Misteri Dieng dalam Catatan 'Monumental Java': Surga Kuno yang Terabaikan & Jejak Peradaban Hilang

Table of Contents

Jelajahi keindahan mistis Dieng, tanah para dewa di Jawa Tengah. Dari kuil Hindu-Buddha kuno hingga kisah vandalisme dan perjuangan pelestarian dalam catatan Monumental Java karya karya J. F. Scheltema.

Penampakan Candi Arjuno di dataran tinggi Dieng. (Monumental Java, J. F. Scheltema)
Penampakan Candi Arjuno di dataran tinggi Dieng. (Monumental Java, J. F. Scheltema)

Dieng, Tanah Para Dewa di Jantung Jawa

Di tengah pulau Jawa, tempat pertemuan lima keresidenan – Semarang, Pekalongan, Banyumas, Bagelen, dan Kedu – terhampar dataran tinggi Dieng, sebuah negeri ajaib yang menghubungkan rantai gunung berapi timur dan barat, membentuk tulang punggung pulau ini. Tradisi menyebutnya bagian pertama yang diciptakan dan akan bertahan paling lama di atas permukaan air saat kiamat tiba. 

Nama "Dieng" sendiri, menurut etimologi Jawa, berasal dari "adi aëng" yang berarti "sangat indah", atau "dihyang" yang ditemukan dalam catatan-catatan kuno. Namun, di balik keindahan alamnya yang memukau, Dieng menyimpan kisah peradaban yang hilang, sebuah "Benares Jawa" yang terkubur oleh dahsyatnya letusan gunung berapi.

Kuil-kuil di Dieng adalah yang tertua dan terindah di Jawa, meski bukan yang terbesar. Sebuah prasasti Venggi mengisyaratkan bahwa pemukiman Hindu di sini mungkin berasal dari Priangan, atau bahkan langsung dari India Selatan. 

Masa kejayaan peradaban Dieng diperkirakan mencapai puncaknya sekitar tahun 731 Saka (809 Masehi), bertepatan dengan masa keemasan Dinasti Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Cordova. Namun, setelah empat abad kejayaan, Dieng tiba-tiba menjadi tanah tak berpenghuni, sebuah belantara gunung dan hutan yang hanya dihuni oleh setan dan iblis. Barulah sekitar tahun 1800, desa-desa mulai terbentuk dan berkembang, meski harimau masih menjadi gangguan.

Mahakarya Arsitektur dalam Pelukan Alam

Karya seni agung Dieng memperlihatkan keselarasan alami yang luar biasa. Kuil-kuil ini, yang banyak di antaranya didedikasikan untuk Siwa, istrinya Durga, dan putra sulung mereka Ganesa, adalah bagian integral dari lanskap sekitarnya. Salah satu yang paling terkenal adalah Candi Bimo (Wergodoro), kuil terbesar, terindah, dan paling terawat di Dieng. 

Berbeda dengan kuil lain di dataran tinggi yang umumnya menghadap ke barat, Candi Bimo menghadap ke timur dan menampilkan keunikan pahatan, seperti lotus ganda dan pohon bo-kecil dengan bentuk tak lazim. Meskipun banyak bagian dekorasinya belum selesai, seolah-olah para pemahat terhenti mendadak oleh bencana.

Kelompok Candi Arjuno, termasuk rumah Samār, Srikandi, Poontadewa, dan Sembrada, juga menjadi sorotan. Candi Arjuno dihiasi ornamen kala-makara di pintu masuknya. Sementara itu, Candi Poontadewa dianggap yang terbaik dalam kelompoknya, dengan keanggunan yang luar biasa di atas dasar yang tinggi. 

Sayangnya, banyak citra suci di dalamnya telah dipindahkan atau hilang, dan alas patung-patung dirusak oleh penjarah harta karun. Selain kuil-kuil, Dieng juga memiliki jejak-jejak peradaban yang memukau, seperti akuaduk kuno, tembok, tangga, dan fondasi bangunan sekuler, yang mengisyaratkan pusat keagamaan penting di masa lalu.

Bayang-bayang Kelalaian dan Perjuangan Pelestarian

Sejarah kuno Dieng tidak hanya berisi kemegahan, tetapi juga kisah kelalaian dan penjarahan yang menyedihkan. Otoritas kolonial, yang digambarkan pasif bahkan cenderung melakukan vandalisme terhadap harta karun yang tidak dapat diubah menjadi uang tunai, memperparah kerusakan situs-situs ini. 

Meskipun ada upaya-upaya heroik dari individu seperti Junghuhn dan Rouffaer yang menyuarakan protes, laporan-laporan resmi seringkali menutupi apa yang tidak dilakukan, yaitu membiarkan keajaiban arsitektur hancur, dijarah, dan dibongkar. Batu-batu candi banyak digunakan untuk pembangunan rumah pribadi, pabrik, bahkan jembatan dan bendungan pemerintah.

Contoh nyata adalah Candi Perot dan Pringapus yang rusak parah akibat badai pada tahun 1907, serta Candi Andorowati dan Gatot Kocho yang terus runtuh. Bahkan tanda-tanda enigmatik di Batu Ketèk (batu monyet) yang dijelaskan Junghuhn pada tahun 1885, semakin memudar setelah menarik perhatian publik. Patung-patung dan artefak seringkali dipindahkan ke museum atau koleksi pribadi, bahkan dijual dengan harga sangat rendah oleh penduduk lokal yang takut pada pemerintah.

Meskipun Komisi Arkeologi akhirnya dibentuk pada tahun 1901 dan mulai melakukan restorasi seperti pada Candi Tumpang dan Mendut, penulis mengeluhkan bahwa upaya ini seringkali terhambat oleh birokrasi yang lamban dan "keterbatasan uang" (kurang wang). Kasus Candi Mendut, misalnya, menunjukkan bagaimana dana yang dialokasikan disia-siakan untuk perbaikan yang tidak memadai, dan proyek restorasi dihentikan berkali-kali. "Kegilaan restorasi adalah yang paling mengerikan dan paling bodoh", demikian dikutip John Ruskin, sebuah sentimen yang sangat relevan dengan situasi di Dieng.

Kisah Dieng adalah cerminan dari perjuangan abadi antara keindahan peradaban kuno dan kerapuhan manusia dalam melestarikannya. Meskipun menghadapi tantangan besar, Dieng tetap menjadi pengingat akan keagungan masa lalu dan harapan akan pemahaman yang lebih dalam tentang warisan tak ternilai ini.***

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar