Pengaruh Islam di Jawa: Awal Mula Sunan dan Kerajaan Baru
Mengulas bagaimana agama Islam mulai menyebar dan membentuk komunitas, perlahan mempengaruhi budaya dan politik di Jawa, yang berpuncak pada lahirnya kerajaan baru di pesisir utara.
![]() |
Ilustrasi komunitas muslim yang berkembang di akhir masa Majapahit. (Generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Gemuruh ombak Selat Malaka menjadi saksi bisu lalu-lalang kapal-kapal dagang dari penjuru dunia. Pada abad ke-14 dan ke-15, saat Majapahit berada di puncak keemasannya, pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya menjadi etalase kosmopolitan Nusantara. Pedagang dari Campa, Tiongkok, India, bahkan Arab, datang silih berganti. Mereka tidak hanya membawa sutra, keramik, dan rempah-rempah. Di geladak kapal mereka, terselip pula gagasan-gagasan baru, sebuah keyakinan yang kelak mengubah wajah Jawa untuk selamanya: Islam.
Di tengah kemegahan Majapahit yang berlandaskan Hindu-Buddha, benih-benih komunitas muslim mulai tumbuh. Proses ini bukanlah invasi mendadak, melainkan sebuah transisi budaya yang berjalan perlahan, dipelopori oleh para pedagang, ulama, dan tokoh-tokoh karismatik yang kelak dikenal sebagai Sunan. Kisah mereka adalah babak penting yang mengantarkan surutnya era lama dan lahirnya sebuah kerajaan baru di Bintara, Demak.
Jalur Perdagangan dan Masuknya Pengaruh Islam
Pintu masuk utama Islam di Jawa adalah melalui jalur niaga maritim. Kakawin Nagarakretagama (1365 M) menggambarkan persahabatan Majapahit dengan negara-negara asing seperti Syangka (Siam), Campa, Kamboja, dan Yawana (Annam). Prasasti Balawi yang dikeluarkan pada tahun 1305 M juga mencatat keberadaan komunitas asing dari berbagai bangsa, termasuk dari Keling (India Selatan), Cina, dan Campa, yang telah menetap di wilayah Majapahit.
Para pedagang ini tidak datang sendirian. Mereka kerap berlayar bersama para resi dan pendeta, menjadikan kapal mereka wahana pertukaran budaya dan keyakinan. Di antara para pedagang asing tersebut, komunitas dari Campa (sekarang bagian dari Vietnam) memegang peranan penting dalam penyebaran awal Islam. Babad Majapahit dan Para Wali mencatat hubungan erat antara istana Majapahit dengan negeri Campa melalui pernikahan Prabu Brawijaya dengan seorang putri dari sana, Dyah Dwarawati. Hubungan inilah yang menjadi jembatan bagi datangnya tokoh-tokoh muslim awal ke jantung kekuasaan Majapahit.
Keberadaan orang-orang asing ini bukan hanya tercatat dalam naskah, tetapi juga terwujud dalam artefak. Temuan arkeologis di situs Trowulan, yang diyakini sebagai ibu kota Majapahit, berupa arca-arca terakota menunjukkan raut wajah orang Tiongkok, India, Tartar, dan Arab, menjadi bukti nyata betapa kosmopolitnya kota itu.
"Para tamu asing yang mengarungi lautan bersama para pedagang, resi, dan pendeta merasa puas dan senang menetap di Majapahit." (Zoetmulder, 1985, seperti dikutip dalam Priswanto, 2014).
Tokoh-Tokoh Penyebar Islam (Wali Sanga) di Pesisir Jawa
Narasi tradisional Jawa, khususnya Babad Majapahit dan Para Wali, menempatkan Sembilan Wali atau Wali Sanga sebagai figur sentral penyebaran Islam. Salah satu tokoh paling awal dan berpengaruh adalah Raden Rahmat, yang datang dari Campa untuk mengunjungi bibinya, Permaisuri Dyah Dwarawati, di keraton Majapahit.
Kedatangannya diterima dengan tangan terbuka oleh Prabu Brawijaya. Sang Raja, meskipun tetap memeluk kepercayaan lamanya, menunjukkan toleransi yang luar biasa. Raden Rahmat diizinkan menetap di daerah Ampeldenta (dekat Surabaya) dan menyebarkan ajaran Islam. Babad tersebut mencatat:
"Brawijaya tidak melarang orang-orang memeluk agama Islam, meskipun ia sendiri belum bersedia." (Sastradiwirya, 1988).
Bahkan, sang permaisuri, Dyah Dwarawati, dikisahkan memeluk Islam dan belajar mengaji kepada keponakannya itu. Dari Ampeldenta inilah Raden Rahmat, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel, membangun basis dakwahnya dan menjadi guru bagi para sunan lainnya.
Kisah para wali lainnya diwarnai dengan cerita-cerita yang menunjukkan kekuatan spiritual dan pendekatan dakwah yang unik. Salah satu yang paling legendaris adalah kisah Raden Sahid. Awalnya dikenal sebagai penjudi dan perampok kejam di Tuban, hidupnya berubah setelah bertemu Sunan Bonang. Tertarik oleh sisir berkilauan milik Sunan Bonang, Raden Sahid menantangnya berkelahi. Namun, Sunan Bonang justru menunjukkan kesaktiannya dengan mengubah buah enau menjadi emas, seraya menyadarkan Raden Sahid tentang kesia-siaan harta duniawi. Sejak itu, Raden Sahid berguru dan setelah melalui ujian berat, ia dikenal sebagai Sunan Kalijaga, ketua para wali.
Para wali ini tidak bergerak sendiri-sendiri. Mereka bekerja secara kolektif, puncaknya adalah saat membangun Masjid Agung Demak. Menurut babad, setiap wali menyumbangkan satu tiang utama (saka guru). Sunan Kalijaga, yang datang terlambat, secara ajaib membuat tiangnya dari kepingan-kepingan kayu (tatal) yang disatukan. Ia juga yang dikisahkan meluruskan arah kiblat masjid hanya dengan memegang puncak masjid di Demak dan puncak Ka'bah di Mekah secara bersamaan. Kisah-kisah ini, terlepas dari unsur mitologisnya, menggambarkan soliditas dan kekuatan spiritual para wali dalam mendirikan pusat peradaban Islam pertama di Jawa.
Hubungan Majapahit dengan Komunitas Muslim Awal
Jauh sebelum Demak berdiri, bukti arkeologis telah menunjukkan adanya komunitas muslim yang hidup damai di tengah ibu kota Majapahit. Di Troloyo, bagian selatan dari kawasan situs Trowulan, ditemukan sebuah kompleks pemakaman Islam kuno yang berasal dari abad ke-14 hingga ke-16. Nisan-nisan di pemakaman ini memiliki keunikan karena menggunakan angka tahun Saka—sistem penanggalan yang lazim dipakai pada masa Hindu-Buddha—dan dihiasi kutipan ayat-ayat Al-Qur'an.
Keberadaan makam-makam ini, yang beberapa di antaranya berasal dari era pemerintahan Hayam Wuruk, membuktikan bahwa toleransi beragama benar-benar terwujud pada masa keemasan Majapahit. Komunitas muslim tidak hanya diizinkan tinggal, tetapi juga dapat menjalankan ritual keagamaannya, termasuk pemakaman, di jantung kerajaan.
Hubungan ini semakin menguat secara politik melalui sosok Raden Patah. Diceritakan dalam babad, ia adalah putra Prabu Brawijaya dari seorang putri Tiongkok. Karena intrik istana, ibunya diserahkan kepada Adipati Palembang, Arya Damar, saat sedang mengandung. Setelah dewasa, Raden Patah kembali ke Jawa dan menjadi murid Sunan Ampel. Atas saran gurunya, ia membuka hutan Glagahwangi di daerah Bintara untuk dijadikan permukiman.
Permukiman baru ini berkembang pesat hingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pejabat Majapahit akan potensi pemberontakan. Namun, ketika utusan Majapahit tiba, terungkaplah bahwa pemimpin permukiman itu adalah putra raja sendiri. Babad mengisahkan, Prabu Brawijaya akhirnya mengakui Raden Patah dan secara resmi mengangkatnya menjadi Adipati Demak-Bintara. Inilah momen transisi krusial: Majapahit, secara sadar atau tidak, memberikan legitimasi bagi berdirinya kekuatan politik Islam yang kelak akan menggantikannya. Benih kerajaan baru itu disemai dengan restu dari kerajaan lama yang mulai senja.
Daftar Pustaka
Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Kepel Press.
Pigeaud, T. G. T. (1960). Java in the 14th century: A study in cultural history - The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D. (Vol. I-V). Martinus Nijhoff.
Sastradiwirya (Trans.). (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Muljana, S. (2005). Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. LKiS.
Posting Komentar