Stratifikasi Sosial Jawa: Ningrat, Priyayi, dan Penentu Status dalam Arsitektur
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Dalam struktur feodal Jawa, status sosial (bukan kekayaan) menentukan strata seseorang, dari ningrat hingga rakyat biasa. Gelar seperti Raden dan Ngabehi menunjukkan kedudukan yang berhak atas arsitektur Joglo yang megah.
Puncak Hierarki: Raja, Bangsawan, dan Elite Birokrasi
Masyarakat Jawa secara historis telah mengenal struktur masyarakat feodal. Di dalam struktur feodal tersebut, Raja menempati posisi tertinggi atau merupakan puncak dari seluruh lapisan masyarakat. Di bawah Raja, terdapat lapisan kaum bangsawan (keluarga-keluarga Raja). Kaum bangsawan ini terbagi dua kategori: mereka yang merupakan turunan atau keluarga Raja yang sedang memerintah, dan bangsawan yang menurut kelahirannya memiliki hubungan darah yang dekat dengan Raja yang sedang memerintah.
Menyusul setelah kelompok bangsawan adalah kelas pejabat. Kelompok ini mencakup pejabat sipil, militer, agama, dan kehakiman, baik di tingkat keraton maupun di tingkat daerah. Di luar golongan tersebut adalah golongan rakyat biasa, yang sebagian besar hidup di desa-desa yang bersifat agraris.
Membedakan Priyayi dan Ningrat
Secara sosial, masyarakat di desa seringkali terbagi atas golongan "priyayi" dan golongan "non priyayi". Perbedaan kedua golongan besar ini biasanya terletak pada kedudukan dalam masyarakat, bukan terletak pada kekayaan harta.
• Priyayi: Seseorang atau suatu keluarga dianggap golongan "priyayi" apabila di dalam dirinya tercermin sikap tingkah laku, pola pikiran, dan kedudukan yang "tinggi" di mata masyarakat. Konsep "tinggi" ini relatif, dan seseorang yang miskin dapat dianggap "priyayi" karena ia memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan kebanyakan orang; sebaliknya, orang kaya belum tentu dianggap "priyayi".
• Ningrat: Pada zaman dahulu, tingkat dan kadar "priyayi" ditandai dengan tingkat keningratan. "Ningrat" diartikan sebagai kadar keturunan yang dimiliki seseorang.
Di daerah kerajaan seperti Surakarta (yang pernah menjadi pusat pemerintahan dan pusat budaya Jawa), seseorang disebut "priyayi" bila di depan namanya terdapat sebutan "Raden", "Raden Mas", atau "Mas". Apabila ia adalah keturunan Raja (baik langsung atau tidak), ada tambahan sebutan "Pangeran".
Selain itu, terdapat gelar yang menandakan hubungan sosial atau kemasyarakatan yang memiliki kelebihan tertentu, seperti gelar "Ngabehi", yang artinya seseorang tersebut memiliki kecakapan tingkat tertentu dan dianggap lebih dari orang lain. Contohnya adalah Raden Ngabehi Josodipuro dan Raden Ngabehi Ronggowarsito.
Status Sosial Tercermin dalam Rumah
Sebuah rumah bagi orang Jawa dapat secara jelas memperlihatkan status sosial dari penghuninya.
1. Raja: Rumah tempat tinggal Raja dan keluarganya disebut Keraton. Ukuran dan kemewahan perhiasannya sudah pasti berbeda dengan rumah rakyat jelata.
2. Bangsawan dan Elite Birokrasi: Rumah tempat tinggal kaum bangsawan dan elite birokrasi juga berbeda dalam ukuran dan kemewahan. Rumah berbentuk Joglo, yang dianggap sebagai bentuk arsitektur yang paling sempurna, megah, dan berteknik pembuatan paling tinggi, secara tradisional hanya dimiliki oleh kaum bangsawan (ningrat) atau kaum elite birokrasi.
3. Rakyat Biasa: Rumah berbentuk Kampung (tipe paling sederhana) dan Limasan (untuk keluarga yang lebih kaya) merupakan tipe yang umum dipakai oleh orang desa atau orang kebanyakan.
Keterkaitan erat antara status sosial dan bentuk arsitektur ini menunjukkan bahwa dalam pandangan hidup orang Jawa, memiliki tempat tinggal (wisma) adalah sesuatu yang sangat penting dan pokok, dan menjadi lambang kebanggaan atau kehormatan bagi keluarga Jawa, di samping keris (curiga), isteri (wanita), kuda (turangga), dan burung (kukila).
Daftar Pustaka
Ashadi. (2018). Kearifan lokal dalam arsitektur. Arsitektur UMJ Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985). Arsitektur tradisional daerah Jawa Tengah (Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah Tahun Anggaran 1981/1982, Cetak Ulang 1985-1986). Proyek IDKD Jawa Tengah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985b). Isi dan kelengkapan rumah tangga tradisional menurut tujuan, fungsi dan kegunaannya daerah Jawa Tengah (Hasil Penelitian Tahun 1982/1983). Proyek IDKD Jawa Tengah.
Ismunandar K., R. (1990). Joglo: Arsitektur rumah tradisional Jawa. Dahara Prize. (Dikutip dalam Ashadi dan/atau sumber IDKD lainnya).