Sastra dan Budaya Majapahit: Karya Besar Era Hayam Wuruk
Mengulas kekayaan budaya dan sastra di masa Majapahit, khususnya karya epik Nagarakrtagama yang menjadi sumber sejarah penting.
![]() |
Raja Hayam Wuruk, yang tampak agung di atas kereta kencana emas yang ditarik oleh lembu-lembu berharga. Ia ditemani oleh Mahapatih Gajah Mada yang bijaksana. (Generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Iring-iringan agung itu bergerak membelah pedesaan Jawa. Kereta kencana Raja Hayam Wuruk, ditarik lembu pilihan, melaju diiringi para pembesar, pendeta, pujangga, dan pasukan Bhayangkari yang menunggang gajah dan kuda. Perjalanan keliling sang raja bukanlah sekadar pelesir, melainkan sebuah penegasan kekuasaan sekaligus perayaan atas kemakmuran Nusantara di bawah panji-panji kebesaran Majapahit. Momen-momen inilah, bersama dengan denyut kehidupan ibu kota dan detail tatanan kerajaan, yang diabadikan dengan teliti dalam mahakarya sastra pada abad ke-14.
Masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389 M), yang didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, memang menjadi puncak kejayaan Majapahit. Namun, kebesaran sebuah peradaban tidak hanya diukur dari luas wilayah kekuasaan yang membentang dari Sumatra hingga Maluku, tetapi juga dari warisan budaya dan intelektual yang dihasilkannya. Pada era inilah Sastra Jawa Kuno mencapai puncak kemegahannya, melahirkan karya-karya monumental yang hingga kini menjadi sumber utama bagi sejarawan dan arkeolog untuk merekonstruksi potret gemilang masa lalu.
Nagarakrtagama Karya Mpu Prapanca
Di antara sekian banyak peninggalan literer, tak ada yang lebih berkilau selain Kakawin Nagarakrtagama. Ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M (1287 Saka), karya ini sesungguhnya berjudul Desawarnana atau "Uraian tentang Desa-Desa". Namun, ia lebih dikenal sebagai Nagarakrtagama, sebuah pujasastra atau syair pujian yang didedikasikan untuk Raja Hayam Wuruk. Prapanca, seorang pejabat keagamaan Buddha dan pujangga keraton, menulisnya tidak hanya sebagai sanjungan, tetapi juga sebagai catatan sejarah yang sangat detail.
Karya ini menjadi jendela utama untuk mengintip kemegahan ibu kota di Trowulan. Prapanca melukiskan dengan rinci tata letak keraton yang dikelilingi tembok bata merah tebal dan tinggi, alun-alun luas, pendopo-pendopo agung, hingga bangunan-bangunan suci bagi kaum Siwa dan Buddha yang hidup berdampingan. Lebih dari itu, kakawin ini adalah sumber primer yang mencatat daftar wilayah bawahan Majapahit di seluruh Nusantara, serta hubungan diplomatik dengan negara-negara sahabat seperti Siam (Syangka), Kamboja, Campa, dan Yawana (Annam).
Nilai historis Nagarakrtagama tak ternilai. Para arkeolog modern kerap menjadikannya panduan—"kitab di tangan kiri dan cetok di tangan kanan"—untuk melacak dan menginterpretasikan peninggalan fisik Majapahit di lapangan. Perjalanan napak tilas Hayam Wuruk ke berbagai dharma (candi pendharmaan leluhur) seperti Candi Palah (Panataran) dan Lwang Wentar (Sawentar) di Blitar, serta Candi Simping, direkam dengan baik dalam kitab ini, memberikan bukti otentik mengenai fungsi dan pentingnya situs-situs tersebut pada masanya.
Karya-karya Sastra Lain dan Nilai Historisnya
Zaman keemasan Majapahit tidak hanya melahirkan Nagarakrtagama. Terdapat karya sastra lain yang memberikan perspektif berbeda dan melengkapi narasi besar tentang kerajaan ini.
• Pararaton (Kitab Raja-Raja): Jika Nagarakrtagama adalah potret puitis sebuah era, maka Pararaton adalah kronik yang lebih membumi, meski tak lepas dari unsur mitos. Ditulis pada periode yang lebih akhir, kitab ini mencakup rentang waktu yang lebih panjang, dimulai dari kisah legendaris Ken Angrok, pendiri dinasti Rajasa yang menurunkan raja-raja Majapahit. Pararaton menyajikan narasi politik yang lebih lugas, mencatat intrik, pemberontakan, dan suksesi raja-raja Tumapel hingga Majapahit. Meski terkadang informasinya simpang siur atau berbeda dengan Nagarakrtagama, Pararaton tetap menjadi sumber pembanding yang krusial bagi sejarawan. Menariknya, Pararaton juga mencatat sisi personal raja, seperti kegemaran Hayam Wuruk dalam seni pertunjukan, sebuah detail yang tidak terlalu ditonjolkan dalam Nagarakrtagama.
• Babad dan Kidung: Tradisi penulisan sejarah terus berlanjut bahkan setelah keruntuhan Majapahit. Salah satu bentuknya adalah babad, seperti Babad Majapahit dan Para Wali. Ditulis dalam bentuk tembang atau syair yang dinyanyikan, babad ini merefleksikan cara pandang masyarakat Jawa era Islam terhadap masa lalu Hindu-Buddha mereka. Di dalamnya, figur historis seperti Prabu Brawijaya dan Gajah Mada (disebut Gajah Permada) berbaur dengan tokoh mitologis dan para wali penyebar Islam. Babad ini menceritakan versi pendirian Majapahit oleh Jaka Suruh yang kemudian bergelar Prabu Brawijaya I dan berakhir hingga era Demak dan Pajang. Karya-karya seperti ini menunjukkan betapa kuatnya memori kolektif tentang kebesaran Majapahit, yang terus-menerus ditulis ulang dan diadaptasi dalam konteks budaya yang baru.
Perkembangan Seni Pertunjukan dan Arsitektur
Kekayaan sastra Majapahit berjalan seiring dengan berkembangnya ekspresi budaya lainnya, terutama seni pertunjukan dan arsitektur.
• Seni Pertunjukan: Era Hayam Wuruk adalah masa di mana berbagai upacara kebesaran di istana diselenggarakan dengan meriah. Meskipun detailnya minim, Nagarakrtagama menggambarkan berbagai perayaan yang pastinya melibatkan musik dan tarian. Lebih jauh, seperti yang dicatat dalam Pararaton, sang raja sendiri gemar ikut serta dalam pertunjukan topeng dan seni drama lainnya, memukau para penonton dengan kemampuannya. Tradisi sastra lisan dan pertunjukan juga tecermin dalam format tembang pada karya-karya babad, di mana kisah-kisah sejarah tidak hanya dibaca tetapi juga dilantunkan.
• Arsitektur: Jejak kejayaan Majapahit yang paling kasat mata hingga kini adalah peninggalan arsitekturnya yang megah. Ibu kota di Trowulan merupakan sebuah kompleks perkotaan besar yang ditata dengan sistem kanal dan waduk canggih, seperti Kolam Segaran yang luasnya mencapai 6,5 hektar. Bangunan-bangunan monumental didirikan menggunakan material utama bata merah dan batu andesit. Peninggalan ikoniknya meliputi gapura-gapura megah seperti Candi Wringin Lawang (gapura bentar) dan Bajang Ratu (gapura paduraksa), serta petirtaan suci Candi Tikus. Di luar ibu kota, candi-candi kerajaan dibangun sebagai pusat pemujaan dan pendharmaan. Salah satu yang terbesar adalah Candi Panataran di Blitar, sebuah kompleks luas dengan pola tiga halaman berundak yang mengingatkan pada arsitektur pura di Bali. Dinding-dinding candi ini dihiasi dengan relief-relief naratif yang indah, menggambarkan tidak hanya kisah-kisah epik seperti Ramayana, tetapi juga potret kehidupan sehari-hari masyarakat Majapahit, mulai dari kegiatan pertanian, berburu, hingga pemanfaatan alat transportasi. Relief ini menjadi "potret" visual yang melengkapi narasi tekstual dari karya sastra.
Pada akhirnya, kebesaran Majapahit di era Hayam Wuruk tidak hanya terukir pada batu candi yang kokoh, tetapi juga tertulis abadi dalam lembar-lembar lontar. Karya-karya seperti Nagarakrtagama dan Pararaton adalah warisan tak ternilai yang melampaui sekadar catatan sejarah; ia adalah cerminan dari sebuah peradaban yang matang, yang menguasai seni kata, tata kota, dan tata negara dengan sama baiknya. Mempelajarinya hari ini adalah upaya memahami akar kebesaran bangsa, sebuah jejak jaya yang terus menginspirasi.
Daftar Pustaka
Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Kepel Press.
Brandes, J. L. A. (1920). Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapël en van Majapahit (2nd ed., N. J. Krom, Ed.). Albrecht & Co.
Kern, H., & Krom, N. J. (1919). Het Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 A.D.). Martinus Nijhoff.
Pigeaud, Th. G. Th. (1962). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History. The Nagarakrtagama by Rakawi Prapanca of Majapahit 1365 AD (Vol. IV). Martinus Nijhoff.
Sastradiwirya (Trans.). (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Slametmulyana. (1979). Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Bhratara Karya Aksara.
Posting Komentar