Warisan Spiritual: Transformasi Budaya dan Agama dari Majapahit ke Demak
Analisis tentang bagaimana tradisi dan nilai-nilai Majapahit bertransformasi dan diwariskan ke dalam budaya Kesultanan Demak.
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Runtuhnya Majapahit bukanlah sebuah jurang pemisah peradaban, melainkan sebuah jembatan yang dilalui dengan hati-hati. Alih-alih menghapus jejak kebesaran Hindu-Buddha, Kesultanan Demak yang bangkit di pesisir utara justru menyerap, mengolah, dan memberinya nafas baru. Sejarah transisi ini bukanlah kisah tentang penghancuran, melainkan sebuah drama akulturasi budaya yang canggih, di mana peradaban Jawa Majapahit tidak lenyap, melainkan bertransformasi dan diislamkan. Para wali, sebagai arsitek utama perubahan ini, memahami betul bahwa untuk menanamkan nilai baru, mereka harus merangkul akar tradisi yang telah lama menghunjam di tanah Jawa.
Akulturasi Hindu-Buddha dengan Nilai-nilai Islam
Peralihan dari Majapahit ke Demak bukanlah proses yang berlangsung mendadak. Jauh sebelum keruntuhan ibu kota Majapahit—yang oleh sejarawan modern diperkirakan terjadi sekitar tahun 1527 M—Islam telah hadir dan berkembang. Bahkan, di jantung kota Majapahit sendiri, telah ditemukan komunitas Muslim yang dibuktikan dengan adanya kompleks makam Troloyo yang nisan-nisannya berangka tahun dari abad ke-14 hingga ke-16 Masehi.
Faktor utama yang memungkinkan terjadinya transisi budaya Jawa yang mulus adalah sikap toleran dari penguasa Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya. Menurut sumber-sumber babad, Brawijaya tidak melarang rakyatnya untuk memeluk agama Islam. Ia bahkan merestui pendirian pusat-pusat keislaman, seperti saat memberikan wilayah Ngampeldenta kepada Sunan Ampel. Sikap terbuka ini menjadi lahan subur bagi para Wali Sanga untuk menaburkan benih-benih ajaran Islam tanpa menimbulkan gejolak frontal.
Para wali menyadari bahwa masyarakat Jawa telah memiliki fondasi spiritual yang kuat, salah satunya adalah tradisi sinkretisme yang telah lama memadukan ajaran Siwa dan Buddha. Dengan pemahaman ini, mereka tidak memaksakan ajaran Islam dalam bentuknya yang murni dari Arab, melainkan membungkusnya dalam wadah budaya lokal. Legenda-legenda mengenai para wali yang menyebarkan Islam adalah bukti keyakinan masyarakat Jawa bahwa peradaban Islam-Jawa merupakan kelanjutan dan pembaruan dari peradaban Hindu-Jawa kuno.
Peran Seni dan Arsitektur dalam Proses Transisi (Masjid Demak)
Simbol paling monumental dari akulturasi ini adalah Masjid Agung Demak. Pembangunannya yang dipimpin langsung oleh para wali bukan sekadar mendirikan rumah ibadah, melainkan sebuah manifestasi fisik dari peralihan peradaban. Arsitektur masjid ini sendiri adalah cerminan dari perpaduan dua dunia. Atapnya yang berbentuk tumpang tiga, misalnya, adalah gaya arsitektur yang berakar kuat pada bangunan suci pra-Islam di Jawa.
Kisah paling legendaris adalah pembuatan salah satu tiang utama (saka guru) oleh Sunan Kalijaga. Ketika wali lain membawa tiang utuh dari kayu jati raksasa, Sunan Kalijaga justru mengumpulkan serpihan-serpihan kayu sisa (tatal) dan menyatukannya menjadi sebuah tiang yang kokoh, yang kemudian dikenal sebagai Saka Tatal. Cerita ini melambangkan kearifan lokal dan kekuatan spiritual yang mampu mengubah hal-hal yang dianggap sepele menjadi sesuatu yang fundamental.
Yang lebih tegas menunjukkan proses transformasi ini adalah pemindahan elemen-elemen penting dari keraton Majapahit. Menurut Serat Babad Demak, bangunan pajeksan (balai peradilan) dari Majapahit diboyong seluruhnya untuk dijadikan surambi (beranda) Masjid Agung Demak. Ini adalah sebuah pesan simbolis yang kuat: pilar hukum dan kekuasaan duniawi Majapahit kini menjadi pelataran bagi pusat kekuasaan religius Demak. Warisan Majapahit tidak dihancurkan, melainkan ditempatkan dalam konteks baru yang islami.
Pewarisan Gelar dan Sistem Pemerintahan dari Majapahit
Transformasi tidak hanya terjadi pada ranah spiritual dan seni, tetapi juga dalam struktur politik dan pemerintahan. Demak tidak memposisikan diri sebagai entitas yang sama sekali baru, melainkan sebagai penerus sah dari trah penguasa Jawa.
Gelar yang digunakan oleh penguasa Demak pada awalnya adalah Adipati, sebuah gelar yang lazim digunakan oleh para penguasa daerah di bawah kekuasaan Majapahit. Ini menunjukkan bahwa pada fase awal, Demak masih menempatkan dirinya dalam kerangka politik yang sudah ada. Gelar lain seperti Patih, Tumenggung, dan Senapati adalah warisan langsung dari sistem birokrasi Majapahit. Bahkan gelar Sultan Demak, Senapati Jimbun, merupakan gabungan dari gelar militer Majapahit (Senapati) dengan nama yang bernuansa baru.
Sistem peradilan pun menunjukkan kontinuitas. Jabatan dharmadhyaksa atau hakim agung keagamaan pada masa Majapahit berevolusi menjadi jabatan jeksa di era Islam. Ini menunjukkan adanya pewarisan lembaga, meskipun fungsinya disesuaikan dengan nilai-nilai baru. Pada akhirnya, dengan mengadopsi gelar, jabatan, dan struktur pemerintahan, Demak secara cerdas melegitimasi kekuasaannya, bukan sebagai penakluk yang asing, tetapi sebagai pewaris yang melanjutkan dan memperbarui tradisi kekuasaan di tanah Jawa. Peralihan dari Majapahit ke Demak adalah sebuah cermin kearifan budaya, di mana masa lalu tidak dimusnahkan, tetapi dijadikan fondasi untuk membangun masa depan.
Daftar Pustaka
Arimurti, K., Amanah, S., & Sadewa, T. C. (2023). Alih Aksara Serat Babad Demak. Perpusnas PRESS.
De Graaf, H. J., & Pigeaud, T. G. T. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.
Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Kepel Press.
Sastradiwirya. (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sastronaryatmo, M. (2011). Babad Jaka Tingkir (Babad Pajang). Perpustakaan Nasional, Balai Pustaka.
Posting Komentar