Seni Pertunjukan Jawa: Kisah Abadi di Balik Topeng, Kuda Lumping, dan Zikir Suci
Selami kekayaan seni pertunjukan Jawa, dari topeng kuno hingga kuda lumping artistik, yang dibingkai riset mendalam Dr. Th. Pigeaud. Temukan perpaduan mistik, sejarah, dan hiburan dalam budaya abadi.
![]() |
Ilustrasi penari topeng tradisional Jawa. (generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Dalam gemuruh gamelan dan bisikan doa, seni pertunjukan Jawa selalu menjadi cermin jiwa masyarakatnya. Ia adalah perpaduan kompleks antara mitologi kuno, keyakinan religius, dan ekspresi artistik yang telah menempa identitas budaya selama berabad-abad.
Dr. Th. Pigeaud, melalui karyanya "Javaanse Volksvertoningen" yang diterbitkan pada tahun 1938, berhasil mengabadikan mozaik kaya ini, menawarkan pandangan mendalam tentang bagaimana pertunjukan rakyat ini hidup, bernapas, dan berevolusi di tengah perubahan zaman di Pulau Jawa (Pigeaud, 1938, p. 1).
Jejak Abadi: Dari Ritual Kuno hingga Panggung Modern
Seni pertunjukan Jawa bukanlah fenomena statis, melainkan sebuah perjalanan panjang yang melintasi berbagai abad dan terpapar aneka pengaruh. Pigeaud secara khusus menyoroti bagaimana perkembangan peradaban Jawa secara umum, termasuk pengamalan Islam serta gagasan keagamaan dan mitis yang lebih tua, saling terkait erat dengan pertunjukan-pertunjukan ini (Pigeaud, 1938, p. 2). Ini menunjukkan bahwa seni bukan sekadar hiburan, melainkan wadah bagi pandangan dunia dan tatanan masyarakat yang kuno (Pigeaud, 1938, p. 2).
Salah satu bentuk seni tertua yang dibahas adalah topèng atau tarian topeng, yang diyakini telah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Tradisi lisan Jawa bahkan menyebut Sunan Kalijaga sebagai "penemu" topeng dan seni pertunjukan topeng (Pigeaud, 1938, p. 464).
Namun, Pigeaud menjelaskan bahwa klaim ini harus dipahami dalam konteks pandangan dunia Jawa, di mana Walisongo, termasuk Sunan Kalijaga, dianggap sebagai pembawa dan guru Islam, sekaligus pemimpin yang memperkenalkan Era Baru (Pigeaud, 1938, p. 465). Dengan demikian, tarian topeng kemungkinan besar sudah ada, tetapi diinterpretasikan ulang atau diberikan makna baru pada masa awal Islam.
Pengaruh peradaban Pasisir (pesisir) juga sangat penting dalam pembentukan seni pertunjukan di pedalaman Jawa. Misalnya, dikatakan bahwa Sunan Kalijaga meniru boneka wayang-gëdog dalam membuat topeng (Pigeaud, 1938, p. 85).
Wayang-gëdog, yang umumnya menampilkan kisah-kisah Pandji, konon pertama kali dibuat oleh Sunan Ratu Tunggul dari Giri dan dimainkan pertama kali oleh dalang Widijaka (Pigeaud, 1938, p. 85). Dalam pertunjukan ini, dan seni Jawa pada umumnya, cerita seringkali menjadi pelengkap, sementara "esensi karakter" para tokoh yang diwujudkan melalui penampilan, gerakan, tarian, dan musik menjadi fokus utama (Pigeaud, 1938, p. 30, 87).
Penonton Jawa, yang sudah akrab dengan karakter dan alur cerita, lebih menghargai representasi mendalam dari esensi tersebut, menandakan adanya "rasa kebersamaan" antara penonton dan pertunjukan (Pigeaud, 1938, p. 88).
Di Balik Topeng dan Kuda Lumping: Kisah Para Pelakon dan Patronase
Para pelaku seni pertunjukan di Jawa juga memiliki tempat dan kisah mereka sendiri dalam struktur masyarakat. Sebutan "dalang" merujuk pada pementas wayang kulit maupun topeng. Ada pula "bagor", kelompok seniman keliling yang seringkali berbusana mencolok (Pigeaud, 1938, p. 34). Pakaian mereka, yang terbuat dari kain kasar seperti gëbang atau kadoet, bahkan pernah digunakan untuk pakaian sehari-hari dan dikenakan oleh penari dalam prosesi pernikahan di Surakarta. Kelompok ini menjadi bagian dari seni pertunjukan rakyat yang populer, seperti loodroeg (Pigeaud, 1938, p. 91).
Dalam sistem patronase, para seniman ini seringkali berada di bawah perlindungan bangsawan atau penguasa. Misalnya, di Jogja, ada sistem "mangilala dërwja hadji" di mana dalang dan pekerja seni lainnya terkait dengan keraton dan menerima "apanage" (tanah atau tunjangan) (Pigeaud, 1938, p. 93). Mereka juga tunduk pada pengenaan "padjoewéjan" atau "uang keramaian" saat mengadakan pertunjukan keliling (Pigeaud, 1938, p. 96).
Tokoh-tokoh Punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong merupakan karakter penting dalam wayang dan tarian topeng. Mereka bertindak sebagai pembantu dan penghibur, seringkali dengan lelucon dan lawakan mereka, yang dalam konteks modern menjadi satu-satunya hal yang tersisa dari peran asli mereka sebagai pelindung (Pigeaud, 1938, p. 422). Ada perbedaan regional dalam karakter Panakawan ini; padalangan timur (Kanoman) tidak mengenal Petruk, sedangkan pedalangan barat (Kasëpoehan) tidak mengenal Bagong (Pigeaud, 1938, p. 97).
Fenomena travesti (cross-dressing) juga lazim dalam beberapa pertunjukan, seperti yang terlihat pada penari ludrug dan gëmblak. Di Ponorogo, para "warok" menyewa "djati" atau "gëmblak" (anak laki-laki penari) selama setahun, dengan imbalan makanan dan upah (Pigeaud, 1938, p. 302, 360). Penampilan "gëmblak" ini, yang seringkali menyerupai wanita, merupakan bagian penting dari pertunjukan di Pasuruan dan Prabalingga (Pigeaud, 1938, p. 388-389).
Ragam Wajah Jawa: Dari Barongan Megah hingga Slawatan Sakral
Seni pertunjukan Jawa menawarkan spektrum yang luas, dari pertunjukan raksasa yang gegap gempita hingga zikir suci yang khusyuk. Salah satu yang paling menarik adalah "mommerijen" atau pertunjukan topeng raksasa dan pawai bertopeng (Pigeaud, 1938, p. 164). Di antara berbagai jenis mommen (topeng), terdapat "singabarong" (topeng harimau) yang seringkali diisi oleh dua orang, dan "gëndroewo" (raksasa) yang juga bisa tampil berpasangan, laki-laki dan perempuan (Pigeaud, 1938, p. 193, 208, 505).
Pertunjukan barongan ini, yang seringkali menjadi bagian dari arak-arakan dan festival, menggambarkan konflik antara monster dan penakluknya, di mana monster pada akhirnya menjadi pengikut setia atau bahkan kendaraan sang pahlawan (Pigeaud, 1938, p. 506).
Tarian kuda kepang, atau jaran-képang (juga dikenal sebagai èblèg atau jatilan), adalah pertunjukan populer lainnya yang seringkali menampilkan elemen kesurupan. Para penari kuda kepang, yang menggunakan kuda-kudaan dari anyaman, seringkali kerasukan roh, dan para dalang atau dukun (disebut juga panimboel atau mèdojang) berperan penting dalam membantu para penari yang "mabuk" atau kesurupan ini (Pigeaud, 1938, p. 209). Pertunjukan ini seringkali dikaitkan dengan acara-acara penting seperti pernikahan atau khitanan, dan bahkan kadang-kadang digunakan untuk mengusir wabah (Pigeaud, 1938, p. 259, 528).
![]() |
Ilustrasi pertunjukan Slawatan, salah satu tradisi Islam Jawa. (Generatif ChatGPT) |
Di sisi lain, ada pertunjukan "selawatan" yang berakar pada praktik keagamaan Islam. Awalnya adalah pembacaan dan nyanyian teks-teks Arab tentang riwayat Nabi Muhammad, yang kemudian berkembang menjadi beberapa jenis, termasuk selawatan mulud (atau maulud), srokal, selawatan rodad, dan selawatan émprak (Pigeaud, 1938, p. 315-316).
Selawatan rodad, misalnya, melibatkan gerakan tubuh dan tarian yang menirukan peri yang mengayun Nabi setelah lahir, memadukan aspek spiritual dengan hiburan (Pigeaud, 1938, p. 324-326). Selawatan émprak bahkan menunjukkan kedekatan dengan pertunjukan duniawi dan kadang-kadang menampilkan elemen akrobatik atau "fakier-toeren" (Pigeaud, 1938, p. 329-330, 355).
Perpaduan tradisi ini juga terlihat dalam seni pertunjukan rakyat lainnya seperti ludrug dan lèrok di Jawa Timur, yang dikenal sebagai teater komedi populer.
Di Sidarja, pertunjukan lèrok menampilkan pria yang berpakaian wanita menari sebelum drama komedi dimulai (Pigeaud, 1938, p. 385). Adapula "sintrèn", yang dulunya merupakan pertunjukan dan permainan anak-anak, seringkali melibatkan trik sulap dan kesurupan (Pigeaud, 1938, p. 320, 386).
Karya Dr. Pigeaud dengan jelas menunjukkan bahwa seni pertunjukan Jawa adalah warisan hidup yang terus beradaptasi, menyerap berbagai pengaruh, dan merefleksikan kompleksitas budaya Jawa yang unik. Dari ritual purba hingga pementasan kontemporer, setiap gerakan, setiap melodi, dan setiap topeng menyimpan cerita tentang perjalanan panjang sebuah peradaban.***
Posting Komentar