Dari Ratu ke Raja Agung: Masa Kebesaran Hayam Wuruk

Table of Contents

Dimulainya era emas Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk yang memimpin bersama Patih Gajah Mada, mendatangkan kemakmuran.

Penobatan Raja Hayam Wuruk muda (16 tahun) di pendopo agung Kerajaan Majapahit.(Generatif ChatGPT)
Penobatan Raja Hayam Wuruk muda (16 tahun) di pendopo agung Kerajaan Majapahit.(Generatif ChatGPT) 

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Gempita alam menyambut kelahirannya pada 1256 Saka atau 1334 Masehi. Kitab Nagarakrtagama mencatat, bumi berguncang, hujan abu turun dari langit, dan guntur menyambar-nyambar di Gunung Kampud saat sang pangeran masih di dalam kandungan ibundanya. Tanda-tanda alam itu seolah menjadi pertanda bahwa seorang tokoh besar akan lahir untuk memimpin Nusantara. Dialah Hayam Wuruk, yang kelak bergelar Sri Rajasanagara, raja yang membawa Kerajaan Majapahit ke puncak keemasannya.

Di bawah pemerintahannya, Majapahit bukan hanya menjadi adidaya di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga pusat peradaban yang makmur dan berwibawa. Didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, era Hayam Wuruk menjadi sebuah epok yang dilukiskan dengan tinta emas dalam sejarah, terutama melalui pujasastra Nagarakrtagama. Tulisan ini menelusuri jejak naiknya Hayam Wuruk ke takhta, hubungannya dengan sang patih legendaris, serta stabilitas politik dan kemakmuran yang ia ciptakan.

Naiknya Hayam Wuruk ke Takhta

Sebelum Hayam Wuruk menjadi raja agung, panggung politik Majapahit didominasi oleh dua figur perempuan yang tangguh: ibunya, Tribhuwanatunggadewi, dan neneknya, Gayatri Rajapatni. Setelah wafatnya Raja Jayanagara, Tribhuwanatunggadewi naik takhta sebagai ratu yang memerintah. Ia memerintah sebagai wali bagi putranya yang masih belia, Hayam Wuruk. Namun, figur yang paling dihormati di istana adalah neneknya, Rajapatni, seorang pendeta Buddha yang bijaksana dan memiliki pengaruh besar.

Momen penentu datang pada tahun 1272 Saka (1350 M). Sang Rajapatni wafat dan kembali ke "dunia Buddha". Peristiwa ini menjadi titik balik bagi suksesi di Majapahit. Segera setelah wafatnya sang nenek, Hayam Wuruk yang saat itu berusia 16 tahun dinobatkan sebagai Raja Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara. Nagarakrtagama mencatat, meski dunia sempat berduka atas kepergian Rajapatni, rakyat segera bersuka cita dan menunjukkan baktinya kepada raja yang baru. Ibunya, Tribhuwanatunggadewi, kemudian mundur dari takhta utama dan kembali memerintah di Jiwana (Kahuripan), mengawasi putranya dari sana. Transisi kekuasaan dari para ratu kepada sang raja muda ini menandai dimulainya sebuah era baru yang gemilang bagi kerajaan.

Hubungan Erat Raja dan Patih Gajah Mada

Kejayaan pemerintahan Hayam Wuruk tidak dapat dilepaskan dari sosok Mahapatih Gajah Mada. Duet kepemimpinan antara raja yang berwibawa dan patih yang cakap menjadi kunci kekuatan Majapahit. Gajah Mada, yang terkenal dengan Sumpah Palapa untuk menyatukan Nusantara, telah menjadi patih amangkubhumi sejak masa Ratu Tribhuwanatunggadewi. Ia adalah seorang negarawan ulung, pemberani, dan sangat setia kepada raja.

Nagarakrtagama melukiskan Gajah Mada sebagai menteri yang bijaksana dalam politik, dapat diandalkan, dan selalu menjaga perintah raja. Ia adalah eksekutor utama dari visi besar Majapahit sebagai imperium maritim. Kemitraan ini berlangsung hingga Gajah Mada wafat pada 1286 Saka (1364 M). Wafatnya sang patih menjadi pukulan berat bagi Hayam Wuruk. Kitab Pararaton mencatat bahwa setelah kematian Gajah Mada, butuh waktu tiga tahun sebelum ada patih baru yang diangkat, menunjukkan betapa sulitnya mencari pengganti yang sepadan dengannya. Kesedihan sang raja dan kesulitan mencari pengganti membuktikan betapa erat dan pentingnya hubungan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada dalam menjaga stabilitas kerajaan.

Stabilitas Politik dan Kemakmuran Rakyat

Era pemerintahan Hayam Wuruk dikenal sebagai masa yang stabil dan makmur. Salah satu strategi politiknya untuk menjaga persatuan dan kesetiaan daerah-daerah bawahannya adalah dengan melakukan perjalanan keliling kerajaan secara rutin. Kitab Nagarakrtagama mencatat secara detail perjalanan sang raja ke berbagai wilayah, termasuk Lumajang, Palah (Candi Panataran), dan Simping (Candi Sumberjati) di wilayah Blitar. Kunjungan ini bukan sekadar pesiar, melainkan juga ritual keagamaan untuk memuja leluhur di candi-candi pendharmaan (dharma haji), seperti di Candi Simping yang merupakan tempat pendharmaan Kertarajasa, pendiri Majapahit.

Di bawah pemerintahannya, hukum ditegakkan, dan kehidupan beragama berjalan rukun. Kerajaan juga menunjukkan toleransi terhadap komunitas Muslim yang bermukim di Troloyo, tidak jauh dari pusat kota. Bukti arkeologis berupa nisan-nisan makam Islam dari abad ke-14 hingga ke-16 menunjukkan bahwa mereka dapat hidup berdampingan di tengah kerajaan yang mayoritas Hindu-Buddha.

Kemakmuran rakyat didukung oleh sektor pertanian yang maju. Majapahit adalah negara agraris-komersial yang surplus beras dan komoditas lainnya berkat pengelolaan irigasi yang canggih, seperti waduk dan kanal-kanal yang tersebar di sekitar Trowulan. Hasil bumi ini kemudian diperdagangkan hingga ke mancanegara, mendatangkan kekayaan bagi kerajaan. Hubungan internasional pun terjalin erat dengan negara-negara seperti Siam, Kamboja, dan Champa, di mana banyak pedagang dan pendeta asing yang datang dan menetap dengan senang di Majapahit.

Kehidupan seni dan budaya juga berkembang pesat. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Hayam Wuruk gemar seni pertunjukan dan bahkan ikut serta bermain peran, menghibur para bangsawan istana. Nagarakrtagama menggambarkan secara hidup bagaimana sang raja mampu membuat penonton tertawa hingga terharu melalui kepiawaiannya di atas panggung. Semua ini melukiskan sebuah era di mana politik yang stabil, ekonomi yang kuat, dan budaya yang adiluhung berpadu di bawah kepemimpinan seorang raja agung.

Daftar Pustaka

Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Kepel Press.

Kern, H. (1919). Het Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 A.D.) (N. J. Krom, Ed.). Martinus Nijhoff.

Krom, N. J. (Ed.). (1920). Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapël en van Majapahit (2nd ed., J. L. A. Brandes, Trans.). Albrecht & Co.

Sastradiwirya (Trans.). (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar