BABAD.ID - Budaya Jawa memiliki kekayaan akan nilai-nilai pengetahuan (Kawruh). Pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan alam dan lingkungan sekitarnya merupakan pengetahuan yang muncul sebagai tanggapan terhadap aktivitas dan berbagai gejala alam yang pernah dialami sebagai pengalaman dalam hidup.
Ada banyak mitos-mitos yang berkembang dan menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat jawa. Mitologi pada masyarakat Jawa, pada zaman dahulu mempunyai fungsi sakral sebagai salah satu pengendalian moral, jaminan atas keberlangsungan ritual, mengatur perilaku serta pikiran dalam menanggapi dan memahami alam semesta.
Masyarakat jawa percaya, jika tindak tanduk manusia juga akan berpengaruh dengan keselamatan manusia itu sendiri. Sehingga, menjaga sikap dengan tidak merusak alam menjadi sesuatu hal yang penting. Pemikiran orang Jawa memiliki dasar pada sikap tradisi ang berbaur dengan rasa, pikiran sehingga masyarakat jawa cenderung lebih bijaksana.
Aturan Waktu
Herususantoto dalam Prana Mangsa Dilihat dari Tinjauan Sains menulis faham filsafat Jawa asli merupakan pemikiran orang Jawa yang bersifat kosmis mistis kemudian dikenal dengan pemikiran kosmis-biologis, artinya orang Jawa dalam menjelaskan peredaran alam ini diperuntukan pada pandangan bahwa manusia adalah sesutau hal yang nyata karena pengaruh kekuatan di luar dirinya (dewa-dewa dan alam semesta).
Baca Juga: Mengenal Pawukon, Horoskop Tradisional dan Dimensi Etnoastronomi Jawa
Untuk menjaga hubungan baik antara manusia dengan alam juga para dewa, dalam budaya jawa, ada yang dinamakan Pawukon, yang di dalamnya terdapat pranata mangsa. Secara harfiah pranata mangsa berasal dari kata pranata yang berarti aturan dan mangsa yang berarti waktu.
Dalam hal ini, waktu merupakan maksud dari musim atau periodisasi iklim di bumi yang disebabkan karena perubahan garis edar matahari. Pranata mangsa merupakan pengetahuan sains kultural yang menerangkan tentang hubungan manusia dengan lingkungannya untuk saling serta menghormati bumi.
Sedangkan menurut Fidiyani & Kamal (2012) pranata mangsa merupakan kearifan lokal masyarakat Jawa dalam membaca tanda-tanda alam untuk menentukan musim yang akan dijadikan patokan dalam bidang pertanian dan perikanan.
Pranata mangsa pada masyarakat Jawa mengenal periodisasi waktu selama satu tahun yang dibagi menjadi 12 mangsa berdasarkan peredaran matahari. Pengetahuan ini penuh dengan kearifan dalam membaca tanda-tanda alam seperti letak matahari, arah angin, cuaca, perilaku hewan dan tumbuhan, yang menghubungkan antara masyarakat Jawa dengan lingkungannya.
Karakteristik Berbeda
Pranata mangsa dalam kehidupan masyrakat jawa memiliki berfungsi sebagai pedoman dalam kegiatan sehari-hari dan pedoman untuk menghindari perilaku buruk supaya hal-hal yang tidak diinginkan terjadi Pranata mangsa memberikan wawasan tentang perubahan dan pembagian musim setiap tahun.
Baca Juga: Ragam Nilai Dalam Ungkapan Bahasa Jawa Ditinjau dari Antropolinguistik
Dalam Pranata Mangsa, terdapat 12 mangsa, yang dimulai dari mangsa kasa (41 hari) sampai dengan masa kanem (43 hari). Ke-dua belas magsa tersebut adalah Mangsa Kasa, Mangsa Karo, Mangsa Katelu, Mangsa Kapat, Mangsa Kalima, Mangsa Kanem, Mangsa Kapitu, Mangsa Kawulo, Mangsa Kasanga, Mangsa Kasadasa, Mangsa Dast, serta Mangsa Sadha.
Kedua belas mangsa yang pada kalender pranata mangsa semuanya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik-karakterostik ini merupakan hasil dari pengamatan peristiwa yang terjadi berulang-ulang. Membaca tanda dari alam oleh masyarakat Jawa dikenal dengan ilmu titen. Ilmu titen ini didasari dari pengetahuan dan pengalaman.
Artikel Terkait
Menghalau Salah Kaprah Tapa atau Semedi dalam Kultur Jawa
The Doll 3 dan Gambaran Sosok Jahat yang Mendiami Boneka Modern, Jawa Juga Punya Versi Tradisonalnya
Cokro Manggilingan, Filosofi Jawa Untuk Memaknai Siklus Kehidupan
Mad Sinamadan: Konsep Karawitan Jawa di Hari Kelahiran Pancasila
Buat Jomblo yang Lagi Nyari Jodoh, Ini Tanda Wanita yang Baik Menurut Primbon Jawa
Mengingat Kembali Ornamen Arsitektur Jawa (Bagian 1)
Mengingat Kembali Ornament Arsitektur Tradisional Jawa (Bagian 2)