Mengungkap Kedalaman Aksara Jawa: Sudut Pandang Thomas Stamford Raffles

Table of Contents
Thomas Stamford Raffles mengungkap Aksara Jawa dalam bukunya 'The History of Java'. Pelajari sejarah, karakteristik, dan pengaruhnya dalam budaya & hukum Jawa.
Sir Thomas Stamford Bingley Raffles. (Wikimedia)
Sir Thomas Stamford Bingley Raffles. (Wikimedia/ George Francis Joseph)


BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Sebagai seorang yang pernah menjabat sebagai Letnan-Gubernur Pulau Jawa dan dependensinya, serta Presiden Society of Arts and Sciences di Batavia, Sir Thomas Stamford Raffles memiliki keahlian dan pengalaman yang tak tertandingi dalam mendokumentasikan kebudayaan Jawa. 

Karyanya monumentalnya, The History of Java, edisi kedua yang diterbitkan pada tahun 1830, menjadi sumber otoritatif bagi para peneliti dan pembaca yang ingin memahami seluk-beluk pulau ini, termasuk sistem penulisannya yang unik [Raffles, 1830, Vol. 1, p. ii]. 

Dalam ulasan ini, kita akan menjelajahi Aksara Jawa melalui lensa observasi Raffles yang detail, menyoroti sejarah, struktur, dan perannya dalam masyarakat Jawa.

Fondasi Sejarah dan Asal-Usul Aksara Jawa

Raffles mencatat bahwa pengetahuan tentang karakter kuno Aksara Jawa, atau yang disebutnya sebagai Aksara Kawi, sebagian besar terbatas pada keluarga bangsawan tertentu, yang konon memperolehnya dari Bali, pulau yang dianggapnya sebagai "penyimpan utama dari apa yang tersisa dari literatur dan sains yang pernah ada di Jawa" [Raffles, 1830, Vol. 1, p. 415]. Hal ini menunjukkan adanya transmisi pengetahuan yang spesifik dan terbatas pada masa itu.

Secara tradisional, Asal-Usul Aksara Jawa tidak dapat dipisahkan dari kedatangan Adi atau Aji Saka, seorang tokoh legendaris yang dipercaya sebagai pembawa peradaban ke Jawa. 

Raffles melaporkan bahwa peristiwa ini secara umum merujuk pada tahun pertama era Jawa, yang bertepatan dengan tahun 75 Masehi. Aji Saka, yang digambarkan sebagai seorang pangeran perkasa atau bahkan orang suci, diyakini telah memperkenalkan huruf, pemerintahan, dan agama ke Jawa [Raffles, 1830, Vol. 2, p. 71-72]. 

Menurut tradisi yang dicatatnya, Aji Saka menyatukan prasasti dengan karakter púrwa (kuno) dan Siam untuk membentuk alfabet Jawa yang terdiri dari dua puluh huruf [Raffles, 1830, Vol. 2, p. 72].

Raffles juga menyoroti pengaruh kuat bahasa Sanskerta terhadap bahasa Jawa, terutama melalui bahasa Kawi. Ia berpendapat bahwa hanya sedikit bahasa, bahkan di daratan India, yang begitu berhutang budi kepada Sanskerta seperti halnya bahasa Jawa. 

Kaum terpelajar Jawa pada masanya masih sering memasukkan kata-kata Kawi ke dalam korespondensi dan komposisi sastra mereka, secara terus-menerus memperkaya bahasa lisan dan tulisan dengan istilah-istilah Sanskerta [Raffles, 1830, Vol. 1, p. 412-413]. Ini menegaskan betapa Aksara Jawa dan bahasanya sangat terkait dengan warisan budaya Hindu-India.

Anatomi dan Karakteristik Aksara Jawa dalam Catatan Raffles


Raffles memberikan deskripsi yang cukup terperinci tentang alfabet Jawa dalam karyanya. Ia menampilkan tabel "Aksara Gedé" (bentuk-bentuk khusus), "Ángka atau Angka", "Aksara Búd'da, atau Alfabet Kuno" (dengan daftar konsonan dasar seperti ha, na, cha, ra, ka), "Répa" (kontraksi konsonan), dan "Sandángan atau Vokal" (seperti wúlu, súku, táling, táling tárung, pápet, ng'a lélet) [Raffles, 1830, Vol. 1, p. 404-405]. Ini menunjukkan upaya komprehensif Raffles untuk mendokumentasikan sistem penulisan tersebut.

Mengenai gaya penulisan, Raffles mengamati bahwa orang Jawa menulis dari kiri ke kanan. Setiap konsonan (aksára) ditulis terpisah, tidak digabungkan dengan huruf sebelumnya, dan tidak ada spasi di antara kata-kata. 

Penandaan baris dalam puisi menggunakan satu atau dua garis diagonal pendek di akhir setiap bait, dan kadang-kadang koma, menjadi satu-satunya tanda baca yang menunjukkan jeda [Raffles, 1830, Vol. 1, p. 406]. Sistem ini, meski mungkin asing bagi pembaca Eropa, mencerminkan estetika dan logika penulisan Jawa tradisional.

Menariknya, Raffles juga menyinggung praktik penggunaan bahasa mistis dalam korespondensi rahasia atau politik di kalangan orang Jawa. 

Gulungan-gulungan yang berisi karakter yang tidak dapat dimengerti sering diedarkan, dengan tujuan "memaksakan keyakinan pada mereka yang terlalu bersedia untuk menganggapnya sakral dan misterius" [Raffles, 1830, Vol. 1, p. 415]. Ini menunjukkan dimensi fungsional lain dari Aksara Jawa yang melampaui komunikasi sehari-hari, seringkali digunakan untuk tujuan yang lebih terselubung.

Aksara Jawa sebagai Cermin Kebudayaan dan Hukum


Aksara Jawa tidak hanya menjadi alat tulis, melainkan juga wadah bagi kekayaan literatur dan etika masyarakat Jawa. Raffles, dengan bantuan para cendekiawan lokal seperti Panambahan dari Sumenap dan Raden Saleh, putra Bupati Semarang, menganalisis puisi epik paling populer dan terkenal dalam bahasa Kawi, Brata Yudha [Raffles, 1830, Vol. 1, p. 458-459]. 

Brata Yudha, yang terdiri dari 719 bait metris, mencerminkan kekayaan bahasa Kawi dan dianggap sebagai cerminan etika dan nilai-nilai Jawa [Raffles, 1830, Vol. 1, p. 465-524]. Raffles bahkan menyatakan bahwa "ilustrasi yang diberikan sekarang hanya memberikan contoh yang sangat tidak sempurna dari keindahan, keagungan, dan puisi sejati dari aslinya" [Raffles, 1830, Vol. 1, p. 459].

Selain itu, Raffles juga mencatat keberadaan karya-karya sastra modern Jawa yang penting seperti Angréné (karya sejarah tentang Panji), Pánji Jáya Kasúma, dan Jáya Langkára [Raffles, 1830, Vol. 1, p. 439-441]. 

Karya-karya ini, yang sering kali menjadi tema pertunjukan drama, membentuk bagian penting dari literatur sopan dan hiburan populer di Jawa [Raffles, 1830, Vol. 2, p. 94].

Hubungan antara aksara dan hukum juga tampak jelas. Raffles mencatat adanya kodifikasi hukum adat dalam naskah-naskah seperti Júgul Múda Páteh (berusia sekitar 600 tahun) dan Rája Kápa. Bahkan, Sultan Demak, penguasa Muslim pertama, membuat kompilasi hukum Jawa yang memadukan prinsip-prinsip hukum Islam dengan hukum adat yang ada, kemungkinan besar untuk memuluskan jalan bagi pengenalan hukum Islam secara penuh [Raffles, 1830, Vol. 1, p. 312-313]. Salah satu karya penting yang mencerminkan perpaduan ini adalah Jáya Langkára, yang mencakup peraturan-peraturan peradilan tertinggi [Raffles, 1830, Vol. 1, p. 441; Vol. 2, p. 132].

Thomas Stamford Raffles telah melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam mendokumentasikan Aksara Jawa dan konteks budayanya. Meskipun ia mengakui keterbatasan pengetahuannya dan para kolaboratornya pada waktu itu, upaya yang berintegritas ini memberikan wawasan yang tak ternilai. 

Karyanya menjadi fondasi yang tepercaya bagi pemahaman kita tentang salah satu sistem penulisan paling kaya di dunia. Melalui "The History of Java," Raffles tidak hanya merekam sejarah dan geografi, tetapi juga berhasil mengabadikan jiwa kebudayaan Jawa yang tercermin dalam aksaranya.***
babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar