Praditya Wibisono, Project Multatuli
Saya menitipkan sepeda motor di depan masjid, lalu menggulung celana hingga di atas lutut, kemudian berjalan menghampiri Rokah, menerjang banjir rob yang sudah bercampur sampah dan berminyak yang seketika bikin kaki saya gatal-gatal. Sepanjang gang, tak ada siapa pun yang lewat.
“Banjir mas. Ya gini tiap hari di kampung ini,” sapa Rokah ketika saya sampai di teras rumahnya, Selasa, 21 Juni 2022.
Baca Juga: Mengungkap Misteri Kelahiran Rabu Legi Menurut Primbon Jawa
Belum sempat saya sampai di teras rumah Rokah, hujan tiba-tiba datang. Saya lalu masuk ke teras agak mepet ke depan pintu agar tak kehujanan.
“Air depan rumah saya ini palingan nanti sekitar jam sembilan malam udah mulai surut,” katanya.
Di Tambak Lorok, banjir rob sudah menjadi ‘menu’ sehari-hari, tetapi tak sampai masuk rumah. Hanya di jalan depan rumah saja. Rob memasuki kampung itu kadang dari pukul 10 pagi, kadang juga siang sekitar pukul dua hingga pukul sembilan malam, bahkan kadang air surut hingga pukul 11 malam.
“Kalau air naiknya misal pagi jam 10, surutnya juga jam 10 malam, kadang jam 11 malam,” kata Rokah.
Artikel Terkait
Kereta Api dan Jalur yang Diwaspadai
Melihat Kerukunan dalam Keberagaman di Desa Yosomulyo Banyuwangi
Kisah Penyandang Disabilitas Tuli Bangkit dan Berdaya Berbekal Keahlian
Pelari Triathlon The Rising Tide Tiba di Pelabuhan Tanjung Emas: Stamina Naik 110 Persen
Guru Besar Undip Tawarkan 4 Alternatif Tanggulangi Rob di Semarang