Rumah Kampung: Arsitektur Tradisional Rakyat Kebanyakan

Daftar Isi

Rumah bentuk Kampung adalah tipe rumah tradisional Jawa yang paling umum digunakan oleh rakyat biasa karena hemat bahan dan fleksibel. Pahami bentuk pokoknya (4 tiang, 2 sisi atap) dan variasi pentingnya seperti Srotongan dan Klabang Nyander.

BABAD.ID | Stori Loka Jawa -  Dalam hierarki arsitektur tradisional Jawa Tengah, bentuk rumah Kampung menempati posisi sebagai tipe yang paling sederhana dan paling umum (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 39). Kata "Kampung" dalam bahasa Jawa disamakan dengan kata "desa" (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 39).

Berbeda dengan rumah Joglo yang secara tradisional hanya dimiliki oleh kaum bangsawan (ningrat) atau kaum elite birokrasi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 61), rumah bentuk Kampung paling banyak dijumpai dan sangat umum dipakai oleh orang desa atau orang kebanyakan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 39). Alasan penggunaannya yang luas adalah karena bahan yang dibutuhkan relatif "irit" (hemat) dan bentuknya "luwes" (fleksibel) dalam perkembangannya maupun penggunaan bagi suatu keluarga (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 39).

Asal Usul dan Bentuk Pokok

Bentuk Kampung termasuk bentuk rumah tua sesudah bentuk Panggangpe (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 40). Kehadiran rumah bentuk Kampung sudah dapat diperkirakan lebih tua daripada bentuk Limasan dan Joglo karena banyak tergambar di relief-relief Candi-Candi, seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan, serta Candi-Candi di Jawa Timur (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 40).

Rumah bentuk Kampung pada dasarnya mempunyai denah empat persegi panjang (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 40).

Bentuk Kampung yang paling sederhana (bentuk pokok) ditandai dengan ciri-ciri berikut (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 40):

1. Tiang: Memiliki empat tiang.

2. Atap: Memiliki dua buah atap yang masing-masing berbentuk empat persegi panjang.

Ragam Variasi Bentuk Kampung

Dalam perkembangannya, bangunan bentuk Kampung dapat divariasikan dengan penambahan emper (serambi) atau dengan penambahan ruang, menghasilkan beberapa bentuk khusus:

1. Kampung Jompongan: Merupakan bangunan berbentuk Kampung yang memiliki denah bujur sangkar (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 41). Panjang blandar (balok memanjang) sama dengan panjang pengeret (balok melintang), dan hanya memiliki satu ruang dengan 4 tiang (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 41).

2. Kampung Trajumas: Adalah bentuk Kampung yang memiliki enam buah tiang, sehingga terdiri atas dua ruangan dan tiga pengeret (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 42).

3. Kampung Srotongan: Ini adalah bentuk Kampung panjang yang memiliki lebih dari empat buah pengeret (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 43). Bentuk Srotongan secara spesifik adalah bentuk Kampung yang ditambah dua emper pada kedua sisi panjangnya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 43).

4. Kampung Gajah Ngombe: Berarti Gajah yang sedang minum. Rumah Kampung ini memakai sebuah atap emper pada salah satu sisi samping (sisi pendek) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 44).

5. Kampung Pacul Gowang: Rumah Kampung yang mempunyai atap emper pada salah satu sisi panjangnya, sedangkan sisi yang lain tanpa atap emper (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 45-46).

6. Kampung Klabang Nyander: Rumah Kampung yang mempunyai tiang lebih dari delapan buah atau mempunyai pengeret lebih dari empat buah (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 45).

7. Kampung Semar Pinondong: Ditandai dengan tiang-tiang yang berjajar di tengah menurut panjangnya rumah (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 46). Atap ditopang oleh balok yang dipasang horizontal pada tiang tersebut, dan untuk menjaga keseimbangan, balok mendatar ini diberi penyiku sebagai tangan-tangan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 46).

8. Kampung Lambang Teplok Semar Tinandu (Jompongan Semar Tinandu): Pada bentuk ini, penghubung atap brunjung (atap utama) dan atap penanggap masih merupakan satu tiang (Saka Bentung) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 47). Istilah Semar Tinandu (Semar diusung) merujuk pada tiang penyangga di atas yang bertumpu pada balok blandar yang ditopang oleh tiang-tiang di pinggir, yang berarti tiang-tiang tadi tidak langsung mencapai pondasi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 47). Jenis ini biasa digunakan untuk tobong genteng atau kapur (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 47).

Ragam bentuk Kampung ini menunjukkan kemampuan masyarakat tradisional untuk memenuhi kebutuhan ruang hidup mereka dengan memanfaatkan material secara efisien, serta memungkinkan adanya penyesuaian fungsional sesuai kebutuhan keluarga atau kegiatan komunal, seperti pada Rumah Pasamuan di Adiraja yang bangunan induknya berbentuk Joglo Tikelan tetapi disambung dengan rumah berbentuk Srotong (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, p. 111).

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985). Arsitektur tradisional daerah Jawa Tengah (Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah Tahun Anggaran 1981/1982, Cetak Ulang 1985-1986). Proyek IDKD Jawa Tengah.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.