Misteri Topeng Jawa: Transformasi Seni Rakyat Hingga Keraton

Table of Contents

Jelajahi seni Topeng Jawa dari tradisi rakyat hingga panggung keraton. Pahami makna, karakter, dan penyebarannya di Jawa.

Ilustrasi penari topeng tradisional Jawa (Generatif ChatGPT)
Ilustrasi penari topeng tradisional Jawa (Generatif ChatGPT)

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Seni Topeng Jawa adalah salah satu warisan budaya yang kaya, menawarkan gambaran mendalam tentang sejarah, kepercayaan, dan perkembangan masyarakat Jawa. 

Artikel ini akan membawa Anda menelusuri perjalanan topeng dari panggung rakyat hingga keraton, memahami sistem klasifikasi karakternya, serta menyoroti peran sentral Sunan Kalijaga dalam evolusinya. Informasi ini disarikan dari catatan Dr. Th. Pigeaud dalam karyanya "Javaanse Volksvertoningen" yang terbit pada tahun 1938.

Topeng sebagai Seni Rakyat dan Pengaruh Pesisir

Seni dan kebudayaan Jawa yang kita kenal saat ini adalah hasil dari perkembangan berabad-abad, yang telah terpapar berbagai pengaruh. Meskipun sulit untuk menarik garis tegas antara seni luhur (hofkunst) dan seni rakyat (volkskunst), ada perbedaan yang signifikan dalam perkembangan dan penerimaannya. Pertunjukan rakyat, seperti mommerijen (pertunjukan mumi), pada masa lalu umumnya tidak banyak menarik perhatian kaum priyayi atau sastrawan Jawa untuk didokumentasikan. Sebaliknya, seni luhur cenderung lebih universal dan didukung oleh kalangan yang lebih terdidik.

Perkembangan seni topeng di berbagai wilayah Jawa menunjukkan adaptasi yang menarik:

• Pengaruh Pesisir (Pasisir-beschaving) memainkan peran penting dalam kebudayaan Jawa bagian Selatan-Tengah sejak abad ke-18.

• Menurut tradisi Jawa, Sunan Kalijaga meniru boneka wayang gedog saat menciptakan topeng. Wayang gedog menampilkan cerita-cerita Panji, dan Giri—tempat asal wayang gedog pertama—merupakan wilayah pesisir.

• Pemain topeng pertama dari Palar (Klaten), Widigoeni dan Widijani, konon berasal dari daerah pesisir, menunjukkan adanya pengaruh peradaban pesisir yang menyebar ke pedalaman pada masa transisi agama.

• Awalnya, topeng di Mataram mungkin hanya dicat atau disepuh, dengan guratan merah atau hitam untuk fitur wajah. Seni ukir topeng kemudian berkembang di bawah pengaruh pengukir topeng dari daerah pesisir seperti Jepara dan Kudus, yang juga dikenal mahir dalam pembuatan wayang golek.

• Di Jawa Barat (West-Java), seni topeng juga berkembang dengan pengaruh kuat dari Cirebon, terutama topeng dalang (wayang wong bermasker). Bahkan, pertunjukan topeng jalanan seperti topeng babakan di Batavia juga populer.

Seni topeng tersebar luas di seluruh Jawa, dari Jawa Tengah Selatan (Surakarta, Yogyakarta) hingga Jawa Barat (Cirebon, Banten, Sunda), dan Jawa Timur (Malang, Kediri, Banyuwangi), serta Madura.

Klasifikasi Karakter Topeng dan Nilai Simbolisnya

Dalam seni topeng dan wayang Jawa, bentuk mata (vorm van de ogen) atau celah mata (oogspleten) adalah cara terpenting untuk membedakan karakter. Mr. Serrurier mengidentifikasi dua tipe profil boneka wayang: tipe bangsawan (edele type) dan tipe raksasa (geweldenaarstype), yang juga berlaku untuk topeng.

• Tipe bangsawan memiliki hidung panjang dan halus, dahi sejajar, serta mata berbentuk celah almond.

• Tipe raksasa memiliki wajah yang bervariasi, seperti mata bulat, hidung tebal, atau taring panjang.

Karakteristik lain yang penting adalah "wenda" (penampilan dan perilaku) serta warna topeng.

Pemikiran Jawa kuno sering menggunakan sistem klasifikasi empat atau lima kelompok. Ini diterapkan pada karakter topeng untuk melambangkan empat kualitas jiwa manusia:

• I. Mutmainah (Radèn Panji/Damarwoelan): Melambangkan kehalusan, kebaikan, dan ketenangan. Dikaitkan dengan permulaan, masa muda, kemakmuran, dan warna putih.

• II. Amarah (Prabu Klana/Rahwana): Melambangkan nafsu dan gairah. Dikaitkan dengan keserakahan, kekayaan, perjalanan, dan perdagangan.

• III. Supiyah (Samba/Goenoengsari): Melambangkan kepuasan. Dikaitkan dengan aspek feminin dan sering digambarkan dengan tarian semi-feminin.

• IV. Luwamah (Patih/Andaga): Melambangkan kehendak. Dikaitkan dengan usia tua.

• V. Panakawan: Mewakili pusat atau mediator. Tokoh-tokoh seperti Semar, Nalagareng, Petruk, dan Bagong (dalam wayang purwa) atau Bantjak dan Dojok (dalam wayang gedog) berperan sebagai pemandu dan pelindung pahlawan, seringkali menyelipkan humor (banjolan) dalam pertunjukan.

Bagi penonton Jawa, esensi karakter yang diekspresikan melalui penampilan, gerakan, tari, dan musik jauh lebih penting daripada alur cerita, yang biasanya sudah diketahui. Rasa kebersamaan (gemeenschapsgevoel) antara penonton dan pertunjukan juga menjadi elemen kunci.

Peran Sunan Kalijaga dalam Perkembangan Topeng

Dalam tradisi Jawa, Walisongo (sembilan wali) yang membawa Islam ke Jawa, secara signifikan berkontribusi pada pengembangan seni pertunjukan, terutama wayang. Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh yang paling menonjol dalam narasi ini.

• Sunan Kalijaga sebagai Pencipta Topeng: Tradisi Jawa secara eksplisit menyebut Sunan Kalijaga sebagai pencipta topeng. Ia diyakini menggunakan topeng sebagai sarana dakwah (Èlmoe Kawalijan), menyebarkan ajaran Islam melalui simbolisme karakter topeng.

• Pengembangan Wayang dan Topeng: Diceritakan bahwa Sunan Kalijaga membuat topeng dengan meniru boneka wayang gedog. Ia juga dikaitkan dengan penciptaan wayang bèbèr, yang kemudian berkembang menjadi wayang purwa (untuk cerita sebelum Prabu Jayabaya) dan wayang gedog (untuk cerita setelahnya). Sebelum wayang gedog populer, cerita-cerita tersebut ditampilkan oleh pemain topeng.

• Pelindung Dalang: Sunan Kalijaga juga dihormati sebagai pelindung atau patron (patroon) para dalang. Para dalang dari Palar, misalnya, mengaitkan asal mula seni mereka dengannya.

• Simbolisme dalam Topeng: Keempat topeng utama yang ia ciptakan – Panji, Samba, Patih, dan Rahwana – masing-masing melambangkan sifat-sifat manusia yang diselaraskan dengan konsep mistis Islam tentang jiwa (Mutmainah, Amarah, Supiyah, Luwamah).

• Makna Historis dan Mitis: Penulis sumber menekankan bahwa atribusi ini tidak sekadar fakta sejarah, melainkan refleksi dari semangat yang melahirkan tradisi tersebut, menggambarkan Sunan Kalijaga sebagai pemimpin dan pengantar Zaman Baru (Islam). Ia adalah sosok mitis yang mungkin menggabungkan sifat-sifat tokoh mitis yang lebih tua, dan perannya menunjukkan pengaruh budaya pesisir yang kuat terhadap pedalaman Jawa.***

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar