dari itu. 

Ia bisa menjadi pengingat moral, penjaga harmoni, hingga cara halus dalam menyampaikan sesuatu yang sebenarnya kompleks. 

Misalnya, ketika seseorang dilarang duduk di ambang pintu, karena "ora ilok," itu bukan sekadar karena tak sopan, tapi juga menyangkut keselamatan, kenyamanan, dan kelancaran lalu lintas rumah.

Contoh Larangan 'Ora Ilok' yang Kerap Kita Temui

1. Menyapu malam hari itu ora ilok

Alasannya? Secara mistis, katanya bisa mengusir rejeki. Tapi dari sisi praktis, malam hari adalah waktu gelap, menyapu bisa membuat debu beterbangan dan tak terlihat jelas, justru rumah jadi makin kotor.

2. Makan sambil berdiri ora ilok

Ini bukan soal gaya, tapi etika makan. Duduk saat makan menunjukkan penghormatan terhadap makanan, sekaligus mencegah tersedak. Ada nilai kesopanan di dalamnya.

3. Bernyanyi di dapur itu ora ilok

Katanya bisa membuat jodoh tertunda. Tapi bisa juga dimaknai sebagai cara menjaga konsentrasi saat memasak, agar tak keliru menakar bahan atau membiarkan masakan gosong.

4. Jangan duduk di bantal, ora ilok

Bisa bikin bisulan, kata orang tua dulu. Tapi lebih logisnya, bantal adalah tempat kepala beristirahat, duduk di atasnya dianggap tidak menghormati fungsi benda tersebut.

5. Jangan menyapu di malam hari karena akan menyapu rezeki keluar rumah

Ini bagian dari larangan simbolik yang ingin menekankan waktu istirahat, menjaga energi, dan tidak melakukan pekerjaan rumah tangga yang berat di malam hari.

Makna Tersirat dari Larangan 'Ora Ilok'

Banyak larangan yang tampak sepele, tapi sebenarnya punya pesan moral dan sosial yang dalam. 

Nilai-nilai itu disampaikan secara simbolik, menggunakan bahasa yang halus, agar mudah diterima oleh anak-anak atau orang muda.

Dalam budaya Jawa, menyampaikan sesuatu secara tidak langsung dianggap lebih sopan dan elegan.

Sistem nilai ini juga mencerminkan kebijaksanaan dalam hidup bersama. 

Apa yang dianggap tidak pantas sering kali menyangkut tata krama, rasa hormat, dan sikap saling menjaga perasaan.

‘Ora Ilok' di Era Digital: Masih Relevankah?

Jawabannya: tentu saja masih, selama kita bisa menangkap esensinya. 

Di tengah derasnya budaya instan dan serba cepat, larangan "ora ilok" bisa menjadi rem yang menenangkan. 

Saat generasi muda tumbuh dengan kebebasan berekspresi yang tinggi, aturan semacam ini bisa menjadi filter sosial. 

Bukan untuk membatasi, tapi mengingatkan bahwa kebebasan juga butuh tanggung jawab.

Bayangkan jika larangan seperti "ora ilok ngunggah aib keluarga di media sosial" dijadikan pegangan.

Bukankah itu bisa menyelamatkan banyak hubungan dari drama digital?

Kita Butuh Lebih Banyak 'Ora Ilok' di Kehidupan Modern

Mungkin sudah saatnya kita mengangkat kembali larangan-larangan Jawa ini ke permukaan, bukan sebagai momok mistis, tapi sebagai pendekatan edukatif. 

Alih-alih menertawakan atau mengabaikan, mari belajar memahami akar filosofisnya.

Budaya bukan barang museum. Ia hidup, tumbuh, dan bisa relevan sepanjang masa jika dibaca dengan cara yang baru. 

Maka, "ora ilok" bukan hanya soal larangan, tapi juga soal kesadaran. 

Tentang bagaimana kita bersikap, berbicara, dan menempatkan diri di tengah masyarakat.

Jadi, ketika nenekmu berkata, "Le, ojo nyanyi neng pawon, ora ilok," jangan buru-buru menertawakan. Duduklah sebentar, resapi nadanya, dan tanyakan kenapa. 

Mungkin dari sanalah kamu akan belajar bahwa hidup bukan cuma soal logika, tapi juga rasa.

Dan seperti kata orang Jawa, "iloking manungsa kuwi katon saka tumindake."(Kepantasan seseorang terlihat dari tindakannya.)

Posting Komentar