Akhir Hayat Sang Patih Gajah Mada: Kontroversi dan Legenda

Table of Contents

Berakhirnya kiprah Gajah Mada, sang Patih Amangkubumi yang agung, dan bagaimana kepergiannya memengaruhi stabilitas Majapahit.

Ilustrasi potret Mahapatih Gajah Mada yang sudah tua dan sakit keras (gring) terbaring di ranjang kematiannya di dalam kamar istana Majapahit abad ke-14. (Generatif ChatGPT)
Ilustrasi potret Mahapatih Gajah Mada yang sudah tua dan sakit keras (gring) terbaring di ranjang kematiannya di dalam kamar istana Majapahit abad ke-14. (Generatif ChatGPT)

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Senja kala itu akhirnya tiba bagi sang Mahapatih. Gajah Mada, sosok raksasa dalam panggung sejarah Majapahit, arsitek Sumpah Palapa yang menyatukan Nusantara di bawah panji-panji Wilwatikta, menemui takdirnya. Namun, bagaimana tepatnya senja Gajah Mada itu berlabuh menjadi sebuah misteri yang diselimuti kabut kontroversi dan balutan legenda. Dua versi yang saling bertolak belakang mengemuka dari catatan-catatan zaman: satu mengisahkan akhir yang wajar karena sakit, sementara yang lain melukiskan drama pengkhianatan dan pembunuhan di jantung istana. Kematian Patih Agung ini bukan sekadar akhir riwayat seorang negarawan, melainkan penanda awal keretakan fondasi kekuasaan Majapahit.

Masa Pensiun dan Kontroversi Gajah Mada Pasca-Bubat

Sebelum kabar wafatnya mengguncang Majapahit, nama besar Gajah Mada sempat meredup pasca-insiden tragis di Lapangan Bubat pada tahun 1357 M. Peristiwa yang seharusnya menjadi perayaan penyatuan dua kerajaan melalui perkawinan Prabu Hayam Wuruk dengan Putri Sunda, Dyah Pitaloka, justru berakhir dengan pertumpahan darah. Gajah Mada, dengan sikap politiknya yang keras, dianggap sebagai biang keladi tragedi tersebut.

Menurut beberapa tafsir sejarah, khususnya yang berasal dari Pararaton, Gajah Mada setelah peristiwa itu dikatakan amukti palapa, sebuah frasa yang bisa berarti ia beristirahat dari jabatannya atau menyingkir untuk menjalani laku spiritual. Beberapa kalangan meyakini bahwa sang patih agung kehilangan pamor dan terpaksa menepi dari panggung politik istana akibat kegagalan diplomasinya di Bubat.

Namun, catatan kontemporer dari Kakawin Nagarakretagama karya Mpu Prapanca, yang ditulis pada tahun 1365 M, menyajikan gambaran yang berbeda. Prapanca, yang hidup sezaman dengan Gajah Mada, justru masih mencatat peran aktif sang patih setelah tahun 1357 M. Gajah Mada tercatat ikut serta dalam perjalanan keliling Prabu Hayam Wuruk ke Lumajang pada tahun 1359 M. Ia juga masih memegang peranan penting dalam upacara Sraddha untuk menghormati mendiang Rajapatni Gayatri pada tahun 1362 M. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa meskipun insiden Bubat mungkin mengguncang posisinya, Gajah Mada tidak sepenuhnya tersingkir dari lingkaran kekuasaan. Ia tetap menjadi figur sentral hingga menjelang akhir hayatnya.

Kematian Gajah Mada dan Dampak Politik

Mengenai detik-detik terakhir kehidupan sang Mahapatih, sejarah mencatat dua narasi utama yang sangat berbeda.

Versi pertama, yang dianggap paling otoritatif oleh para sejarawan, berasal dari Nagarakretagama. Mpu Prapanca menulis bahwa Patih Amangkubumi Gajah Mada wafat pada tahun Saka 1286 (1364 M) karena sakit keras (gring). Wafatnya Gajah Mada menyebabkan duka yang mendalam bagi Prabu Hayam Wuruk dan seluruh istana. Kepergiannya menciptakan kekosongan kekuasaan yang begitu besar sehingga raja kesulitan menemukan pengganti yang sepadan.

Sebagai solusi, Prabu Hayam Wuruk memutuskan untuk tidak menunjuk satu patih amangkubumi baru. Sebaliknya, tugas-tugas Gajah Mada yang sangat luas itu dibagi kepada enam menteri yang berbeda, sebuah bukti betapa vital dan terpusatnya kekuasaan di tangan Gajah Mada semasa hidupnya. Keputusan ini menunjukkan dampak politik langsung dari wafatnya Gajah Mada: kekuasaan yang tadinya terpusat pada satu tangan kini didesentralisasi untuk menjaga stabilitas pemerintahan.

Versi kedua, yang lebih bernuansa legenda dan drama, muncul dalam naskah yang lebih muda, Babad Majapahit dan Para Wali. Dalam babad ini, dikisahkan seorang patih agung bernama "Patih Gajah" atau "Gajah Permada" yang mengabdi pada Prabu Brakumara. Sang Raja, yang merasa terancam oleh wibawa dan pengaruh patihnya, akhirnya memerintahkan pembunuhan. Seorang algojo bernama Ujungsebatang ditugaskan untuk menjalankan perintah keji itu.

Babad tersebut melukiskan adegan kematian sang patih dengan sangat dramatis. Patih Gajah, yang telah mendapat firasat akan ajalnya, sulit ditemukan oleh sang pembunuh. Ujungsebatang bahkan harus menggunakan seekor kuda sebagai umpan untuk memancing Patih Gajah keluar dari persembunyiannya di loteng, sebelum akhirnya berhasil menikamnya hingga tewas. Kematian sang patih kemudian dibalaskan oleh putranya, Udara, yang membunuh Prabu Brakumara saat berburu di hutan.

Namun, penting untuk dicatat bahwa Babad Majapahit ini membedakan antara "Patih Gajah" yang terbunuh itu dengan "Patih Gajah Mada" yang kemudian diangkat pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya (Raden Alip) di era selanjutnya. Narasi pembunuhan ini, meskipun sangat kuat dalam tradisi lisan dan babad, oleh para sejarawan modern dianggap sebagai legenda yang mungkin mencerminkan ketegangan politik abadi antara raja dan patihnya yang terlalu berkuasa, bukan sebagai fakta sejarah mengenai Gajah Mada yang dikenal dalam Sumpah Palapa.

Warisan Sumpah Palapa bagi Majapahit

Terlepas dari kontroversi seputar akhir hayatnya, warisan terbesar Gajah Mada adalah sumpahnya yang monumental: tan amukti palapa. Sumpah ini menjadi cetak biru politik ekspansi Majapahit untuk menyatukan Nusantara. Selama masa jabatannya, Gajah Mada berhasil membawa sebagian besar wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia, serta sebagian Semenanjung Malaya, ke dalam lingkup pengaruh Majapahit.

Keberhasilan Sumpah Palapa menjadikan Majapahit sebagai adikuasa di Asia Tenggara pada abad ke-14. Namun, kepergian Gajah Mada pada tahun 1364 M menjadi titik balik. Tanpa kehadirannya sebagai kekuatan pemersatu yang kokoh, fondasi imperium perlahan mulai goyah. Meskipun Prabu Hayam Wuruk adalah seorang raja yang cakap, wafatnya Gajah Mada meninggalkan kekosongan yang tak tergantikan. Setelah Hayam Wuruk mangkat pada tahun 1389 M, pertentangan internal di antara para ahli waris takhta semakin meruncing, yang berpuncak pada Perang Paregreg. Perang saudara ini menandai awal dari senja kala Majapahit, sebuah proses kemunduran yang mungkin tidak akan terjadi sedemikian cepat jika sosok pemersatu sekaliber Gajah Mada masih ada.

Pada akhirnya, bagaimana Gajah Mada wafat—apakah di ranjang karena sakit atau di ujung keris pengkhianat—tetap menjadi bagian dari pesona sejarahnya. Yang pasti, kepergiannya menandai akhir sebuah era keemasan dan awal dari keruntuhan perlahan sebuah imperium agung yang pernah ia bangun dengan sumpah dan baktinya.

Daftar Pustaka

Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Penerbit Kepel Press.

Brandes, J. L. A. (1920). Pararaton (Ken Arok) of Het Boek der Koningen van Tumapël en van Majapahit (2nd ed., N. J. Krom, Ed.). Martinus Nijhoff.

Kern, H. (1919). Het Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 A.D.). Martinus Nijhoff.

Muljana, S. (2005). Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. LKiS.

Pigeaud, T. G. T. (1960). Java in the 14th century: A study in cultural history. Martinus Nijhoff.

Sastradiwirya (Trans.). (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar