Raden Patah: Sang Pendiri Demak dan Pewaris Takhta Jawa
Membahas kelahiran Kesultanan Demak yang didirikan oleh Raden Patah, menandai transisi penting dari Hindu-Buddha ke Islam di Jawa.
![]() |
Ilustrasi potret Raden Patah. (Generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Senja kala kekuasaan Majapahit mulai meredup pada abad ke-15. Di pesisir utara Jawa, sebuah kekuatan baru menggeliat, didorong oleh semangat keagamaan dan denyut nadi perdagangan yang kian ramai. Di tengah transisi genting dari peradaban Hindu-Buddha ke era Islam ini, muncullah sesosok figur sentral: Raden Patah. Dialah sang pewaris takhta Jawa yang menempuh jalan berbeda, seorang pangeran Majapahit yang ditakdirkan menjadi pendiri kesultanan Islam pertama di tanah Jawa, Demak.
Kisah hidupnya, yang terjalin antara takdir, politik, dan dakwah, banyak terekam dalam karya sastra sejarah Jawa yang dikenal sebagai babad. Sumber-sumber seperti Serat Babad Demak dan Babad Majapahit dan Para Wali mengabadikan jejaknya. Namun, penting untuk memahami bahwa babad sebagai sebuah genre sastra kerap kali menyisipkan mitos, dongeng, dan pemujaan berlebihan, sehingga isinya perlu dipahami sebagai sebuah narasi sejarah dari perspektif zamannya, bukan catatan faktual yang mutlak. Dengan bercermin pada naskah-naskah inilah, kita menelusuri kembali jejak sang pendiri Demak.
"Babad merupakan genre sastra sejarah. Akan tetapi, sukar untuk menyelidiki latar belakang sejarah suatu negara melalui sebuah babad. Hal ini dikarenakan isi teks babad biasanya banyak disisipi cerita mitos dan dongeng setempat atau pemujaan secara berlebihan terhadap yang diceritakan." (Arimurti, K., Amanah, S., & Sadewa, T. C., 2023, hlm. 1).
Asal-Usul Raden Patah dan Hubungan dengan Majapahit
Legitimasi kekuasaan di Jawa sering kali bertumpu pada garis keturunan. Dalam hal ini, Raden Patah memiliki klaim yang sangat kuat. Berbagai babad menuturkan bahwa ia adalah putra dari Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Ibunya adalah seorang putri dari Cina yang menjadi salah satu selir raja. Menurut Babad Majapahit, saat sang putri sedang mengandung, para madunya merasa tidak senang karena tubuhnya tampak bercahaya di malam hari. Sebuah mimpi sang raja yang melihat bulan jatuh di pangkuan permaisuri Cina itu ditafsirkan sebagai pertanda bahwa anak yang dikandungnya kelak akan menggeser takhta ayahnya.
Atas desakan para madu atau karena kekhawatiran politik, Brawijaya akhirnya merelakan sang putri. Dalam keadaan hamil tua, ia diserahkan kepada Adipati Palembang, Arya Damar (atau Arya Dilah), yang juga merupakan anak Brawijaya dari istri lain. Di Palembang inilah sang pangeran lahir dan diberi nama Raden Patah. Di sana pula ia tumbuh besar bersama saudara tirinya, Raden Kusen (atau Husen), putra kandung Arya Damar.
Beranjak dewasa, keduanya diperintahkan untuk mengabdi ke Majapahit. Namun, jalan hidup mereka berbeda. Raden Kusen langsung mengabdi kepada Prabu Brawijaya, mendapat kepercayaan, dan kemudian diangkat menjadi adipati di Terung dengan gelar Pecatandha. Sebaliknya, Raden Patah memilih jalan lain. Ia tidak langsung menuju keraton, melainkan berbelok ke Ampeldenta di Surabaya untuk berguru kepada seorang ulama kharismatik, Sunan Ampel. Pilihan ini menjadi titik awal perjalanannya membangun sebuah peradaban baru.
Pendirian Kesultanan Demak di Pesisir Utara
Di bawah bimbingan Sunan Ampel, Raden Patah diperintahkan untuk memulai sebuah laku spiritual dan kepemimpinan. Ia ditugaskan mencari sebuah hutan di arah barat yang beraroma wangi, dikenal sebagai Glagah Wangi, dan membuka permukiman di sana. Titah sang guru ia laksanakan dengan patuh. Di tengah belantara itu, ia mendirikan sebuah pondok yang kemudian berkembang menjadi pedukuhan bernama Bintara.
"Raden sira ngulatana aglis/ angulona lamun ana alas/ Galagah Wangi gandane/ adhěkahana putrengsun/ akrapěna agama suci/ ing sarak Rasullolah/ měnawi ing besuk/ lama-lama dadi kutha/ baya sira wiwit ratu gama suci/ sira anglěbur buda//" (Arimurti, K., Amanah, S., & Sadewa, T. C., 2023, hlm. 10).
Pedukuhan Bintara dengan cepat menarik banyak pengikut, terutama dari masyarakat pesisir (wong pasisir) yang memeluk agama Islam. Perkembangannya yang pesat akhirnya terdengar hingga ke telinga Prabu Brawijaya di Majapahit. Khawatir akan munculnya kekuatan baru, sang raja memerintahkan Adipati Terung, Pecatandha, untuk menumpasnya. Namun, setibanya di sana, Pecatandha justru bertemu dengan kakak tirinya, Raden Patah. Ia pun kembali ke Majapahit dan melaporkan bahwa pemimpin Bintara tak lain adalah putra sang prabu sendiri.
Ingatan Prabu Brawijaya pulih. Ia kemudian memanggil Raden Patah ke istana. Dalam sebuah adegan dramatis yang dilukiskan dalam Serat Babad Demak, sang raja menatap wajah Raden Patah dan bayangannya sendiri di cermin (kaca), lalu menyadari kemiripan di antara mereka. Pada momen itulah, Raden Patah diakui sebagai putranya dan secara resmi diangkat menjadi Adipati di Demak-Bintara. Legitimasi dari pusat kekuasaan Majapahit ini menjadi fondasi politik yang krusial bagi Demak.
Namun, status sebagai vasal Majapahit tidak berlangsung lama. Dengan semakin kuatnya pengaruh para wali dan menyebarnya Islam, gagasan untuk mendirikan sebuah kerajaan Islam yang merdeka mulai mengemuka. Para wali, setelah berembuk, memutuskan untuk menyerang Majapahit yang dianggap sebagai kerajaan "kafir" (ratu kupar) dan mengangkat Raden Patah sebagai pemimpinnya dengan gelar ratu agami (raja urusan agama).
Perang pun tak terhindarkan. Meski sempat diwarnai tragedi dengan gugurnya Sunan Ngudung, panglima perang Demak, pasukan Islam akhirnya berhasil menaklukkan ibu kota Majapahit sekitar tahun 1527 M. Setelah keruntuhan Majapahit, Raden Patah dinobatkan sebagai sultan pertama Demak dengan gelar Senapati Jimbun Ngabdu'r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata' Gama. Penobatannya ditandai dengan sengkalan Tan Lena Sucining Raja yang menunjuk tahun 1403 Saka atau 1481 Masehi.
Strategi Politik dan Ekonomi di Bawah Demak
Keberhasilan Raden Patah tidak hanya bertumpu pada kekuatan militer, tetapi juga pada strategi politik dan pemanfaatan momentum perubahan ekonomi di pesisir utara Jawa.
Secara politik, strategi Raden Patah berpusat pada dua pilar utama:
1. Klaim Legitimasi Ganda: Ia adalah pewaris takhta Jawa melalui darah Brawijaya dari Majapahit, yang memberinya hak tradisional atas kekuasaan. Pada saat yang sama, ia adalah pemimpin yang direstui oleh para wali, memberinya legitimasi religius di mata komunitas Islam yang sedang tumbuh pesat. Kombinasi ini menjadikannya figur pemersatu yang ideal di masa transisi.
2. Aliansi dengan Kekuatan Agama: Kekuatan Demak tidak terlepas dari dukungan penuh Wali Sanga. Para wali bukan hanya menjadi penasihat spiritual, tetapi juga penggerak kekuatan sosial dan militer yang mampu memobilisasi "kelompok-kelompok orang alim" untuk berjihad melawan Majapahit.
Secara ekonomi, kebangkitan Demak sejalan dengan pergeseran pusat perekonomian dari pedalaman agraris Majapahit ke kota-kota pelabuhan yang dinamis di Pesisir Utara.
• Lokasi Strategis: Demak berada di muara selat yang memisahkan Pegunungan Muria dari daratan Jawa, menjadikannya jalur pintas pelayaran yang vital pada masanya. Posisinya sebagai pusat penimbunan dan perdagangan beras dari daerah pedalaman yang subur memberinya kekuatan ekonomi yang besar untuk menyuplai kapal-kapal dagang internasional.
• Pusat Perdagangan Baru: Sebagai kerajaan Islam, Demak menjadi bagian dari jaringan perdagangan Muslim yang membentang dari Malaka hingga Maluku. Hal ini menarik para pedagang Islam, baik dari Nusantara maupun mancanegara, untuk singgah dan berdagang, memperkuat posisi Demak sebagai pusat ekonomi baru yang menggantikan dominasi Majapahit.
Dengan demikian, kelahiran Kesultanan Demak di bawah pimpinan Raden Patah bukanlah sekadar perebutan kekuasaan, melainkan puncak dari sebuah transformasi peradaban yang kompleks di tanah Jawa. Ia berhasil memadukan klaim warisan lama dengan semangat zaman baru, menjadikan Demak sebagai gerbang utama era Islam di Jawa sekaligus pewaris sah dari kemegahan masa lalu.
Daftar Pustaka
Arimurti, K., Amanah, S., & Sadewa, T. C. (Eds.). (2023). Alih Aksara Serat Babad Demak. Perpusnas PRESS.
De Graaf, H. J., & Pigeaud, Th. G. Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.
Muljana, S. (2005). Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit). LKiS.
Pigeaud, Th. G. Th. (1960). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History (Vol. II: Notes on the Texts and the Translations). Martinus Nijhoff.
Pigeaud, Th. G. Th. (1962). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History (Vol. IV: Commentaries and Recapitulation). Martinus Nijhoff.
Pigeaud, Th. G. Th. (1962). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History (Vol. V: Glossary, General Index). Martinus Nijhoff.
Prapanca, R. (1919). Het Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama. Martinus Nijhoff.
Prawirayuda, R. P. (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1 (Sastradiwirya, Alih Aksara). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Rangkuti, N., et al. (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. (I. Andrisijanti, Ed.). Kepel Press.
Posting Komentar