Iklan Webinar Aku Wong Jawa
Webinar Aku Wong Jawa

Nguri-uri Budaya Jawi ing Era Digital

Temukan kembali jati diri dan kearifan luhur Jawa yang relevan hingga kini. Mari bersama kupas tuntas filosofi adiluhung di webinar eksklusif "Aku Wong Jawa".

Daftar & Bangkitkan Jiwamu!

Jawa Terancam Punah di Tanah Sendiri? Sorotan Tajam atas Mandulnya Kongres Bahasa dan Budaya Jawa

Daftar Isi

Artikel ini mengkritik Kongres Bahasa Jawa dan Kongres Kebudayaan Jawa yang seringkali menghasilkan rekomendasi tanpa tindakan nyata. Menelusuri akar permasalahan dari internal kongres hingga peran pemerintah, serta urgensi pelibatan pemuda dan pemanfaatan teknologi untuk pelestarian budaya Jawa di tengah tantangan globalisasi.

Bahasa Jawa yang menjadi bahasa ibu bagi masyarakat Jawa menghadapi tantangan berat. Eksistensinya terancam. Kongres Bahasa Jawa dan Kongres Kebudayaan Jawa yang seringkali menghasilkan rekomendasi tanpa tindakan nyata. (Generated by Gemini)
Bahasa Jawa yang menjadi bahasa ibu bagi masyarakat Jawa menghadapi tantangan berat. Eksistensinya terancam. Kongres Bahasa Jawa dan Kongres Kebudayaan Jawa yang seringkali menghasilkan rekomendasi tanpa tindakan nyata. (Generated by Gemini)

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Bahasa dan budaya Jawa merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat Jawa di Indonesia. Peran bahasa daerah, termasuk Jawa, secara historis telah menjadi fondasi penting bagi persatuan dan nasionalisme Indonesia. Pulau Jawa sendiri merupakan pulau terbesar di Indonesia, dihuni oleh 60% populasi pascakolonial. Bahasa Jawa dituturkan oleh lebih dari 80 juta penutur di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta, dengan 47 dialek yang berbeda. Bahasa Jawa juga dikenal kaya akan kosakata dan berfungsi sebagai sarana mengenalkan nilai-nilai luhur dan sopan santun.

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, memiliki slogan yang mengedepankan pelestarian bahasa daerah: "Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing". Slogan ini sejalan dengan peringatan Hari Bahasa Ibu setiap 21 Februari dan peringatan Sumpah Pemuda setiap 28 Oktober, yang terus mengingatkan pentingnya melestarikan bahasa daerah agar tidak punah di masa depan.

Untuk mengevaluasi dan memperkuat regulasi, pemerintah di tiga provinsi (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta) secara bergantian menyelenggarakan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) dan Kongres Kebudayaan Jawa (KKJ). Kongres Bahasa Jawa pertama kali diadakan pada tahun 1991 di Semarang, sementara Kongres Kebudayaan Jawa pertama berlangsung di Solo pada tahun 2014. Pembicara dalam kongres-kongres ini berasal dari berbagai latar belakang, termasuk akademisi, praktisi bahasa dan budaya, guru, dan pejabat daerah.

Namun, terlepas dari niat baik dan dana anggaran yang besar yang dialokasikan, hasil dari kongres-kongres ini dinilai belum cukup untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa dan budaya Jawa. Dhoni Zustiyantoro (2024) mengkritik bahwa meskipun kongres-kongres ini dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan menghasilkan rekomendasi kepada para gubernur di tiga provinsi, kurangnya tindakan nyata untuk mendorong perubahan kebijakan yang progresif dalam pelestarian, pengembangan, dan inovasi bahasa dan budaya Jawa menjadi masalah utama. Zustiyantoro mengkritik terhadap Kongres Bahasa Jawa dan Kongres Kebudayaan Jawa, yang diselenggarakan setiap lima tahun di Indonesia, namun hasilnya tidak cukup untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa dan budaya Jawa.

Analisis Mendalam dan Sudut Pandang Berbeda

Kondisi kontemporer bahasa dan budaya Jawa menunjukkan adanya erosi yang semakin nyata. Remaja, sebagai generasi penutur selanjutnya, menunjukkan kurangnya minat untuk secara konsisten menggunakan bahasa ibu mereka. Fenomena ini telah menjadi perbincangan sejak awal kemerdekaan Indonesia. Bahkan di era Orde Baru, ketika budaya Jawa mendominasi berbagai bidang, penggunaan bahasa Jawa justru memudar. Salah satu penyebab pudarnya bahasa Jawa adalah westernisasi bahasa, di mana individu meniru budaya Barat secara berlebihan tanpa memilahnya terlebih dahulu , termasuk dalam penggunaan bahasa gaul seperti Bahasa Inggris atau bahasa lainnya. Ladifa dkk. menyimpulkan bahwa westernisasi adalah proses seseorang untuk meniru budaya barat secara berlebihan tanpa memilih dan memilahnya terlebih dahulu.

Perpindahan penduduk dari desa ke kota juga turut memengaruhi penggunaan bahasa daerah. Banyak orang tua merasa bahwa penggunaan bahasa Indonesia, ditambah dengan penguasaan bahasa asing, lebih penting untuk peluang karier di masa depan, sehingga mengesampingkan pembelajaran bahasa Jawa secara serius. Penelitian terbaru menunjukkan kemunduran ini. Studi di Jawa Timur menemukan bahwa kaum muda di bawah 25 tahun cenderung lebih suka berbicara bahasa Indonesia dengan orang yang lebih tua. Kecemasan karena merasa belum menguasai krama (tingkatan bahasa halus dalam Jawa) dengan benar menjadi salah satu alasan mereka menghindari penggunaan bahasa Jawa. Di Madiun, remaja cenderung menggunakan bahasa Jawa ngoko atau bahasa Indonesia saat berbicara dengan orang tua mereka, karena tidak dapat membedakan cara berbicara dengan orang tua dan teman sebaya. 

Di Yogyakarta, hanya 50% siswa yang mampu berbicara bahasa Jawa krama. Hal ini didukung oleh wawancara dengan remaja yang menunjukkan bahwa meskipun mereka lahir dan dibesarkan di Jawa, kebanyakan tidak mengerti bahasa Jawa halus dan lebih memilih bahasa Indonesia saat berbicara dengan orang yang lebih tua, karena kebiasaan sejak kecil mereka tidak diajarkan demikian. Ladifa dkk. mengemukakan bahwa hasil wawancara menunjukkan hampir semua remaja mengetahui maksud westernisasi, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengerti Bahasa Jawa halus, hanya mengerti Bahasa Jawa kasar yang biasa digunakan untuk berbicara dengan teman sebayanya. 

Bekti & Thohir (2022) juga menemukan bahwa hampir seluruh responden mencampurkan bahasa Krama dengan bahasa Ngoko, bahkan beberapa di antaranya mencampurnya dengan bahasa Indonesia. Hanya 53,84% siswa yang mengaku menggunakan bahasa Krama dengan orang tua.

Permasalahan dalam Kongres Bahasa dan Kebudayaan Jawa juga bersumber dari internal. Salah satunya adalah minimnya pelibatan pemikir dan aktivis muda yang konsisten berkarya di bidang bahasa dan budaya Jawa. Justru, kongres ini seringkali menjadi "tempat reuni" bagi para peserta dan pembicara, yang cenderung menyajikan konsep-konsep umum dan dikenal luas, alih-alih membahas fenomena aktual dan solusi konkret. Padahal, sejarah Indonesia telah membuktikan peran penting pemuda dalam membentuk revolusi dan kemerdekaan, dari Sumpah Pemuda 1928 hingga Reformasi 1998. Namun, dalam budaya Jawa, pemuda sering dianggap "durung Jawa" (belum sepenuhnya Jawa, belum terampil) oleh generasi tua, yang menghambat komunikasi terbuka dan egaliter serta inovasi kebijakan.

Selain itu, komite kongres tidak selalu memahami dinamika dan isu terkini bahasa dan budaya Jawa di lapangan, sehingga seringkali memilih pembicara berdasarkan nama-nama permanen tanpa mempertimbangkan latar belakang progresif. Fenomena ini diperparah dengan kurangnya kapasitas guru bahasa Jawa. Dhoni Zustiyantoro menyoroti bahwa masalah guru bukan hanya terletak pada rekrutmen yang sesuai kualifikasi pendidikan, tetapi juga peningkatan kompetensi guru yang sudah mengajar. Terkadang, guru bahasa Jawa kurang kompeten karena kekurangan guru di bidang tersebut. Hasil penelitian Bekti & Thohir (2022) menunjukkan bahwa pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah dasar masih menggunakan guru kelas sebagai pengajarnya, bukan guru khusus mata pelajaran Bahasa Jawa, yang belum memiliki kemampuan memadai. Guru juga cenderung menggunakan bahasa campuran, yaitu bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Jawa.

Pemanfaatan teknologi informasi juga belum dioptimalkan. Meskipun pengguna internet dan media sosial di Indonesia sangat tinggi, mencapai 73,7% dari total populasi pada 2020 , konten berbahasa dan berbudaya Jawa di platform seperti Instagram, TikTok, Youtube, atau Twitter masih minim. Padahal, media sosial dapat menjadi pintu masuk yang efektif untuk memperkenalkan bahasa dan budaya Jawa populer kepada remaja. Era Society 5.0 yang didominasi aspek digital juga dikhawatirkan akan menghilangkan jati diri dan karakter manusia, terutama anak-anak, jika tidak ditanamkan nilai-nilai luhur sejak dini.

Relevansi Kontemporer dan Dampak Jangka Panjang

Erosi bahasa dan budaya Jawa memiliki implikasi serius terhadap identitas dan kearifan lokal. Bahasa Jawa mengandung nilai-nilai kearifan dan pedoman hidup yang membentuk karakter. Jika pemahaman yang benar tidak ditekankan, akan terjadi misinterpretasi dan distorsi sejarah. Pelestarian Bahasa Jawa juga krusial untuk menjaga nilai sopan santun dan budi pekerti yang dikenal melekat pada masyarakat Jawa. Penting untuk disadari bahwa Kongres Bahasa Jawa dan Kongres Kebudayaan Jawa harus membawa semangat dekolonisasi untuk memberikan tindakan yang lebih konkret dalam upaya mempertahankan bahasa dan budaya Jawa di masa depan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu diambil langkah-langkah konkret dan terukur. Kongres-kongres ini harus mendorong pemerintah daerah untuk menciptakan ruang publik inklusif yang ramah budaya Jawa, seperti perpustakaan umum yang dapat meningkatkan minat baca buku-buku berbahasa Jawa. Tingkat literasi di Indonesia, termasuk literasi bahasa Jawa, masih sangat rendah. Peningkatan literasi tidak bisa hanya mengandalkan relawan; pemerintah harus mengambil bagian yang lebih besar dalam menciptakan perpustakaan fisik dan digital yang dapat diakses secara terbuka dan gratis oleh generasi muda.

Pelibatan kaum muda adalah kunci. Mereka harus diposisikan sebagai subjek yang didengar pendapatnya, bukan hanya objek regenerasi penutur bahasa. Akademisi muda, aktivis, dan komunitas yang bergerak di bidang bahasa dan budaya Jawa, termasuk organisasi mahasiswa di program studi bahasa dan sastra Jawa di beberapa universitas, perlu dikonsultasikan. Komunitas-komunitas seperti Komunitas Sastra Jawa, Jangkah, Sraddhasala, Segajabung, dan Omah Wulangreh yang aktif menyelenggarakan forum kajian Jawa, perlu dilibatkan.

Selain itu, pembentukan lembaga independen yang berasal dari Kongres Bahasa Jawa dan Kongres Kebudayaan Jawa sangat penting untuk memastikan rekomendasi yang dihasilkan ditindaklanjuti oleh pemerintah. Lembaga ini dapat bertindak sebagai komite pengarah yang memberikan peringatan jika pemerintah tidak melakukan kebijakan produktif untuk mengembangkan bahasa dan budaya Jawa, serta memberikan akuntabilitas langsung kepada gubernur di setiap daerah. Dana Abadi Kebudayaan sebesar Rp 5 triliun yang dialokasikan pemerintah dapat digunakan untuk membiayai lembaga ini.

Banyak masalah yang menghambat Kongres Bahasa Jawa dan Kongres Kebudayaan Jawa dalam berperan melestarikan bahasa dan budaya Jawa. Permasalahan ini berakar dari internal kongres itu sendiri dan juga disebabkan oleh ketidakberpihakan pemerintah terhadap isu-isu bahasa dan budaya daerah. Pentingnya melibatkan aktivis dan pemuda progresif, serta memanfaatkan teknologi informasi dan media sosial, menjadi kunci untuk menarik minat generasi muda terhadap bahasa dan budaya Jawa. Mengabaikan peran pemuda berarti pemerintah tidak belajar dari sejarah.

Pemerintah juga harus mendukung peningkatan kapasitas guru bahasa Jawa, tidak hanya dalam rekrutmen yang berkualitas berdasarkan kualifikasi pendidikan tetapi juga dalam peningkatan kompetensi guru yang sudah mengajar siswa. Dukungan politik terhadap bahasa dan budaya Jawa dapat menjadi cara bagi pemerintah untuk menunjukkan keseriusannya dalam bidang yang bersentuhan langsung dengan masyarakat Jawa setiap hari. Pada akhirnya, meskipun banyak pembatasan dan keterbatasan yang berakar dari masa lalu, kedua kongres ini perlu membawa semangat kesadaran dekolonisasi untuk memahami efek kolonialisme yang selama ini diterima dan menjadi kebiasaan, tetapi menghambat kemajuan.

Mari kita terus menelusuri dan melestarikan jejak-jejak sejarah yang kaya di tanah Jawa ini, agar generasi mendatang dapat memahami dan menghargai warisan leluhur mereka, dan mendorong kongres-kongres budaya untuk tidak hanya menghasilkan rekomendasi, tetapi juga aksi nyata yang berdampak.***

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar

Webinar Aku Wong Jawa

Diskusi Buku: Lukisan Kaligrafi

"Lukisan Kaligrafi: Mengukir Spiritual, Memahat Estetika". Bersama inisiator Teras Baca Boja, Zakia Maharani.

Daftar Sekarang!

📣 Ikuti Tantangan Bulanan "Cerita dari KKN"! 📣

Bagikan pengalaman KKN-mu yang paling berkesan dan menangkan hadiah menarik setiap bulannya! Ini kesempatanmu untuk berbagi cerita inspiratif dan mendapatkan apresiasi.
Iklan Webinar Aku Wong Jawa
Webinar Aku Wong Jawa

Nguri-uri Budaya Jawi ing Era Digital

Temukan kembali jati diri dan kearifan luhur Jawa yang relevan hingga kini. Mari bersama kupas tuntas filosofi adiluhung di webinar eksklusif "Aku Wong Jawa".

Daftar & Bangkitkan Jiwamu!