Kisah Prabu Brawijaya V: Raja Terakhir dan Kontroversi Keturunan

Table of Contents

Fokus pada sosok Prabu Brawijaya V sebagai simbol raja terakhir Majapahit yang menghadapi tantangan dari luar dan dari dalam.

Ilustrasi Prabu Brawijaya V, raja Majapahit terakhir. (Generatif ChatGPT)
Ilustrasi Prabu Brawijaya V, raja Majapahit terakhir. (Generatif ChatGPT)

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Siapakah sesungguhnya Prabu Brawijaya V? Nama ini menggema kuat dalam memori kolektif bangsa Indonesia sebagai simbol raja pamungkas Majapahit, imperium agraris-komersial yang pernah menyatukan Nusantara. Sosoknya berdiri di persimpangan zaman, di antara senjakala peradaban Hindu-Buddha dan fajar kekuasaan Islam di Jawa. Namun, di balik kemasyhurannya, figur Brawijaya V diselimuti kabut tebal yang memisahkan antara fakta sejarah dan legenda yang dirawat turun-temurun.

Kisah hidupnya, terutama hubungan kontroversial dengan Raden Patah sang pendiri Kesultanan Demak, menjadi narasi kunci dalam peralihan kekuasaan dari Majapahit ke era Islam. Berbagai sumber, mulai dari babad keraton hingga catatan sejarawan modern, menyajikan versi yang saling bersahutan, bahkan bertentangan, tentang siapa sebenarnya raja terakhir Majapahit ini dan bagaimana akhir takhtanya.

Identitas Raja-Raja Akhir Majapahit (Versi Pararaton dan Babad)

Untuk melacak sosok Prabu Brawijaya V, penelusuran pada sumber-sumber primer seperti Kakawin Nagarakretagama karya Mpu Prapanca (1365 M) tidak akan membuahkan hasil. Pujasastra ini ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk dan tidak mencatat raja-raja setelahnya. Nama Brawijaya V justru muncul dari tradisi sastra sejarah yang lebih kemudian, terutama dari naskah-naskah Babad dan Serat Kandha yang berkembang pada era Islam di Jawa.

Menurut Babad Majapahit dan Para Wali, sosok yang diyakini sebagai Prabu Brawijaya terakhir adalah Raden Angkawijaya atau Raden Alip. Ia merupakan penerus dari garis raja-raja sebelumnya seperti Bratanjung, Lembumisani, Adaningkung, dan Brakumara. Dalam babad ini, Prabu Brawijaya digambarkan sebagai "panutup ratu Buda" atau raja Buddha penutup di tanah Jawa.

Versi babad ini sering kali menggambarkan proses transisi kekuasaan dari Majapahit ke Demak secara damai, seolah sebuah pewarisan takhta, bukan penaklukan militer. Namun, para sejarawan modern seperti H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud mengingatkan bahwa naskah babad bukanlah catatan sejarah yang akurat, melainkan karya sastra yang bertujuan melegitimasi dinasti baru (Mataram) dengan menciptakan kesinambungan dari penguasa lama (Majapahit).

Sumber sejarah lain seperti Pararaton atau "Kitab Raja-Raja" menyajikan silsilah yang berbeda. Sementara itu, catatan musafir Portugis, Tome Pires, dalam Suma Oriental (ditulis sekitar 1515 M), menyebut penguasa Majapahit pada masanya dengan nama Batara Vigiaja. Kekuasaan sesungguhnya berada di tangan perdana menterinya yang sangat berpengaruh, Guste Pate atau Pate Udara. Para ahli sejarah cenderung mengidentifikasi Batara Vigiaja inilah sebagai figur historis dari Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya, raja yang mengeluarkan prasasti pada 1486 M dan diyakini sebagai raja terakhir yang berkuasa di ibu kota Majapahit. Dengan demikian, sosok Prabu Brawijaya V yang legendaris merupakan amalgamasi dari beberapa figur raja akhir Majapahit, yang dalam tradisi lisan dan babad dilebur menjadi satu simbol pamungkas.

"Berita Jawa tentang masa akhir kerajaan tua itu simpang siur dan berbau dongeng. Berita tersebut terdapat dalam buku-buku cerita dan cerita babad dari abad ke-17 dan ke-18, paling sedikit dua abad sesudah kejadian-kejadian itu berlangsung." (de Graaf & Pigeaud, 1985, hlm. 68)

Legenda dan Kisah Keturunan Prabu Brawijaya V

Dalam tradisi Babad, Prabu Brawijaya digambarkan sebagai raja yang memiliki banyak istri dan keturunan yang tersebar di seluruh Jawa, bahkan menjadi cikal bakal berbagai dinasti penting.

Salah satu kisah paling terkenal adalah pernikahannya dengan seorang putri dari negeri Cempa, yang dikenal dengan nama Dyah Dwarawati. Keberadaan sang putri ini memiliki jejak historis berupa nisan makam berangka tahun 1370 Saka (1448 M) di situs Trowulan, yang diyakini sebagai makamnya. Dari permaisuri inilah kelak lahir keturunan yang menyambung tali kekerabatan dengan para wali penyebar Islam.

Kisah keturunan Brawijaya yang paling dramatis adalah cerita tentang istrinya yang berasal dari Tiongkok. Menurut Babad Majapahit, sang putri Cina hamil dan sering bermimpi memangku bulan, sebuah pertanda bahwa keturunannya akan menguasai takhta. Hal ini membuat para istri Brawijaya yang lain cemburu dan khawatir ("para madunya menjadi tidak senang"). Akibatnya, atas desakan mereka, Brawijaya dengan berat hati menyerahkan putri Cina tersebut kepada adipatinya di Palembang, Arya Damar. Di Palembang inilah sang putri melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Patah.

Selain Raden Patah, Brawijaya juga diyakini memiliki putra-putra lain yang menjadi tokoh penting, di antaranya:

• Bathara Katong, yang ditempatkan di Panaraga (Ponorogo) dan menjadi penguasa di sana.

• Bondhan Kejawan, putra dari seorang putri Wandhan yang meninggal saat melahirkannya. Ia diserahkan kepada seorang petani dan kelak menjadi salah satu nenek moyang raja-raja Mataram.

Jejaring keturunan yang luas ini, meskipun lebih bersifat legendaris daripada historis, berfungsi penting untuk mengikat berbagai kekuatan politik baru di era Islam ke dalam satu garis silsilah agung yang berpusat pada Majapahit.

Hubungan dengan Raden Patah, Pendiri Demak

Hubungan antara Prabu Brawijaya V dan Raden Patah adalah inti dari narasi peralihan kekuasaan di Jawa. Menurut versi Babad, hubungan ini adalah hubungan darah antara ayah dan anak. Setelah dewasa, Raden Patah diberitahu oleh ayah angkatnya, Arya Damar, bahwa ayah kandungnya adalah Prabu Brawijaya di Majapahit.

Raden Patah kemudian berangkat ke Jawa, namun tidak langsung menuju Majapahit. Ia memilih berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Pilihan ini menarik, karena Sunan Ampel sendiri adalah kemenakan dari permaisuri Brawijaya, Dyah Dwarawati dari Cempa, sehingga Patah tetap berada dalam lingkaran keluarga keraton. Atas petunjuk gurunya, Patah kemudian membuka hutan di Bintara dan mendirikan sebuah permukiman yang kelak menjadi pusat Kesultanan Demak.

Babad Majapahit mengisahkan bahwa akhirnya Prabu Brawijaya mengetahui keberadaan putranya. Alih-alih marah, sang raja justru mengakui Raden Patah dan mengangkatnya secara resmi menjadi Adipati Demak-Bintara. Versi ini menggambarkan sebuah transisi kekuasaan yang direstui, di mana Demak menjadi penerus sah dari Majapahit. Bahkan ketika para wali dan Adipati Bintara (Raden Patah) meminta Brawijaya untuk memeluk Islam, ia menolak secara halus namun tidak melarang rakyatnya untuk masuk Islam.

Namun, pandangan akademis modern yang didukung oleh catatan Tome Pires menyajikan cerita yang sama sekali berbeda. Menurut Pires, pendiri Demak bukanlah putra raja Majapahit. Kakeknya adalah seorang "budak belian" atau abdi dari Gresik yang kemudian mengabdi di Demak dan berhasil membangun kekuatan. Versi ini menempatkan pendiri Demak sebagai homo novus (orang baru) yang naik ke tampuk kekuasaan melalui kekuatan ekonomi dan militer, bukan legitimasi darah biru.

Jatuhnya Majapahit pun digambarkan berbeda. Tradisi babad sering menyebut tahun 1400 Saka (1478 M) sebagai tahun keruntuhan Majapahit, yang ditandai dengan sengkalan "sirna ilang kertaning bhumi". Namun, para sejarawan meyakini Majapahit baru benar-benar runtuh sekitar tahun 1527 M akibat serangan koalisi kerajaan-kerajaan Islam Pesisir yang dipimpin oleh Demak.

Pada akhirnya, sosok Prabu Brawijaya V menjadi titik temu antara sejarah dan mitos. Secara historis, ia adalah representasi dari raja-raja terakhir dinasti Girindrawarddhana yang kekuasaannya semakin melemah. Namun, dalam memori budaya Jawa, ia adalah figur ayah tragis yang harus menyaksikan peradaban lamanya digantikan oleh kekuatan baru yang lahir dari darah dagingnya sendiri. Kisah Brawijaya dan Raden Patah, meskipun kebenarannya diperdebatkan, telah menjadi mitos pendiri yang kuat, yang menjembatani dua era besar dalam sejarah Nusantara: dari keagungan Hindu-Buddha Kerajaan Majapahit menuju era baru kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.

Daftar Pustaka

Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Kepel Press.

de Graaf, H. J., & Pigeaud, Th. G. Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.

Pigeaud, Th. G. Th. (1960). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History. Martinus Nijhoff.

Sastradiwirya, K. (Ed.). (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar