Masa Senja Majapahit: Konflik Internal dan Perang Saudara
Konflik internal, yang dikenal sebagai Perang Paregreg, antara penerus Hayam Wuruk yang secara perlahan melemahkan pusat kekuasaan Majapahit.
![]() |
Ilustrasi suasana senja di Kerajaan Majapahit abad ke-15. (Generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Langit Majapahit tak lagi sama setelah tahun 1389 Masehi. Mpu Prapanca, dalam pujasastranya Nagarakretagama, melukiskan era keemasan di bawah Prabu Hayam Wuruk sebagai masa ketika seluruh Nusantara tunduk di bawah panji-panji Wilwatikta. Namun, wafatnya sang raja agung, disusul mangkatnya Mahapatih Gajah Mada pada 1364 M, meninggalkan kekosongan yang memicu prahara. Takhta yang ditinggalkan Hayam Wuruk menjadi benih perselisihan yang akhirnya meletus menjadi perang saudara dahsyat yang menggerogoti jantung kekuasaan Majapahit dari dalam.
Konflik ini bukanlah gejolak sesaat, melainkan puncak dari ketegangan keluarga yang telah lama terpendam. Kitab Pararaton mencatat episode kelam ini sebagai Perang Paregreg, sebuah istilah yang bermakna perang setahap demi setahap atau saling serang, yang mengadu dua kekuatan dari trah yang sama. Inilah babak senjakala bagi sebuah kemaharajaan yang pernah menjadi adikuasa di Asia Tenggara.
Perang Paregreg antara Raja dan Bhre Wirabhumi
Setelah kemangkatan Hayam Wuruk, takhta Majapahit diwariskan kepada menantunya, Wikramawardhana. Ia adalah suami dari Kusumawardhani, putri mahkota yang lahir dari permaisuri. Di atas kertas, legitimasinya kuat. Namun, Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari istri selir, yaitu Bhre Wirabhumi, yang diberi kekuasaan untuk memerintah wilayah timur Majapahit, berpusat di Blambangan.
Pembagian kekuasaan ini sejatinya adalah bom waktu yang ditinggalkan Hayam Wuruk. Wikramawardhana menguasai keraton barat di pusat Majapahit, sementara Wirabhumi membangun kekuatan di timur. Keduanya adalah pewaris takhta, meski dengan status yang berbeda: yang satu adalah menantu dan suami putri mahkota, yang lain adalah putra kandung dari seorang selir. Benih-benih perpecahan ini akhirnya tumbuh subur menjadi permusuhan terbuka.
Puncak dari pertikaian ini meletus menjadi perang besar antara tahun 1323-1328 Saka, atau 1401-1406 Masehi. Pararaton mencatat perang saudara ini sebagai Perang Paregreg, di mana kedua belah pihak saling serang untuk memperebutkan supremasi tunggal atas takhta Majapahit. Perang ini berlangsung sengit dan memakan banyak korban, menguras sumber daya dan energi kerajaan. Pertempuran berakhir tragis dengan tewasnya Bhre Wirabhumi, yang mengakhiri dualisme kepemimpinan di tanah Jawa. Wikramawardhana keluar sebagai pemenang tunggal, tetapi kemenangan itu harus dibayar mahal.
Perpecahan di Kalangan Bangsawan Majapahit
Perang Paregreg adalah manifestasi paling brutal dari perpecahan yang telah lama menggerogoti elite Majapahit. Jauh sebelum konflik antara Wikramawardhana dan Wirabhumi, kerajaan telah diguncang oleh serangkaian pemberontakan internal pada masa pemerintahan raja-raja sebelumnya, seperti pemberontakan Rangga Lawe, Lembu Sora, dan Nambi. Pemberontakan-pemberontakan ini menunjukkan adanya faksi-faksi dan ketidakpuasan di kalangan bangsawan yang merasa jasanya kurang dihargai.
Era Hayam Wuruk dan Gajah Mada memang menjadi puncak kejayaan, di mana kekuasaan pusat begitu kuat sehingga mampu meredam gejolak internal. Namun, setelah kedua pilar utama itu tiada, retakan-retakan lama kembali terbuka. Keputusan Hayam Wuruk untuk membagi wilayah kekuasaan antara menantu dan putranya, meskipun mungkin dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan, justru menjadi katalisator bagi konflik Majapahit yang lebih besar. Para bangsawan dan penguasa daerah pun terbelah, dipaksa untuk memihak salah satu dari dua kekuatan yang bertikai. Ikatan keluarga yang seharusnya menjadi pemersatu justru berubah menjadi sumber perpecahan paling mematikan.
Dampak Perang Saudara terhadap Kekuasaan Pusat
Perang Paregreg menjadi titik balik kemunduran Majapahit. Kemenangan Wikramawardhana tidak serta-merta memulihkan stabilitas. Perang saudara yang berkepanjangan itu telah menghabiskan sumber daya militer dan ekonomi kerajaan. Kekuasaan pusat menjadi sangat lemah, dan wibawa raja di mata daerah-daerah bawahan pun merosot tajam.
Kondisi ini menciptakan peluang bagi wilayah-wilayah bawahan di Nusantara untuk melepaskan diri dari hegemoni Majapahit. Pengawasan terhadap daerah-daerah taklukan, terutama yang berada di luar Jawa, menjadi semakin longgar. Di pesisir utara Jawa, kekuatan-kekuatan baru mulai muncul. Komunitas-komunitas muslim yang sebelumnya hidup berdampingan secara damai di pusat kota Majapahit, seperti yang dibuktikan oleh kompleks makam Troloyo, mulai membangun kekuatan politik dan ekonomi mereka sendiri.
Lemahnya pusat kekuasaan Majapahit pasca-Perang Paregreg membuka jalan bagi berdirinya Kerajaan Demak, yang didukung oleh para Wali Songo. Sebagaimana dikisahkan dalam Babad Majapahit dan Para Wali, Raden Patah, yang diyakini sebagai putra Brawijaya, raja terakhir Majapahit, mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa dengan dukungan Sunan Ampel. Peralihan kekuasaan ini menandai akhir dari peradaban Hindu-Buddha Majapahit dan lahirnya babak baru dalam sejarah Jawa di bawah panji-panji Islam. Dengan demikian, Perang Paregreg dapat dilihat sebagai luka fatal yang diakibatkan oleh pertikaian internal, yang pada akhirnya mempercepat keruntuhan sebuah kemaharajaan besar.
Daftar Pustaka
Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Kepel Press.
Brandes, J.L.A. (1920). Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapël en van Majapahit (N.J. Krom, Ed.; 2nd ed.). Martinus Nijhoff.
Muljana, S. (2005). Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. LKiS.
Pigeaud, T.G.Th. (1960). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, The Nagarakrtagama by Rakawi Prapanca of Majapahit 1365 AD (Vol. I-V). Martinus Nijhoff.
Sastradiwirya (Trans.). (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Posting Komentar