5 Bentuk Pokok Arsitektur Rumah Jawa: Memahami Filosofi di Balik Setiap Atap
Menyelami lima bentuk dasar arsitektur rumah Jawa Tengah: Panggang pe, Kampung, Tajug, Limasan, dan Joglo. Pelajari hierarki sosial dan filosofi yang terkandung di baliknya.
![]() |
Ilustrasi rumah Panggang Pe, salah satu arsitektur Jawa klasik. (dok Museum Ranggawarsita) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Bagi masyarakat Jawa, rumah bukan sekadar struktur fisik penahan panas dan hujan, melainkan manifestasi nyata dari ide vital, ujud sosial, watak, dan pandangan hidup pendukung kebudayaan tersebut. Arsitektur tradisional merupakan salah satu unsur kebudayaan yang terus hidup dan berkembang seiring pertumbuhan suku bangsa pendukungnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (IDKD) Jawa Tengah pada tahun 1981/1982 mencatat bahwa arsitektur tradisional di wilayah ini, yang kaya akan warisan budaya sejak abad ke-VII Masehi, dikelompokkan menjadi lima bentuk pokok. Pemahaman atas kelima bentuk ini—Panggang pe, Kampung, Tajug, Limasan, dan Joglo—adalah kunci untuk mengungkap hierarki sosial dan spiritual dalam masyarakat Jawa.
Kelima bentuk dasar ini mencerminkan bagaimana masyarakat Jawa mendefinisikan ruang hidup mereka, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling sempurna dan sakral, yang mana masing-masing terkait erat dengan teknik pembuatan, fungsi, dan filosofi yang mendalam.
Panggang Pe: Bentuk Paling Sederhana dan Fungsional
Panggang pe menempati urutan pertama sebagai bentuk rumah tradisional Jawa yang paling sederhana dalam segala aspek. Bangunan ini biasanya memiliki denah persegi panjang dan disangga oleh empat hingga delapan tiang. Makna leksikal dari panggang pe sendiri adalah "dijemur" atau "dipanasi dengan sinar matahari," menyiratkan fungsi yang sangat terbuka dan dasar.
Bentuk atapnya yang hanya satu bidang memungkinkan variasi perkembangan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih kompleks. Misalnya, bentuk Panggang pe pokok dapat berkembang menjadi Gedang Selirang (satu atau tiga ruang) atau Cere Gancet (dua Gedang Selirang yang empernya bertemu, diibaratkan seperti serangga yang sedang kawin). Variasi lain seperti Kodokan atau Jengki ditandai dengan penambahan emper pada sisi yang tinggi. Dalam konteks industri atau penyimpanan massal, Panggang pe bahkan dapat disusun berderet yang disebut Barengan, yang sering digunakan sebagai gudang atau pabrik.
Kampung: Bentuk Tua, Umum, dan Fleksibel
Bentuk rumah Kampung adalah yang paling umum dan mudah dijumpai dalam masyarakat Jawa, terutama di kalangan orang desa atau masyarakat kebanyakan yang tidak tergolong ningrat. Bentuk ini dianggap irit (hemat bahan) dan luwes (fleksibel) dalam pengembangan dan penggunaannya bagi keluarga.
Rumah Kampung memiliki denah persegi panjang dengan ciri khas atapnya yang di sisi samping atas ditutup dengan penutup yang disebut tutup keyong (siput air). Konstruksinya mencakup elemen-elemen penting seperti tiang, blandar (kayu panjang yang didukung tiang), pengeret (penghubung blandar), ander (penopang molo), dan molo (balok paling atas). Salah satu variasi populernya adalah Kampung Pacul Gowang, yang memiliki atap emper hanya pada salah satu sisi panjangnya. Fleksibilitas ini membuat Kampung menjadi pilihan utama bagi mereka yang mementingkan aspek praktis dan ekonomis dibandingkan kemegahan, sebuah pergeseran yang kini makin populer di tengah modernisasi, bahkan diadopsi dalam program perumahan umum (Perumnas).
Tajug: Melampaui Fungsi Hunian Menuju Kesakralan
Berbeda dengan Panggang pe dan Kampung yang berfokus pada fungsi hunian sehari-hari, Tajug merujuk pada bentuk atap yang umumnya diperuntukkan bagi bangunan suci atau sakral. Bangunan dengan atap Tajug yang khas berbentuk runcing sering kali merupakan masjid, langgar, atau cungkup makam.
Atap Tajug pokok memiliki denah bujur sangkar dengan empat tiang utama, dan lantainya selalu datar. Bentuknya yang tumpang (bersusun) merupakan dugaan akulturasi atau pengaruh dari bentuk Meru, bangunan suci agama Hindu. Tajug Lawakan adalah variasi yang menambahkan emper di sekeliling bangunan. Penggunaan Tajug yang menonjolkan ketinggian menyiratkan dimensi transendental, yang selalu dihubungkan dengan tempat yang tinggi dan unsur keilahian.
Limasan: Keseimbangan Atap Empat Sisi
Seperti namanya, Limasan (berasal dari kata Limas atau piramida) adalah bentuk bangunan yang memiliki atap dengan empat sisi. Bentuk ini lebih kompleks dari Kampung, namun masih di bawah Joglo dalam hierarki kemegahan. Limasan Pokok (atau Limasan wantah) adalah bentuk dasar tanpa variasi.
Limasan memiliki peran penting dalam arsitektur Keraton. Misalnya, Bangsal Sri Manganti di Keraton Surakarta berbentuk Limasan Semar Tinandu. Nama Sri Manganti (Sri berarti Raja, Manganti berarti menanti) ini merujuk pada tempat menanti sebelum menghadap Sri Susuhunan, melambangkan kemakmuran, ditandai dengan lukisan kapas-padi (Sri Makutaraja) di atas pintunya. Konstruksinya juga melibatkan bata sebagai fondasi dan tiang pemikul, dengan atap penutup dari sirap kayu.
Joglo: Mahakarya Paling Sempurna untuk Kaum Bangsawan
Joglo adalah puncak dari arsitektur tradisional Jawa. Disebut sebagai bentuk rumah yang paling sempurna dan berteknik pembuatan tertinggi, Joglo umumnya dimiliki oleh kaum bangsawan (ningrat), elite birokrasi, atau mereka yang sangat mampu secara ekonomi, menjadikannya simbol status sosial yang tinggi.
Kemegahan Joglo terlihat dari biaya pembuatannya yang besar, yang di daerah Banyumas disebut Tikelan (lipat ganda). Keistimewaan utama Joglo terletak pada konstruksi atap utamanya, Brunjung, yang disangga oleh empat tiang utama yang disebut saka guru. Keempat saka guru ini menopang susunan balok bersusun ganjil yang disebut tumpangsari.
Joglo tidak hanya sekadar mahal, tetapi juga diikat oleh kepercayaan. Masyarakat Jawa kuno menganggap bahwa Joglo tidak boleh dimiliki oleh sembarang orang. Bahkan, mengubah bentuk Joglo menjadi bentuk lain merupakan pantangan yang dipercaya dapat mendatangkan musibah atau kemelaratan bagi pemiliknya.
Perspektif Kaya Literasi dan Kekuatan Tradisi
Studi arsitektur tradisional Jawa Tengah menunjukkan bahwa setiap bentuk, mulai dari Panggang pe hingga Joglo, memiliki fungsi sosial, filosofis, dan hierarki yang jelas. Kehidupan kolektif masyarakat tradisional senantiasa memandang rumah, tanah, dan penghuninya sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, menekankan keselamatan dan kesejahteraan, yang diwujudkan melalui ritual dan tatacara yang rumit saat pendiriannya.
Meskipun modernisasi dan tuntutan ekonomi telah mendorong pergeseran, di mana Joglo kini kurang populer dan masyarakat beralih ke tipe Kampung yang lebih ekonomis dan praktis, unsur-unsur arsitektur tradisional ini terus dihidupkan. Beberapa kantor pemerintahan, losmen, dan villa modern justru kini menggalakkan kembali penggunaan tipe Joglo dan Limasan sebagai usaha pelestarian warisan budaya bangsa.
Kelima bentuk pokok arsitektur tradisional Jawa Tengah—Panggang pe, Kampung, Tajug, Limasan, dan Joglo—tetap menjadi modal tak ternilai bagi ketahanan budaya bangsa.
Daftar Pustaka
Ashadi. (2018). Kearifan lokal dalam arsitektur. Arsitektur UMJ Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985). Arsitektur tradisional daerah Jawa Tengah (Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah Tahun Anggaran 1981/1982, Cetak Ulang 1985-1986). Proyek IDKD Jawa Tengah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985b). Isi dan kelengkapan rumah tangga tradisional menurut tujuan, fungsi dan kegunaannya daerah Jawa Tengah (Hasil Penelitian Tahun 1982/1983). Proyek IDKD Jawa Tengah.
Ismunandar K., R. (1990). Joglo: Arsitektur rumah tradisional Jawa. Dahara Prize.
Posting Komentar