Dinasti Ken Dedes dan Ranggawuni: Raja dan Masa Keemasan Baru

Table of Contents

Ranggawuni naik takhta dengan gelar Wisnuwardhana, memimpin masa keemasan baru untuk Singhasari.

Ilustrasi Raja Sri Wisnuwardhana (Ranggawuni) dari Kerajaan Singhasari. (Generatif ChatGPT)
Ilustrasi Raja Sri Wisnuwardhana (Ranggawuni) dari Kerajaan Singhasari. (Generatif ChatGPT)

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Dalam gemuruh sejarah Jawa Kuno, nama Dinasti Ken Dedes dan Ranggawuni memancarkan cahaya sebagai penanda babak baru kejayaan Kemaharajaan Singhasari. Sumber-sumber primer seperti Kakawin Nagarakrtagama dan Kitab Pararaton menjadi jendela kita untuk menelusuri kisah raja yang merajut kembali stabilitas dan meletakkan fondasi kokoh bagi masa depan yang gemilang. Kisah ini bukan sekadar pergantian kekuasaan, melainkan epik tentang seorang pemimpin yang berhasil membawa ketenangan di tengah riak intrik istana, membuka jalan bagi puncak kejayaan dinastinya.

Naiknya Ranggawuni Menjadi Raja

Genealogi Wangsa Rajasa, yang berawal dari Ken Arok atau Sri Rajasa Sang Amürwabhümi sebagai pendiri Singhasari, ditandai dengan liku-liku perebutan kekuasaan yang penuh drama [210, Par.]. Setelah wafatnya Sri Rajasa pada tahun 1149 Śaka (1227 M) [56, Nag.], putranya, Anusapati, mengambil alih takhta [57, Nag.; 215, Par.]. Namun, nasib berkata lain. Anusapati, ayahanda Ranggawuni, harus menemui ajalnya di tangan saudara tirinya, Tohjaya, pada tahun 1171 Śaka (1249 M) [215, Par.].

Tohjaya kemudian naik menjadi raja, tetapi pemerintahannya diselimuti oleh kecurigaan dan upaya untuk melenyapkan saingan potensial. Ia berencana untuk menyingkirkan Ranggawuni dan Mahisa Campaka, putra dari Mahisa Wong Atëlëng [216, Par.]. Namun, takdir memiliki jalan lain. Seorang brahmana yang mendengar rencana jahat Tohjaya segera memperingatkan Ranggawuni dan Mahisa Campaka [217, Par.]. Informasi dari Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Ranggawuni adalah cucu dari Ken Dedes, melalui jalur ayahnya, Anusapati, yang merupakan putra dari Tunggul Ametung dan Ken Dedes [249, Par.]. Peristiwa ini memicu serangkaian kejadian yang berujung pada kejatuhan Tohjaya, dan pada akhirnya, Ranggawuni lah yang berhasil menganut takhta Singhasari [247, Par.].

Nama Baru: Wisnuwardhana

Ketika Ranggawuni resmi menduduki singgasana Singhasari, ia mengadopsi gelar kerajaan yang agung: Sri Wisnuwardhana [247, Par.]. Nama ini mengukuhkan legitimasinya dan menandai era baru kepemimpinannya. Penggunaan nama Wisnuwardhana juga muncul dalam konteks penting lainnya, seperti tercatat dalam prasasti bertarikh 1211 Śaka (1289 M) yang mengaitkan Raja Wisnuwardhana dengan reunifikasi bagian-bagian kerajaan [157, Nag.].

Pemerintahan Wisnuwardhana diperkirakan berlangsung dari sekitar tahun 1171 Śaka (1249 M) hingga 1190 Śaka (1268 M) [58, 60, Nag.; 215, Par.]. Periode ini menjadi titik balik penting bagi Singhasari setelah masa-masa pergolakan suksesi yang sebelumnya kerap terjadi.

Kejayaan Singhasari di Bawah Kepemimpinan Ranggawuni

Di bawah kemudi Sri Wisnuwardhana, Kemaharajaan Singhasari memasuki masa stabilitas dan kedamaian yang signifikan. Kondisi ini sangat kontras dengan era sebelumnya yang diwarnai oleh intrik dan pertumpahan darah akibat perebutan kekuasaan [58, Nag.].

Kitab Nagarakrtagama secara khusus menyoroti adanya "pemahaman yang baik" antara Wisnuwardhana dan Narasingha, serta keberhasilan dalam "penghancuran Linggapati" [249, Par.]. Catatan ini mengindikasikan upaya konsolidasi internal yang efektif, menegaskan otoritas pusat dan menyingkirkan potensi ancaman. Reunifikasi wilayah-wilayah yang tercerai-berai, sebagaimana disebutkan dalam sebuah prasasti yang merujuk pada Raja Wisnuwardhana [157, Nag.], menjadi bukti nyata keberhasilannya dalam memulihkan keutuhan kerajaan.

Ranggawuni atau Wisnuwardhana tidak hanya mengamankan posisinya, tetapi juga meletakkan fondasi yang kuat bagi generasi penerus. Putranya, Kertanagara, dianugerahi gelar kerajaan pada tahun 1176 Śaka (1254 M) saat Wisnuwardhana masih hidup [249, Par.]. Ini menunjukkan perencanaan suksesi yang matang dan pengalihan kekuasaan yang teratur, sebuah ciri khas masa kejayaan. Kertanagara kemudian menjadi penguasa yang sangat penting, dikenal juga dengan gelar Bhatara Ciwabuddha [249, 252, Par.], melanjutkan warisan stabilitas dan kemakmuran.

Kontinuitas silsilah dari Ken Dedes, melalui Ranggawuni (Wisnuwardhana), dan terus hingga Raden Wijaya, pendiri Majapahit [249, Par.], adalah penanda kuat dari "masa keemasan baru" ini. Keberlanjutan dinasti yang stabil ini merupakan indikator utama dari sebuah era yang makmur, meskipun detail-detail spesifik tentang kemakmuran selama masa pemerintahannya tidak selalu dijelaskan secara rinci dalam sumber-sumber yang ada.

Wafatnya Wisnuwardhana pada tahun 1190 Śaka (1268 M) dicatat dengan penghormatan mendalam. Jenazahnya dimakamkan di dua candi, satu di Waleri sebagai perwujudan Qiwa dan satu lagi di Jajaghu sebagai perwujudan Sugata (Buddha) [60, Nag.]. Ini mencerminkan praktik sinkretisme keagamaan yang menjadi ciri khas Jawa pada masa itu. Kisah Ranggawuni sebagai Wisnuwardhana, raja dari Singhasari, adalah narasi tentang kepemimpinan yang berhasil, bukan hanya dalam menaklukkan musuh, tetapi juga dalam membangun fondasi dinasti yang abadi.***

Tonton Video Podcast Jawa: Ranggawuni Sri Wisnuwardhana Jembatan Saka Kisruh Marang Keemasan Singhasari Majapahit | ꦥꦺꦴꦢ꧀ꦏꦺꦱ꧀ꦗꦮ

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar