Tragis di Lapangan Bubat: Kisah Cinta yang Berakhir Perang
Kisah tragis Perang Bubat, di mana pernikahan politik Hayam Wuruk dengan putri Sunda, Dyah Pitaloka, berakhir dengan pertumpahan darah.
![]() |
Ilustrasi kedatangan rombongan Kerajaan Sunda di Lapangan Bubat. (Generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Sejatinya, pernikahan itu diharapkan menjadi jembatan emas penyatu dua kerajaan besar di Tanah Jawa. Di satu sisi, Majapahit tengah berada di puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M) dan Mahapatih Gajah Mada. Di sisi lain, Kerajaan Sunda berdiri megah di tanah Pasundan. Namun, kisah yang semestinya menjadi simbol persatuan justru berakhir menjadi salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah Nusantara.
Kisah Perang Bubat begitu melegenda, sering diceritakan turun-temurun dan bahkan diadaptasi dalam berbagai karya sastra modern, seperti novel "Perang Bubat" karya Langit Kresna Hariadi. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa sumber-sumber terlampir tidak memuat detail narasi Perang Bubat secara langsung. Namun, dari serpihan informasi yang ada, kita dapat merangkai konteks politik, ambisi, dan kebesaran yang melingkupi peristiwa nahas tersebut, yang menurut tradisi sejarah bersumber dari naskah-naskah seperti Pararaton dan Kidung Sunda.
Rencana Pernikahan Raja Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka
Pada abad ke-14, Kerajaan Majapahit adalah sebuah negara adidaya di Asia Tenggara. Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, yang digambarkan dalam Nagarakretagama sebagai sosok yang sering melakukan perjalanan keliling negeri untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya, Majapahit mencapai puncak kemegahan. Dalam politik kerajaan kuno, pernikahan adalah alat diplomasi yang ampuh. Sebagaimana Prabu Brawijaya dari Majapahit yang disebut bermimpi mempersunting putri dari negeri Cempa untuk memperkuat hubungan politik, pernikahan antara Hayam Wuruk dengan putri dari Kerajaan Sunda, yang dikenal dalam legenda dengan nama Dyah Pitaloka Citraresmi, juga diharapkan memiliki tujuan serupa.
Sumber-sumber historis seperti Nagarakretagama menyebutkan bahwa Hayam Wuruk memang memiliki permaisuri utama, yaitu sepupunya sendiri bernama Susumnadewi. Teks Nagarakretagama juga menyebutkan bahwa istri pertamanya adalah seorang putri Sunda yang telah wafat, namun tidak memberikan detail mengenai tragedi yang melingkupinya. Dari sinilah legenda Perang Bubat menemukan pijakannya.
Informasi di luar sumber yang diberikan: Menurut naskah Pararaton, kisah ini bermula dari keinginan Hayam Wuruk untuk mempersunting Dyah Pitaloka, putri Raja Sunda, setelah melihat lukisan sang putri yang sangat cantik. Lamaran pun dikirimkan dan diterima oleh pihak Kerajaan Sunda, yang melihatnya sebagai kesempatan untuk menjalin aliansi dengan kerajaan besar Majapahit.
Konflik Diplomasi antara Gajah Mada dan Raja Sunda
Di balik rencana pernikahan agung ini, tersembunyi ambisi politik yang membara. Sang Mahapatih Gajah Mada, arsitek kebesaran Majapahit, adalah sosok sentral dalam konflik ini. Ia dikenal dengan sumpahnya yang legendaris, Sumpah Palapa, yang bertujuan mempersatukan seluruh Nusantara di bawah panji-panji Majapahit. Dalam daftar wilayah yang harus ditaklukkan menurut Pararaton, nama Sunda secara eksplisit disebutkan.
Fakta ini memunculkan pertanyaan krusial: apakah Majapahit memandang pernikahan ini sebagai penyatuan dua kerajaan yang setara, atau sebagai bentuk penyerahan diri (upeti) dari Kerajaan Sunda? Di sinilah letak bibit tragedi itu. Gajah Mada, dengan visinya untuk menyatukan Nusantara, diduga menafsirkan kedatangan rombongan Raja Sunda bukan sebagai tamu kehormatan, melainkan sebagai vasal yang datang untuk menyerahkan sang putri sebagai tanda takluk.
Informasi di luar sumber yang diberikan: Menurut tradisi lisan dan Kidung Sunda, konflik memuncak ketika rombongan Kerajaan Sunda yang dipimpin langsung oleh sang raja tiba di Lapangan Bubat. Gajah Mada menyatakan bahwa sang putri akan dipersembahkan sebagai tanda takluk, bukan sebagai permaisuri yang setara. Tentu saja, permintaan ini dianggap sebagai penghinaan besar bagi harga diri dan kedaulatan Kerajaan Sunda. Sang Raja Sunda dengan tegas menolak, dan perang pun tak terhindarkan.
Tragedi di Lapangan Bubat dan Dampaknya
Lapangan Bubat, yang dalam catatan arkeologis dan Prasasti Canggu dikenal sebagai salah satu pelabuhan sungai penting yang menghubungkan pedalaman dengan pesisir, menjadi saksi bisu pertumpahan darah yang mengerikan.
Penting untuk ditegaskan kembali, sumber-sumber yang dilampirkan tidak memuat narasi rinci mengenai pertempuran tragis yang terjadi di Lapangan Bubat. Informasi populer berikut ini berasal dari sumber luar seperti Kitab Pararaton dan Kidung Sunda, sehingga perlu diverifikasi secara independen.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang, seluruh rombongan Kerajaan Sunda, termasuk sang raja dan para punggawanya, gugur demi mempertahankan kehormatan. Melihat ayah dan para ksatrianya tewas, Putri Dyah Pitaloka memilih jalan bela pati atau bunuh diri untuk menjaga harga dirinya. Tindakan ini diikuti oleh para perempuan Sunda lainnya yang tersisa.
Kisah ini berakhir tragis tidak hanya bagi Sunda, tetapi juga bagi Hayam Wuruk yang disebut sangat berduka atas kematian calon permaisurinya. Hubungan antara kedua kerajaan pun retak selamanya, menjadi luka sejarah yang mendalam. Tragedi ini menjadi salah satu "pahit"-nya buah maja, sebuah ironi dari nama besar Majapahit yang diwarnai oleh duka dan pertumpahan darah. Peristiwa Bubat menjadi pengingat abadi bahwa ambisi politik yang membabi buta dapat menghancurkan ikatan yang paling mulia sekalipun.
Daftar Pustaka
Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Penerbit Kepel Press.
Prawirayuda, R. P. (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. (Sastradiwirya, Trans.). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Brandes, J. L. A. (1920). Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapël en van Majapahit (2nd ed., N. J. Krom, Ed.). Martinus Nijhoff; Albrecht & Co.
Kern, H. (1919). Het Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 A.D.). (N. J. Krom, Ed.). Martinus Nijhoff.
Posting Komentar