Akhir Kekuasaan Hayam Wuruk: Warisan dan Penerus
Berakhirnya era Hayam Wuruk yang damai dan stabil, meninggalkan Majapahit dengan warisan dan potensi konflik penerus yang besar.
![]() |
Suasana sidang agung di pendopo Keraton Majapahit pada akhir abad ke-14. Raja Hayam Wuruk, yang mulai menua namun masih berwibawa, duduk di atas takhta emas yang dihiasi permata. (generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Angin senja di atas Trowulan pada abad ke-14 Masehi seolah membawa bisik kemegahan. Di bawah kepemimpinan Sri Rajasanagara, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Hayam Wuruk, Majapahit mencapai puncak keemasannya. Festival-festival agung digelar, perjalanan keliling negeri membentangkan kuasa, dan para pujangga mengabadikan zaman keemasan itu dalam syair-syair abadi. Namun, di balik semua kemegahan itu, bayang-bayang senja kekuasaan mulai merayap. Wafatnya sang raja pada 1389 M tidak hanya mengakhiri sebuah era, tetapi juga membuka kotak pandora berisi perebutan takhta yang pada akhirnya menyeret Majapahit ke dalam perang saudara yang memilukan.
Tahun-tahun Terakhir Pemerintahan Hayam Wuruk
Lahir pada tahun 1334 M, masa pemerintahan Hayam Wuruk adalah periode stabilitas dan kemakmuran yang luar biasa. Didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada yang legendaris, kekuasaan Majapahit membentang luas di Nusantara. Namun, sebuah titik balik penting terjadi pada tahun 1364 M, ketika Gajah Mada mangkat. Kehilangan sosok patih amangkubumi yang tak tergantikan itu memaksa Hayam Wuruk untuk mengambil alih kendali pemerintahan secara langsung, dibantu oleh dewan enam menteri (Muljana, 2005, hlm. 75).
Meski tanpa Gajah Mada, kerajaan tetap stabil. Hayam Wuruk membuktikan dirinya sebagai penguasa yang cakap. Ia rajin melakukan perjalanan keliling daerah (déśawarnana) untuk memastikan denyut nadi pemerintahannya sampai ke pelosok negeri. Kitab Nagarakretagama mencatat dengan rinci perjalanannya ke Lumajang pada tahun 1359 dan kunjungannya ke Candi Simping pada 1361 untuk memugar candi pendharmaan leluhurnya, Kertarajasa Jayawardhana, raja pertama Majapahit (Tjahjono, 2014, hlm. 114). Aktivitas ini menunjukkan betapa kuatnya kendali sang raja dan dalamnya penghormatan ia terhadap tradisi leluhur.
Namun, roda waktu terus berputar. Setelah memerintah selama 39 tahun, era gemilang itu pun harus berakhir. Pararaton mencatat bahwa Sang Hyang Wekasing Suka—nama anumerta Hayam Wuruk—wafat pada tahun Saka 1311 atau 1389 Masehi (Brandes & Krom, 1920, hlm. 30). Mangkatnya sang raja meninggalkan kekosongan besar dan sebuah pertanyaan krusial: siapa yang akan mewarisi takhta Majapahit?
Pembagian Warisan dan Konflik Internal Keluarga
Masalah suksesi menjadi bom waktu bagi Majapahit. Hayam Wuruk tidak memiliki putra dari permaisurinya, Paduka Sori (Muljana, 2005, hlm. 260). Putri mahkotanya adalah Kusumawarddhani, yang menikah dengan sepupunya sendiri, Wikramawarddhana, yang saat itu menjabat sebagai Bhre Mataram (Tjahjono, 2014, hlm. 119). Di sisi lain, Hayam Wuruk memiliki seorang putra dari istri selir, Bhre Wirabhumi.
Untuk menghindari konflik, Hayam Wuruk tampaknya telah menyiapkan sebuah solusi kompromi. Sebelum wafatnya, kerajaan dibagi menjadi dua bagian: Kerajaan Barat yang berpusat di Majapahit diserahkan kepada menantunya, Wikramawarddhana, sementara Kerajaan Timur yang berpusat di Blambangan diberikan kepada putranya, Bhre Wirabhumi (Tjahjono, 2014, hlm. 119). Pembagian ini, yang mungkin dimaksudkan sebagai jalan tengah yang adil, justru menciptakan dualisme kekuasaan yang berbahaya. Dua istana, dua penguasa, dan dua pusat kekuatan yang saling bersaing kini ada dalam satu payung besar Majapahit yang mulai rapuh.
Setelah Hayam Wuruk wafat pada 1389, Wikramawarddhana naik takhta di keraton barat sebagai penerus utama. Namun, Bhre Wirabhumi di timur juga merasa memiliki hak yang setara. Persaingan antara dua pusat kekuasaan ini perlahan tapi pasti meruncing, diperparah oleh intrik politik dan perebutan pengaruh di antara para bangsawan. Benih-benih perang saudara telah ditanam.
Wafatnya Raja dan Awal Perang Paregreg
Kematian Hayam Wuruk pada 1389 menjadi pemicu retaknya persatuan Majapahit. Ketegangan antara istana barat (Majapahit) yang dipimpin Wikramawarddhana dan istana timur (Blambangan) di bawah Bhre Wirabhumi terus meningkat selama lebih dari satu dekade. Puncaknya adalah meletusnya perang saudara yang dikenal dalam sejarah sebagai Perang Paregreg.
Istilah Paregreg sendiri bermakna "selangkah demi selangkah" atau "berangsur-angsur", menggambarkan sebuah konflik yang berjalan lambat namun destruktif, yang menggerogoti kekuatan Majapahit dari dalam (Tjahjono, 2014, hlm. 120). Menurut kitab Pararaton, perang ini berlangsung selama kurang lebih lima tahun, dari tahun 1401 hingga 1406 M (Saka 1323–1328) (Brandes & Krom, 1920, hlm. 31).
Perang saudara ini berakhir dengan kekalahan istana timur. Pada tahun 1406, Bhre Wirabhumi terbunuh, dan kekuasaannya pun berakhir (Tjahjono, 2014, hlm. 120). Secara teknis, Wikramawarddhana adalah pemenangnya. Ia berhasil menyatukan kembali Majapahit di bawah satu kekuasaan. Namun, kemenangan itu harus dibayar sangat mahal. Perang Paregreg telah menguras habis sumber daya militer dan ekonomi kerajaan. Banyak daerah bawahan di luar Jawa memanfaatkan kekacauan ini untuk melepaskan diri. Meskipun Wikramawarddhana memenangkan pertempuran, Majapahit sebagai sebuah imperium besar adalah pihak yang kalah sesungguhnya. Perang Paregreg menjadi titik awal kemunduran Majapahit yang tak terelakkan, sebuah warisan pahit dari masalah suksesi yang ditinggalkan oleh era keemasan Hayam Wuruk.
Daftar Pustaka
• Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Kepel Press.
• Brandes, J. L. A., & Krom, N. J. (Eds.). (1920). Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapël en van Majapahit (2nd ed.). Martinus Nijhoff.
• Muljana, S. (2005). Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. LKiS. (Karya asli terbit 1965).
• Pigeaud, T. G. Th. (1962). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History (Vol. IV: Commentaries and Recapitulation). Martinus Nijhoff.
• Tjahjono, B. D. (2014). Bukti Kejayaan Majapahit di Blitar. Dalam I. Andrisijanti (Ed.), Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota (hlm. 101–125). Kepel Press.
Posting Komentar