Bikin Gen Z Aktif Ngomong Jawa: Begini Kata Widodo, Dosen Sastra Jawa UNNES
![]() |
Webinar Aku Wong Jawa "Ngoko Krama Kekinian: Strategi Bikin Gen Z Aktif Ngomong Bahasa Jawa" (Foto: Babad.Id) |
Webinar yang diikuti oleh mahasiswa, guru, dosen, pelaku seni dan budaya, anggota Komunitas Melek Aksara Jawa (KMAJ) dan masyarakat umum tersebut juga dihadirkan melalui live streaming Youtube Babad ID. Widodo mengupas perihal fenomena mengapa Gen Z tidak menggunakan Bahasa Jawa, trik membuat Gen Z aktif ngomong Jawa dan literatur digital yang mendukung pembelajaran Bahasa Jawa.
Alasan Gen Z Tidak Ngomong Jawa
Menurut Widodo, salah satu penghambat utama Gen Z menggunakan bahasa Jawa adalah stigma bahwa bahasa Jawa itu “sulit” dan menakutkan. Ketakutan akan kesalahan penggunaan, terutama dalam tingkatan ngoko, krama, dan krama inggil, membuat banyak anak muda memilih tidak menggunakan bahasa Jawa sama sekali.Masalahnya semakin kompleks karena generasi ini hidup berdampingan dengan berbagai bahasa: Indonesia, Inggris, bahkan Arab. Alhasil, muncul campur-campur bahasa dalam keseharian seperti “Tindak ke mana, Pak?” yang menunjukkan identitas Jawa meski belum sepenuhnya tepat.
“Yang keliru itu bukan campurannya, tapi ketika bahasa Jawa dipaksa harus dominan di habitatnya sendiri,” tegas Widodo. Bahasa Jawa, menurutnya, justru akan tumbuh subur jika hidup berdampingan secara alami dengan bahasa lain.
Widodo juga menyontohkan penggunaan Bahasa Jawa dalam komunikasi lainnya. Misalnya pertanyaan “Bapak sudah makan?” Kalimat sederhana ini, dalam bahasa Indonesia, bisa diucapkan kepada siapa saja, dari anak ke orang tua, dari teman ke teman, bahkan kepada orang tak dikenal, tanpa perlu ragu.
Namun, begitu kalimat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, muncul berbagai pilihan: “Bapak wis nedo?”, “Bapak wis dhahar?”, “Menapa Bapak sampun nedo?”, dan seterusnya. Setiap pilihan kosa kata, menurut Widodo, memiliki tingkat kesopanan berbeda, dan justru di situlah masalahnya: keraguan dan rasa takut untuk salah muncul.
Ketakutan ini membuat banyak orang, terutama generasi muda, memilih diam atau beralih ke bahasa Indonesia. Mereka merasa belum "cukup bisa" bahasa Jawa karena belum menguasai tingkatan krama, ngoko, dan turunannya. Padahal, jika diam terus, kapan bisa terbiasa?
Rasa minder ini diperparah oleh kebiasaan sebagian masyarakat yang lebih mudah menyindir ketimbang mengapresiasi. Mengoreksi penggunaan bahasa Jawa yang “kurang alus” sering dianggap lebih penting ketimbang memberi semangat bagi mereka yang baru mulai belajar. Akibatnya, bahasa ibu justru terasa asing di rumah sendiri.
Strategi Bikin Gen Z Aktif Ngomong Jawa
Widodo menekankan bahwa pendekatan represif seperti mengoreksi secara keras hanya akan membuat generasi muda enggan berbicara Jawa. Sebaliknya, mereka butuh apresiasi meskipun baru bisa satu atau dua kata.“Kalau orang belajar bahasa asing, bisa saja salah, tapi tetap dilanjut. Tapi kalau bahasa Jawa, salah sedikit langsung dicacat,” ujar Widodo.
Ia mencontohkan, saat ia berada di Amerika, orang-orang justru menghargai bahasa Inggrisnya yang terbatas. “Speaking English you cantik,” begitu salah satu komentar warga lokal yang membuatnya tetap percaya diri.
Dengan prinsip serupa, pendekatan yang membangun dan memberi ruang salah dalam belajar harus diutamakan. Kalimat sederhana seperti “Bapak wis mangan?” bisa menjadi ladang ketakutan karena pilihan kosakata yang membingungkan: wis, sampun, nedho, dahar—semuanya seolah punya makna berbeda dan membuat pembelajar bingung mana yang paling benar.
Widodo menyarankan untuk memperlonggar pemilahan dan membiarkan bahasa Jawa digunakan dengan ekspresi alami, disesuaikan dengan konteks dan lawan bicara, tanpa tekanan harus “benar secara gramatikal” sejak awal.
Ia juga bercerita pernah mengajari mahasiswa asing berkulit hitam dan berambut keriting dari luar negeri untuk mengucapkan dalam bahasa Jawa: "My name is…", "I am from…", atau dalam bahasa Jawa menjadi “meniko ingkang kulo aturaken…”, yang artinya “nama saya…”, “saya dari…”.
Trik tersebut juga mudah diaplikasikan kepada Gen Z untuk memulai berbicara menggunakan Bahasa Jawa. Dimulai dari perkenalan menggunakan Bahasa Jawa namanya siapa, dari mana, dan alamatnya mana.
Dari situ Widodo menunjukkan bahwa kosakata sederhana adalah titik awal membangun jati diri lewat bahasa. Namun, bahasa Jawa bukan hanya alat untuk memperkenalkan diri.
“Basa Jawa menika basa klangenan kangge padu misale. Basa klangenan kangge ngrasani iso mantep sanget,” ungkap Widodo dengan gaya santai. Bahasa Jawa adalah bahasa keseharian, bahasa pergaulan yang mampu hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia, Inggris, bahkan Arab.
Yang penting, kata Widodo, adalah prinsip “empan papan” atau tahu kapan dan kepada siapa menggunakan bahasa tersebut. Di kafe misalnya, tidak masalah menggunakan bahasa Jawa ngoko yang santai. “Jawa Timuran nganggo ‘cuk’ ya mantep, Banyumasan nganggo ngapak ya luwih nyenengke,” tambahnya. Namun, dalam ranah formal seperti seminar, bahasa Jawa memang bisa membuat orang yang tidak terbiasa merasa gelagapan.
Sumber Literasi Digital Pendukung Pembelajaran Bahasa Jawa
Dalam sesi akhir, Widodo menyarankan pemanfaatan berbagai sumber digital sebagai penopang belajar bahasa Jawa. Kamus daring seperti Kamus Bahasa Jawa-Indonesia, Kamus Unggah-Ungguh, dan Kamus Pepak bisa menjadi referensi penting. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa sebagian besar kosakata di dalamnya sudah tidak digunakan dalam praktik sehari-hari.“Bahasa Jawa itu harus hidup, dan untuk hidup, dia perlu relevan dan digunakan. Tidak hanya diawetkan dalam kamus,” jelasnya. Bahasa Jawa tidak hanya alat komunikasi, tapi juga identitas dan medium membangun kedekatan. Dari “nggih” hingga “yo wis”, dari “pundi” hingga “arep ning endi”, semuanya valid sebagai bentuk ekspresi dan jati diri.
Posting Komentar