Oleh. Umi Amrina Rosyada
BABAD.ID - Grebeg Besar adalah kesenian tradisional yang berasal dari Jawa. Berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa yaitu 'grebeg' dan 'besar'. Kata grebeg yang menyerupai bunyi angin yang menderu diartikan sebagai pengiring atau perkumpulan.
Dan kata Besar penyebutan dari kata Bulan Dzulhijjah dalam Bahasa Jawa. Sehingga dari tersebut sehingga dapat diartikan sebagai perkumpulan besar pada bulan Dzulhijjah.
Tradisi Grebeg Besar merupakan upacara tradisional yang diyakini memiliki nilai ritual keagamaan bagi masyarakat kabupaten demak dalam rangka menyambut datangnya Hari besar yaitu hari raya Idul Adha atau biasa disebut hari Raya haji atau Hari Raya Qurban pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah.
Baca Juga: Komunikasi Lintas Generasi: MOBA, Antara Kebutuhan dan Gaya Hidup
Semula Grebeg pertama kali diadakan untuk memperingati hari jadi Mesjid Demak yang dibangun oleh Sunan Kalijaga bersama Sunan Bonang, Sunan Gunung Jawi dan Sunan Ampel dengan potongan-potongan kayu atau tata dalam tempo sehari.
Pada waktu itu Masjid Demak merupakan satu-satunya mesjid di Jawa Sebelum peringatan dimulai diupayakankan bagaimana caranya untuk memancing kedatangan masyarakat desa yang masih banyak menganut agama dibawah Islam.
Maka diadakan berbagai acara dan beberapa kegiatan diantaranya Grebek Demak. Kesenian tradisional yang disenangi masyarakat pada waktu itu sehingga membuat rakyat tertarik kepada agama yang menyelanggarakan kesenian tradisional tersebut.
Baca Juga: Fenomenologi Komunikasi Pernikahan Antarbudaya
Mengingat seringnya mendengar dan melihat kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang masuk Islam, sehingga membuat masyarakat yang belum tahu mengenai agama menjadi tertarik perhatiannya dan menimbulkan rasa ingin mengerti.
Konon, Grebeg telah ada sejak 1428 tahun saka, atau 1506 Masehi pada zaman Majapahit. Para Raja Jawa secara turun-temurun menyelengarakan upacara pengorbanan dengan menyembelih seekor kerbau jantan yang masih liar untuk disembahkan sebagai sesajian kepada dewa atau arwah para leluhur.
Upacara korban merupakan upacara kenegaraan yang disebut Rajaweda dengan menaruh harapan mendapatkan kemakmuran dan agar dijauhkan dari segala malapetaka.
Baca Juga: Mengenal Slametan, Cara Bersyukur dan Simbol Komunikasi Orang Jawa
Pada jaman Kesultanan Demak Bintoro, yang diperintah Raden Patah, kebiasaan Raja Jawa mengadakan upacara Rajaweda ini bertentangan dengan ajaran agama Islam. sehingga upacara tersebut dihilangkan.
Upaya mengambil kebijakan untuk melestarikan grebeg sebagai salah satu jalan untuk pendekatan dengan umat agama yang sebelumnya para wali mengubah corak dan tata acaranya dengan menurut ajaran islam.
Artikel Terkait
Jadi Semboyan Pendidikan, Ini Makna 'Ing Ngarsa Sung Tuladha, ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani'
5 Tips dan 7 Poin Penting untuk Esai LPDP, Anda Harus Tahu
Mahasiswa KKN UIN Walisongo Dampingi Siswa Madin Nurul Ulum dalam Ajang Porsadin ke 6 Kabupaten Demak
Dua Tahun Tak Digelar, Ritual Adat Seblang Bakungan Banyuwangi Kembali Semarak
BPJPH Tunggu Fatwa MUI untuk 25 ribu Kuota Sertifikasi Halal Gratis
Jalani Pemusatan Latihan di Yogyakarta, Tim U-16 Indonesia Terus Asah Kemampuan