Kesimpulan: Jejak Nagarakrtagama dan Pararaton dalam Sejarah Raja Jawa
Menyimpulkan perjalanan panjang Kisah Para Raja Jawa, menyoroti peran dua kitab utama sebagai sumber sejarah.
![]() |
Ilustrasi Kitab Nagarakrtagama dan Pararaton. (Generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Dua kitab, dua dunia. Yang satu, sebuah pujasastra agung yang melukiskan kemegahan istana dengan bahasa puitis, menghindari darah dan konflik. Yang lain, sebuah kronik yang sarat dengan intrik berdarah, perebutan takhta, dan kutukan keris sakti. Keduanya, Nagarakrtagama dan Pararaton, berdiri sebagai dua pilar utama yang menopang pemahaman modern kita tentang epos besar para raja Jawa, dari Singasari hingga senja kala Majapahit. Membaca keduanya seperti melihat dua sisi dari koin yang sama: satu sisi menampilkan citra resmi kerajaan yang gemilang, sisi lainnya mengungkap drama manusiawi yang penuh gejolak di baliknya.
Sebagai sumber sejarah, keduanya tak ternilai, namun masing-masing menyajikan narasi dengan tujuan dan gaya yang sama sekali berbeda. Nagarakrtagama adalah potret kontemporer yang dilukis dengan kuas keemasan, sementara Pararaton adalah sketsa retrospektif yang digores dengan arang dendam dan ambisi. Artikel ini akan menelusuri jejak keduanya, membedah perbedaan dan persamaan, serta mengurai kontribusi tak ternilai mereka dalam merekonstruksi salah satu babak terpenting dalam sejarah Nusantara: kisah para raja Jawa.
Perbedaan dan Kesamaan Antara Kedua Kitab
Perbedaan paling mendasar antara Nagarakrtagama dan Pararaton terletak pada waktu penulisan, penulis, dan tujuannya. Nagarakrtagama, yang digubah pada tahun 1365 M, adalah sebuah karya kontemporer yang ditulis oleh seorang saksi mata zaman keemasan Majapahit. Penulisnya, yang menggunakan nama samaran Mpu Prapanca, adalah seorang pejabat tinggi keagamaan Buddha di keraton bernama dharmmadhyaksa kasogatan. Karyanya, yang sejatinya ia sebut Desawarnana atau "Uraian Desa-Desa", adalah sebuah pujasastra—sastra pujian—yang ditujukan untuk mengagungkan Prabu Hayam Wuruk dan kemegahan kerajaannya. Karena sifatnya sebagai pujian, Prapanca dengan sengaja menghindari narasi konflik yang dapat mencoreng citra raja, seperti Perang Bubat yang tak disebut sama sekali.
Sebaliknya, Pararaton adalah sebuah "Kitab Raja-Raja" yang disusun jauh setelah peristiwa berlangsung, dengan naskah tertua berasal dari sekitar tahun 1600 M. Penulisnya anonim, dan gayanya lebih mirip kronik prosa yang fokus pada drama suksesi, intrik, dan pertumpahan darah. Pararaton memulai kisahnya secara dramatis dengan kebangkitan Ken Arok, seorang anak desa yang dengan siasat dan kekerasan mendirikan dinasti Singasari. Jika Nagarakrtagama adalah citra ideal sebuah negara, Pararaton adalah kisah di balik layar yang penuh gejolak manusiawi.
Meskipun berbeda, kedua kitab ini memiliki kesamaan fundamental. Keduanya sama-sama mencampurkan fakta sejarah dengan unsur mitos dan legenda, sebuah ciri khas dari genre sastra sejarah Jawa. Pararaton mengisahkan Ken Arok sebagai putra Dewa Brahma, sementara Nagarakrtagama menyebut pendiri dinasti, Sri Ranggah Rajasa, sebagai putra Batara Girinata (Siwa). Keduanya juga berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan: Nagarakrtagama melegitimasi Hayam Wuruk dengan memuji pemerintahannya yang adil dan makmur, sedangkan Pararaton membangun legitimasi melalui garis silsilah yang ditarik dari seorang pendiri mitis yang sakti.
Kontribusi Nagarakrtagama dan Pararaton pada Pemahaman Sejarah
Bagi sejarawan dan arkeolog modern, kedua naskah ini saling melengkapi, menawarkan perspektif ganda yang tak ternilai. Para sarjana seperti H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud secara kritis membandingkan kedua teks ini dengan sumber-sumber lain seperti babad dan catatan Eropa untuk merekonstruksi sejarah yang lebih utuh.
Kontribusi utama Nagarakrtagama terletak pada detail deskriptifnya mengenai Majapahit di puncak kejayaannya. Kitab ini menjadi sumber primer untuk:
• Tata Kota dan Arsitektur: Deskripsi Prapanca tentang ibu kota Majapahit di Trowulan, lengkap dengan tata letak keraton, tembok keliling, dan bangunan-bangunan lainnya, menjadi panduan utama bagi para arkeolog dalam memetakan situs Trowulan.
• Wilayah Kekuasaan: Paparan tentang daerah-daerah "bawahan" Majapahit dalam Nagarakrtagama menjadi dasar bagi konsep "Nusantara" era Gadjah Mada, memberikan gambaran luasnya pengaruh politik dan perdagangan kerajaan ini.
• Kehidupan Istana dan Keagamaan: Kitab ini menguraikan secara rinci perjalanan keliling raja (royal progress), upacara-upacara besar seperti upacara sraddha untuk Rajapatni, serta struktur administrasi dan kehidupan beragama yang toleran (tripaksa).
Di sisi lain, kontribusi Pararaton adalah memberikan kerangka naratif kronologis, terutama untuk periode yang tidak dicakup atau sengaja dihindari oleh Nagarakrtagama.
• Pendirian Singasari: Pararaton adalah sumber utama yang mengisahkan asal-usul Ken Arok dan pendirian dinasti Rajasa yang menjadi cikal bakal raja-raja Majapahit.
• Konflik Suksesi: Kitab ini mengisi kekosongan informasi tentang konflik berdarah pasca-Ken Arok, seperti perebutan takhta antara Anusapati dan Tohjaya, yang tidak disinggung dalam Nagarakrtagama.
• Kerangka Waktu: Meskipun beberapa penanggalannya diperdebatkan, Pararaton menyediakan urutan pemerintahan raja-raja dari Ken Arok (awal abad ke-13) hingga akhir Majapahit (akhir abad ke-15), yang menjadi acuan dasar bagi para sejarawan.
Garis Keturunan Ken Arok hingga Mataram
Jejak kedua kitab ini, diperkuat oleh naskah-naskah babad seperti Babad Tanah Djawi, Babad Demak, dan Babad Jaka Tingkir, memungkinkan kita untuk menarik garis keturunan (genealogi) kekuasaan yang, meskipun diselingi mitos, menunjukkan kesinambungan legitimasi dari era Hindu-Buddha hingga era Islam di Jawa.
1. Dari Singasari ke Majapahit: Pararaton mengisahkan bagaimana Ken Arok mendirikan Dinasti Rajasa di Singasari. Keturunannya, melalui perkawinan antara Raden Wijaya (cicit Ken Arok dari garis Mahisa Campaka) dan empat putri raja Singasari terakhir, Kertanagara, kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit.
2. Dari Majapahit ke Demak: Sastra babad mengisahkan raja Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya V, memiliki putra bernama Raden Patah dari seorang putri Campa (atau Cina) yang beragama Islam. Raden Patah inilah yang kemudian, dengan dukungan para Wali, mendirikan Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, menandai transisi kekuasaan.
3. Dari Demak ke Pajang: Garis keturunan Demak berlanjut hingga Sultan Trenggono. Putrinya dinikahkan dengan Jaka Tingkir (Mas Karebet). Menariknya, Jaka Tingkir sendiri adalah keturunan dari Andayaningrat, penguasa Pengging yang merupakan menantu Brawijaya V. Dengan demikian, darah Majapahit kembali mengalir ke tampuk kekuasaan saat Jaka Tingkir mendirikan Kesultanan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
4. Dari Pajang ke Mataram: Babak terakhir dalam silsilah ini adalah munculnya Mataram. Ki Ageng Pamanahan, seorang tokoh dari garis keturunan Sela, membantu Jaka Tingkir mengalahkan musuhnya, Aria Panangsang. Sebagai imbalan, ia diberi tanah perdikan di hutan Mentaok (Mataram). Putranya, Danang Sutawijaya, yang kemudian bergelar Panembahan Senapati, inilah yang mendirikan Kerajaan Mataram Islam sebagai kekuatan dominan baru di Jawa, menggantikan Pajang. Sastra tradisional bahkan berupaya menyambungkan silsilah Ki Ageng Sela ke Brawijaya V melalui putranya yang lain, Bondan Kejawan, untuk memperkuat legitimasi tak terputus dari Majapahit hingga Mataram.
Epilog
Pada akhirnya, Nagarakrtagama dan Pararaton bukan sekadar catatan masa lalu. Keduanya adalah monumen sastra yang membentuk cara pandang bangsa Indonesia terhadap salah satu era paling gemilangnya. Yang satu adalah cermin idealisme dan tatanan kosmis sebuah imperium; yang lain adalah rekaman brutal dari ambisi dan kerapuhan manusia yang membangunnya. Dalam pertentangan dan keselarasan keduanya, terungkaplah sebuah narasi besar tentang peradaban Jawa—sebuah kisah tentang bagaimana kekuasaan dibangun, dipertahankan, dan diwariskan melalui jalinan darah, takdir, dan legenda.
Daftar Pustaka
Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas kota dan jejak kejayaan di luar kota. Kepel Press.
Arimurti, K., Amanah, S., & Sadewa, T. C. (2023). Alih aksara serat Babad Demak. Perpusnas Press.
Brandes, J. L. A. (1920). Pararaton (Ken Arok) of het boek der koningen van Tumapel en van Majapahit (2nd ed., N. J. Krom, Ed.). Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
de Graaf, H. J. (1987). Awal kebangkitan Mataram: Masa pemerintahan Senapati (Seri terjemahan Javanologi, no. 3). Grafiti Pers.
de Graaf, H. J. (1990). Puncak kekuasaan Mataram: Politik ekspansi Sultan Agung (Cet. 2). Pustaka Utama Grafiti.
de Graaf, H. J., & Pigeaud, T. G. T. (1985). Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.
Kasri, M. K., & Semedi, P. (2008). Sejarah Demak: Matahari terbit di Glagahwangi. Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak.
Muljana, S. (2005). Menuju puncak kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. LKiS.
Pigeaud, T. G. T. (1960). Java in the 14th century: A study in cultural history - The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D. (Vol. I). Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
Pigeaud, T. G. T. (1960). Java in the 14th century: A study in cultural history - The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D. (Vol. III). Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
Pigeaud, T. G. T. (1962). Java in the 14th century: A study in cultural history - The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D. (Vol. IV). Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
Pigeaud, T. G. T. (1963). Java in the 14th century: A study in cultural history - The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D. (Vol. V). Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
Sastradiwirya. (1988). Babad Majapahit dan para wali 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Sastronaryatmo, M. (2011). Babad Jaka Tingkir (Babad Pajang). Perpustakaan Nasional, Balai Pustaka.
Posting Komentar