Jejak Keagungan Borobudur: Kisah dari 'Monumental Java' Scheltema
Ulasan kritis Candi Borobudur dari 'Monumental Java' J.F. Scheltema. Mengungkap arsitektur Buddha agung, sejarah pelestarian, dan kelalaian kolonial.
![]() |
Salah satu relief di Candi Borobudur. (Monumental Java J.F. Scheltema) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Dalam lanskap sejarah dan arsitektur Jawa, Candi Borobudur selalu menempati posisi puncak, digambarkan oleh J.F. Scheltema dalam bukunya "Monumental Java" (1912) sebagai "facile princeps" atau yang terkemuka di antara semua monumen kuno di kepulauan yang saat itu dikenal sebagai Hindia Belanda. Karya agung Buddhis ini, yang menurut Scheltema merupakan pencapaian paling sempurna dari arsitektur Buddhis di Jawa, bahkan mungkin di seluruh dunia, adalah perwujudan pikiran kreatif yang luar biasa.
Keagungan Arsitektur dan Filosofi Terukir
Borobudur, yang terletak di Kedu – wilayah yang dijuluki "taman Jawa" karena keindahan alamnya yang memikat – mudah dijangkau dari Yogyakarta atau Magelang, dengan Candi Mendut menjadi pengantar menuju keagungannya. Didirikan sekitar tahun 850 Saka (928 Masehi), atau bahkan lebih awal, selama periode keemasan arsitektur Jawa, candi ini adalah "buku suci dari batu vulkanik" yang mengukir sejarah dan filosofi agama Buddha.
Strukturnya menampilkan piramida poligonal yang menjulang dalam serangkaian teras, membentuk galeri-galeri yang mengelilingi puncak bukit. Keistimewaannya meliputi:
• 432 relung untuk patung Buddha dengan prabha (aura) dan padmasana (bantalan lotus) di bagian luar.
• 72 chaitya berbentuk lonceng di teras melingkar bagian atas, masing-masing berisi patung Buddha tanpa ornamen tambahan.
• Bas-relief sepanjang hampir 10.000 kaki linear yang mengilustrasikan kisah-kisah suci dan profan. Bagian terbaik yang terawat adalah relief yang menceritakan kehidupan Buddha dari kelahiran hingga kematiannya (Lalita Vistara) di galeri pertama.
• Relief juga mengisahkan fabel hewan dan cerita jataka, menggambarkan inkarnasi Buddha sebelumnya sebagai berbagai makhluk, mengajarkan kebaikan hati dan pengorbanan diri.
Meskipun identitas arsiteknya tidak diketahui, imajinasi masyarakat Jawa memberinya nama Kiahi Guna Darma atau Kiahi Oondagi, sosok yang diakui memiliki kejeniusan luar biasa. Borobudur merepresentasikan Buddhisme Mahayana dengan jelas, namun Scheltema mencatat adanya sinkretisme yang menonjol dengan motif dan atribut Hindu, seperti patung empat lengan dan dewi-dewi Hindu, menunjukkan toleransi beragama yang kuat di Jawa pada masa itu. Ini merupakan bukti keindahan sejati yang lahir dari perpaduan keyakinan.
Jejak Sejarah dan Pengabaian yang Memilukan
Berbeda dengan klaim "penemuan kembali" oleh Cornelius pada tahun 1814, Scheltema menegaskan bahwa Borobudur tidak pernah benar-benar hilang dari ingatan penduduk setempat; ia bahkan disebutkan dalam Babad Tanah Jawa pada abad ke-18 sebagai situs pemberontakan dan tempat yang menyimpan patung-patung keramat.
Namun, sejarah Borobudur juga diwarnai kelalaian dan penjarahan yang memilukan pasca-periode keemasannya. Scheltema dengan tegas mengkritik "ketidakpedulian dan kelalaian resmi" pemerintah Belanda yang ia anggap lebih merusak daripada faktor waktu atau penjarah biasa. Pekerjaan restorasi sering terhambat oleh "kekurangan uang" (kurang wang) dan "dilettantisme berbahaya" dari pejabat yang kurang kompeten.
Salah satu insiden paling mencolok adalah kunjungan Raja Siam Chulalongkorn pada tahun 1896. Dalam peristiwa yang disebut Scheltema sebagai "contoh penjarahan resmi", Raja diizinkan untuk membawa delapan gerobak penuh patung dan ornamen Borobudur ke Bangkok, termasuk patung Kiahi Oondagi, sang arsitek legendaris. Ironisnya, hal ini terjadi setelah pidato-pidato retoris di Den Haag yang menggembar-gemborkan "warisan tak ternilai" yang harus dilindungi Belanda.
Selain itu, batu-batu candi Borobudur dan Mendut secara luas digunakan untuk pembangunan bendungan, jembatan, rumah penduduk, pabrik gula, dan pabrik nila, dengan pengawasan resmi yang acuh tak acuh. Scheltema mencatat bagaimana "restorasi" yang salah arah malah merusak monumen lain seperti Candi Panataran dengan pelapis semen, plester, dan kapur yang menyembunyikan detail arsitektur aslinya.
Bencana alam, seperti erupsi Gunung Merapi, juga meninggalkan jejak kerusakan dan menghentikan pekerjaan pembangunan. Namun, Scheltema menyiratkan bahwa kerusakan akibat manusia jauh lebih parah daripada kerusakan alam.
Borobudur: Antara Masa Lalu, Kini, dan Harapan
Meskipun mengalami degradasi yang menyakitkan, Borobudur tetap menjadi "permata tak ternilai dari kesucian", sebuah simbol abadi dari peradaban Jawa dan cerminan jiwanya yang mendalam. Scheltema melihatnya sebagai perwujudan keindahan yang sejati, sebuah doa dalam batu yang lahir dari perenungan mendalam tentang yang ilahi.
Di tengah pengabaian dan penjarahan, Scheltema berharap bahwa rasa malu, jika bukan rasa kewajiban, akan mempertahankan minat pada monumen kuno Jawa yang kini sedang "populer". Ia memimpikan hari yang lebih cerah, di mana semangat kepedulian yang baru akan menggantikan "pameran yang mewah dan berlebihan" dengan upaya pelestarian yang "tenang, bertanggung jawab, dan gigih".
Borobudur, dengan segala keagungan dan penderitaannya, melampaui sekadar struktur fisik. Ia adalah "jiwa kemanusiaan dalam persekutuan dengan jiwa semesta," sebuah ekspresi kenabian tentang kebenaran abadi. Meskipun tantangan pelestarian terus berlanjut, harapannya tetap ada: "jika harapan bertahan dalam pertarungan dengan kegelapan, ketabahan yang sabar akan membawa kemenangan". Borobudur adalah pengingat bahwa, terlepas dari segala pasang surut zaman, "sesuatu yang telah ada, adalah yang akan ada; dan yang telah dilakukan, adalah yang akan dilakukan".
Posting Komentar