Pemberontakan dan Akhir Trowulan: Kejatuhan Ibu Kota Majapahit
Mengisahkan peristiwa penyerangan yang menandai keruntuhan resmi ibu kota Majapahit di Trowulan, menyisakan puing-puing kekuasaan.
![]() |
Ilustrasi peristiwa penyerangan yang menandai keruntuhan resmi ibu kota Majapahit di Trowulan, menyisakan puing-puing kekuasaan. (Generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Senja kala di Trowulan datang bukan dalam satu malam. Keruntuhan ibu kota megah Kerajaan Majapahit, sebuah epilog dari kekuasaan yang pernah menggenggam Nusantara, adalah sebuah proses panjang yang sarat dengan intrik politik, pergeseran agama, dan pertumpahan darah. Selama berabad-abad, sejarawan dan pujangga keraton merangkai kisah jatuhnya Majapahit dalam balutan mitos dan legenda, sering kali menunjuk tahun 1478 M (1400 Saka) sebagai momen definitif. Namun, catatan para musafir asing dan analisis sejarah modern melukiskan kanvas yang lebih kompleks. Berdasarkan sumber-sumber sejarah, akhir dari Trowulan sebagai pusat kekuasaan ditandai oleh serangan fatal yang terjadi puluhan tahun setelah tahun keramat tersebut, menandai babak baru dalam sejarah Jawa.
Serangan dari Kertabhumi (atau Girindrawardhana dari Kediri)
Dalam narasi tradisional Jawa, terutama yang bersumber dari Pararaton, akhir abad ke-15 adalah masa penuh gejolak. Figur-figur seperti Bhre Kertabhumi dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya muncul sebagai aktor utama dalam drama perebutan takhta. Babad dan cerita tutur sering menunjuk tahun 1478 M sebagai tahun keruntuhan Majapahit, ditandai dengan candrasengkala "sirna ilang kertaning bhumi". Tahun ini kerap dihubungkan dengan serangan dari Kediri yang dipimpin oleh Girindrawardhana, yang menggulingkan kekuasaan Kertabhumi di Trowulan.
Namun, pandangan ini ditantang oleh kesaksian sejarah yang lebih kontemporer. Penulis Portugis, Tome Pires, yang mengunjungi Jawa sekitar tahun 1513-1515, melaporkan bahwa Kerajaan Majapahit—meski kekuasaannya telah memudar—masih eksis. Pires menyebut ibu kotanya dengan nama "Dayo" (sebuah kemungkinan pelafalan untuk Daha/Kediri yang pada saat itu menjadi metonimia untuk pusat kekuasaan Majapahit) dan rajanya sebagai Batara Vigiaja (Brawijaya). Menurutnya, kekuasaan sesungguhnya tidak lagi di tangan raja, melainkan dipegang oleh seorang mahapatih perkasa bergelar "Guste Pate", yang diidentifikasi sebagai Patih Udara atau Mahudara.
"Para penulis sejarah harus pertama-tama memperhatikan sumber-sumber sejarah pribumi dari abad-abad yang lalu... Sementara itu, kecenderungan pemakaian sumber Barat dan penolakan cerita sejarah pribumi yang tidak dapat dipercaya menyebabkan penulis-penulis Barat akhir-akhir ini memberikan gambaran yang kurang tepat tentang zaman Islam." — De Graaf & Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa.
Kesaksian Pires ini membuktikan bahwa Trowulan, sebagai pusat politik, belum sepenuhnya runtuh pada 1478 M. Peristiwa yang sering dianggap sebagai kejatuhan Majapahit itu lebih merupakan satu episode dalam serangkaian perang saudara dan perebutan kekuasaan yang melemahkan kerajaan dari dalam. Serangan Girindrawardhana mungkin telah merusak pusat kekuasaan, tetapi belum mematikannya secara total.
Runtuhnya Ibu Kota Trowulan pada Awal Abad ke-16
Momen kehancuran Trowulan yang sesungguhnya terjadi hampir setengah abad setelah serangan Girindrawardhana. Para sejarawan, seperti H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, menunjuk tahun 1527 M sebagai akhir riwayat Trowulan. Tanggal ini tidak berasal dari satu prasasti tunggal, melainkan dari interpretasi terhadap sebuah babad sangkala (kronik peristiwa Jawa) yang mencatat jatuhnya Kediri pada tahun tersebut. Mengingat ibu kota Majapahit pada masa senjakalanya sering disebut sebagai Daha atau Kediri, para ahli meyakini bahwa catatan ini merujuk pada penaklukan Trowulan.
Penyerangnya bukanlah kekuatan "kafir" dari Kediri, melainkan kekuatan baru yang sedang bangkit di pesisir utara Jawa. Sumber-sumber sejarah menggambarkannya sebagai serangan yang dilancarkan oleh "sekelompok orang Islam fanatik dari Jawa Tengah". Serangan ini merupakan puncak dari ekspansi militer Kesultanan Demak di bawah pimpinan Sultan Tranggana. Para ulama, terutama Sunan Kudus, memainkan peranan penting dalam memobilisasi "para santri" untuk perang suci melawan kekuasaan "kafir" Majapahit.
Berbeda dengan narasi penaklukan ini, Babad Majapahit dan Para Wali menyajikan versi yang lebih halus tentang transisi kekuasaan. Dalam babad tersebut, Raden Patah, pendiri Demak, digambarkan sebagai putra dari Prabu Brawijaya sendiri dengan seorang putri dari Cina. Perpindahan kekuasaan lebih dilukiskan sebagai suksesi dinasti yang tak terelakkan, yang bahkan telah diramalkan sebelumnya, ketimbang sebuah invasi brutal. Sunan Ampel bahkan sempat menasihati Adipati Bintara (Raden Patah) untuk tidak menyerang Majapahit karena "saatnya belum tiba".
"Jatuhnya Kerajaan Majapahit, dianggap sebagai keruntuhan suatu peradaban... Peradaban Jawa Majapahit tidak lenyap, melainkan sedikit demi sedikit diislamkan." — De Graaf & Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa.
Terlepas dari perbedaan versi, semua sumber setuju bahwa pada perempat pertama abad ke-16, kekuasaan Trowulan benar-benar berakhir. Serangan dari Demak pada 1527 M menandai kehancuran fisik dan simbolis ibu kota tersebut. Para bangsawan dan keluarga patih yang masih setia pada kepercayaan lama melarikan diri ke timur, terutama ke daerah Sengguruh dan Blambangan, untuk melanjutkan perlawanan.
Perpindahan Pusat Kekuasaan ke Pesisir dan Pedalaman
Runtuhnya Trowulan menciptakan kekosongan kekuasaan di jantung Jawa. Pusat peradaban dan politik yang selama berabad-abad berada di pedalaman kini bergeser secara dramatis.
• Dominasi Pesisir Utara: Kekuatan pertama yang mengisi kekosongan ini adalah kerajaan-kerajaan Islam di Pesisir Utara. Demak, dengan legitimasi sebagai penakluk Majapahit, naik sebagai kekuatan utama di Jawa Tengah. Di Jawa Timur, kota-kota pelabuhan yang telah lama menjadi pusat perdagangan internasional seperti Surabaya, Gresik-Giri, dan Tuban, mengukuhkan kemerdekaan dan pengaruh mereka. Masa ini ditandai dengan berkembangnya "peradaban Pesisir" yang kosmopolit, terbuka terhadap pengaruh asing dari Cina, India, dan Arab, yang berbeda dari budaya keraton Majapahit yang lebih agraris dan tertutup.
• Kebangkitan Kembali Pedalaman: Dominasi Pesisir ternyata tidak berlangsung lama. Konflik internal di Demak setelah wafatnya Sultan Tranggana pada 1546 melemahkan hegemoni mereka. Pusat kekuasaan kemudian bergeser kembali ke pedalaman, pertama ke Pajang di bawah Jaka Tingkir (Sultan Adiwijaya), seorang tokoh yang memiliki kaitan dengan keluarga raja Demak dan Pengging. Akhirnya, pada dasawarsa terakhir abad ke-16, Panembahan Senapati mendirikan dinasti Mataram yang kelak akan menaklukkan hampir seluruh kerajaan Pesisir dan menjadi kekuatan dominan di Jawa selama berabad-abad.
Kehancuran Trowulan bukanlah akhir dari peradaban Jawa, melainkan sebuah titik balik yang mengubah peta politik, agama, dan budaya di pulau ini. Puing-puing ibu kota Majapahit yang kini tersebar di Trowulan menjadi saksi bisu dari sebuah transisi besar, dari era kerajaan Hindu-Buddha yang agung menuju lahirnya negara-negara Islam yang akan membentuk wajah Jawa modern.
Daftar Pustaka
Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Penerbit Kepel Press.
Brandes, J. L. A. (1920). Pararaton (Ken Arok) of Het Boek der Koningen van Tumapël en van Majapahit (N. J. Krom, Ed.; 2nd ed.). Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
de Graaf, H. J., & Pigeaud, Th. G. Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.
Kern, H. (1919). Het Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 A.D.) (N. J. Krom, Ed.). Martinus Nijhoff.
Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Posting Komentar