Pemerintahan Hayam Wuruk Pasca-Gajah Mada: Tantangan Baru

Table of Contents

Mengulas tantangan yang dihadapi Hayam Wuruk dalam memimpin Majapahit setelah wafatnya Patih Gajah Mada, menandai awal perubahan.

Ilustrasi Raja Hayam Wuruk usai ditinggalkan Mahapatih Gajah Mada. (Generatif ChatGPT)

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Langit Majapahit kelabu pada tahun Saka 1286, atau 1364 Masehi. Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada, pilar penyangga imperium, arsitek Sumpah Palapa yang menyatukan Nusantara, telah mangkat. Kepergiannya meninggalkan kekosongan raksasa di jantung pemerintahan. Bagi Raja Hayam Wuruk—yang saat itu memerintah di puncak keemasan Majapahit (1350-1389 M)—ini adalah ujian terberat. Tanpa Gajah Mada di sisinya, sang raja kini harus menghadapi tantangan baru seorang diri, menahkodai sebuah imperium besar yang mulai menunjukkan retak-retak pertamanya. Era baru politik Majapahit pun dimulai.

Penataan Pemerintahan Tanpa Patih Agung

Pertanyaan terbesar yang menggema di balairung istana adalah: siapa yang sanggup menggantikan Gajah Mada? Sumber-sumber sejarah mencatat betapa sulitnya mencari suksesor yang sepadan. Kesedihan mendalam menyelimuti Prabu Hayam Wuruk, yang merasa putus asa atas kehilangan patih setianya.

Menghadapi krisis kepemimpinan ini, Hayam Wuruk tidak mengambil keputusan gegabah. Ia segera mengadakan rapat besar yang dihadiri oleh seluruh anggota keluarga inti kerajaan, sebuah badan yang dapat disebut sebagai Dewan Pertimbangan Agung. Rapat ini dihadiri oleh tokoh-tokoh sentral seperti ayahanda raja, Sri Kertawardana; ibundanya, Rani Kahuripan (Tribhuwanatunggadewi); serta paman dan bibinya, Wijayarajasa (Raja Wengker) dan Rajadewi Maharajasa (Rani Daha).

Setelah perundingan yang alot, dewan mengambil keputusan radikal. Mereka sepakat bahwa posisi Gajah Mada tidak akan diganti oleh satu orang pun. Menurut mereka, tidak ada seorang pun yang mampu menandingi kapasitas sang mahapatih. Sebagai gantinya, tugas-tugas Gajah Mada yang sangat luas—mencakup politik, militer, hingga pengadilan—dibagi kepada sebuah dewan yang terdiri dari enam menteri.

Struktur baru ini secara efektif mengubah sistem pemerintahan. Hayam Wuruk kini memimpin secara langsung, dibantu oleh kabinetnya. Para menteri yang ditunjuk untuk mengisi kekosongan tersebut adalah:

• Empu Tandi, yang diangkat menjadi wreddhamantri (Menteri Senior).

• Empu Nala, seorang pahlawan perang penakluk Dompo, menjabat sebagai tumenggung mancanegara (wakil mahkota atau panglima).

• Patih Dami, diangkat menjadi yuwamantri (Menteri Muda) yang mengurus urusan dalam keraton.

• Empu Singa, menjabat sebagai sekretaris negara yang bertugas menyaksikan dan menyalurkan perintah raja.

• Sri Kertawardana (ayah Hayam Wuruk) dan Wikramawardhana (ipar Hayam Wuruk), keduanya menjabat sebagai dharmadhyaksa atau ketua mahkamah agung.

Langkah ini menunjukkan kecakapan politik Hayam Wuruk dalam beradaptasi. Ia tidak memaksakan adanya satu figur dominan baru yang berpotensi menimbulkan persaingan, melainkan mendistribusikan kekuasaan kepada dewan menteri yang berada di bawah kendali langsungnya.

Tantangan dari Daerah dan Pemberontakan Kecil

Meskipun pemerintahan pusat berhasil ditata ulang, tantangan tak berhenti datang. Stabilitas pasca-Gajah Mada tidak sepenuhnya mulus. Sumber sastra seperti Babad Majapahit melukiskan adanya intrik dan kekerasan di lingkar istana yang mencerminkan potensi ketidakstabilan. Salah satu kisah dramatis menyebutkan perselisihan antara Raja Brakumara (pengganti Prabu Anom) dengan Patih Gajah (Permada) karena sang patih melarang raja berburu di hutan. Merasa kehendaknya ditentang, raja memerintahkan pembunuhan sang patih. Namun, tindakan ini memicu pembalasan. Udara, putra sang patih dari Kediri, menuntut balas dengan membunuh Raja Brakumara saat berburu di hutan. Meskipun kisah ini bersifat sastrawi dan mungkin tidak sepenuhnya akurat secara historis, ia menggambarkan betapa rapuhnya keseimbangan kekuasaan dan potensi pemberontakan dari daerah akibat kebijakan raja yang dianggap sewenang-wenang.

Selain intrik istana, kerajaan juga dihadapkan pada tantangan alam. Kitab Nagarakretagama dan Babad Majapahit menyebutkan adanya wabah penyakit (gering) yang melanda Majapahit, menyebabkan ratusan orang meninggal dunia dan melumpuhkan aktivitas penjagaan istana. Bencana semacam ini jelas menguras sumber daya dan energi kerajaan, menjadi ujian berat bagi administrasi baru pasca-Gajah Mada.

Di cakrawala politik, benih-benih perpecahan masa depan juga mulai ditanam. Hayam Wuruk, dalam upaya menjaga harmoni keluarga, membagi kerajaan menjadi dua bagian: wilayah barat (Majapahit) yang akan diwariskan kepada menantunya, Wikramawardhana, dan wilayah timur (Blambangan) yang diberikan kepada putranya dari selir, Bhre Wirabhumi. Keputusan ini, meskipun bertujuan baik, kelak menjadi pemicu Perang Paregreg (1401–1406 M), sebuah perang saudara dahsyat yang menandai awal kemunduran serius Kerajaan Majapahit setelah era Hayam Wuruk.

Langkah Hayam Wuruk Mempertahankan Kekuasaan

Menyadari tantangan yang ada, Hayam Wuruk tidak hanya berdiam di istana. Ia mengambil langkah proaktif untuk mempertahankan kewibawaan dan kesatuan wilayahnya. Salah satu strategi utamanya adalah melakukan perjalanan keliling daerah (Desawarnana) secara berkala.

Perjalanan ini bukan sekadar pesiar. Ini adalah sebuah instrumen politik penting untuk:

1. Inspeksi Langsung: Mengunjungi desa-desa, bangunan suci, dan pusat-pusat pemerintahan daerah untuk menyaksikan sendiri kondisi rakyat dan pelaksanaan perintahnya.

2. Menunjukkan Kehadiran: Dengan berkeliling, ia menegaskan eksistensi dan kekuasaan pusat di hadapan para penguasa daerah dan rakyatnya, sekaligus memperkuat legitimasi.

3. Konsolidasi Wilayah: Mengunjungi tempat-tempat penting seperti Lumajang, Simping, dan Palah (Panataran) menunjukkan perhatian raja pada wilayah-wilayah strategis dan tempat pendharmaan leluhurnya.

Selain kunjungan fisik, Hayam Wuruk juga aktif dalam menegakkan hukum dan administrasi. Ia mengeluarkan berbagai prasasti (piagam) untuk mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. Salah satu contoh penting adalah Prasasti Canggu (1358 M), yang memberikan aturan dan hak istimewa kepada desa-desa penyeberangan di sepanjang Sungai Brantas. Ini menunjukkan bahwa raja secara langsung terlibat dalam pengelolaan infrastruktur vital yang menopang perdagangan dan mobilitas di dalam kerajaan.

Perhatian pada bangunan suci (dharma) juga menjadi prioritas. Ia tercatat memerintahkan perbaikan Candi Simping (Sumberjati), tempat pendharmaan kakeknya, Raden Wijaya (Kertarajasa). Dengan merawat peninggalan leluhur, ia tidak hanya menjalankan kewajiban religius tetapi juga memperkuat klaim dinastinya sebagai pewaris sah takhta Majapahit.

Era pasca-Gajah Mada adalah masa transisi krusial bagi Majapahit. Kehilangan sang mahapatih memaksa Prabu Hayam Wuruk untuk berinovasi dalam struktur pemerintahan dan lebih aktif turun langsung mengelola negara. Melalui restrukturisasi kabinet, perjalanan keliling daerah, dan penegakan hukum, ia berhasil mempertahankan stabilitas dan menunda kemunduran yang tak terelakkan. Namun, tantangan internal seperti intrik istana, wabah, dan potensi konflik suksesi terus membayangi. Meskipun Hayam Wuruk mampu menavigasi periode sulit ini dengan cakap, keputusan-keputusannya—terutama pembagian wilayah untuk ahli warisnya—pada akhirnya turut membuka jalan bagi era kemunduran Majapahit di abad berikutnya.

Daftar Pustaka

Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Kepel Press.

Kern, H. (1919). Het Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 A.D.). Martinus Nijhoff.

Muljana, S. (2005). Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. LKiS.

Pigeaud, T. G. Th. (1960). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History (Vol. II & III). Martinus Nijhoff.

Pigeaud, T. G. Th. (1962). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History (Vol. IV & V). Martinus Nijhoff.

Sastradiwirya (Trans.). (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar