Pangeran Terlupakan: Anak Tohjaya dan Perlawanan di Kediri
Kisah anak Tohjaya yang mencoba bangkit dari Kediri untuk mengambil kembali takhta yang direbut dari ayahnya.
![]() |
Sang pangeran, Mahesa Wunga Teleng, berdiri teguh di tengah reruntuhan halaman candi Kediri. (Generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa – Di tengah pusaran intrik berdarah yang mewarnai Dinasti Singhasari, nama Mahesa Wunga Teleng nyaris luput dari catatan sejarah besar. Ia adalah putra Raja Tohjaya, penguasa Singhasari yang berkuasa singkat setelah membunuh pendahulunya, Anusapati. Namun, takhta yang direbut dengan keris pusaka Mpu Gandring itu harus lepas dari genggaman Tohjaya dalam waktu kurang dari setahun. Kematian tragis sang ayah menjadi titik awal dari sebuah perlawanan yang dipimpin oleh sang pangeran terlupakan dari jantung kekuasaan lama: Kediri.
Kisah Anak Raja yang Tidak Berkuasa: Mahesa Wunga Teleng
Kisah Mahesa Wunga Teleng tidak bisa dilepaskan dari tragedi yang menimpa ayahnya. Tohjaya, putra Ken Angrok dari selir Ken Umang, naik takhta Singhasari pada tahun Saka 1171 (sekitar 1249 M). Kekuasaannya rapuh sejak awal. Ia selalu dibayangi kecurigaan terhadap dua keponakannya yang memiliki garis keturunan lebih kuat: Ranggawuni (putra Anusapati) dan Mahisa Campaka (cucu Ken Angrok dari Ken Dedes).
Upaya Tohjaya untuk menyingkirkan kedua pangeran tersebut justru menjadi bumerang. Sebuah pemberontakan yang didukung oleh faksi Rajasa dan Sinelir meletus, memaksa Tohjaya melarikan diri dalam keadaan terluka parah ke Katang Lumbang, tempat ia mengembuskan napas terakhirnya pada tahun Saka 1172.
Setelah kematian Tohjaya, takhta Singhasari diduduki bersama oleh Ranggawuni yang bergelar Raja Wisnuwardhana dan Mahisa Campaka yang menjadi ratu angabhaya dengan gelar Bhatara Narasingha. Di tengah gegap gempita rezim baru inilah, Mahesa Wunga Teleng, putra sang raja yang kalah, tersingkir dari panggung kekuasaan. Tidak banyak sumber yang mencatat detail kehidupannya, namun satu hal yang pasti: ia tidak tinggal diam.
Perlawanan Terhadap Ranggawuni dari Kediri
Mahesa Wunga Teleng memilih basis perlawanannya di Kediri. Pilihan ini sangat strategis. Kediri adalah jantung peradaban lama yang ditaklukkan oleh Ken Angrok, kakeknya, pada 1144 Saka. Meski telah menjadi bagian dari Singhasari, Kediri masih menyimpan potensi sebagai pusat oposisi.
Menurut kitab Pararaton, Mahesa Wunga Teleng "menggalang kekuatan di Kediri" (angadegaken prang ring Kadiri) dan menolak tunduk pada kekuasaan Ranggawuni. Ia mengumpulkan para pengikut setia Tohjaya yang tersisa dan memproklamasikan perlawanan. Tindakan ini merupakan ancaman serius bagi stabilitas pemerintahan Wisnuwardhana dan Narasingha yang baru saja berdiri.
Raja Wisnuwardhana tidak membiarkan pemberontakan ini berlarut. Ia segera mengirim pasukan untuk menumpas perlawanan di Kediri.
"Pukulun, andika paduka bhatara, apëkikpëkik ing rupa, sama wani sira kalih, anghing pukulun, upamanira kadi wuwudun munggwing nabhi, tan wurung sira amatyani ri puhara." — (Pranaraja kepada Tohjaya tentang Ranggawuni dan Mahisa Campaka, Pararaton)
Kutipan di atas, meski ditujukan kepada Tohjaya mengenai bahaya Ranggawuni, seolah menjadi ramalan yang terbalik. Kini, giliran keturunan Tohjaya yang menjadi "duri dalam daging" (wuwudun munggwing nabhi) bagi Ranggawuni. Perang saudara pun tak terhindarkan.
Mahesa Wunga Teleng Mempertaruhkan Nyawa
Pasukan Singhasari yang dipimpin langsung oleh Raja Wisnuwardhana bergerak menuju Kediri. Pararaton mencatat pertempuran ini dengan singkat namun jelas. Kekuatan Mahesa Wunga Teleng yang baru terkonsolidasi ternyata tidak sebanding dengan kekuatan gabungan Ranggawuni dan Mahisa Campaka.
Dalam pertempuran yang menentukan, Mahesa Wunga Teleng dikalahkan. Pararaton menyebutkan bahwa ia "mati dalam pertempuran" (mati sajroning paperangan), mengakhiri perlawanan dari garis keturunan Tohjaya untuk selamanya. Kematian Mahesa Wunga Teleng menandai konsolidasi penuh kekuasaan Wisnuwardhana dan Narasingha atas seluruh wilayah bekas kekuasaan Tohjaya.
Kisah Mahesa Wunga Teleng adalah cerminan dari brutalnya perebutan kekuasaan di era Singhasari, di mana garis keturunan dan kekuatan militer menjadi penentu utama nasib seorang pangeran. Meskipun perlawanannya gagal dan namanya tenggelam di antara tokoh-tokoh besar lainnya, upayanya untuk merebut kembali hak yang ia yakini milik ayahnya menjadi epilog tragis dari kisah singkat pemerintahan Tohjaya. Ia adalah pangeran yang mencoba melawan takdir, namun akhirnya harus takluk pada kekuatan sejarah yang lebih besar.***
Posting Komentar