Terungkapnya Misteri Pembunuhan: Anak Tunggul Ametung Membalas Dendam
Anusapati, putra Tunggul Ametung, mengetahui fakta pembunuhan ayahnya dan membunuh Ken Arok untuk membalaskan dendamnya.
![]() |
Ken Dedes tampak menyesal, sedih, dan penuh rasa bersalah saat ia mengungkapkan fakta Tunggul Ametung adalah ayah kandung Anusapati dan dibunuh oleh Ken Arok. (Generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Sejarah Jawa kuno, yang terukir dalam naskah-naskah kuno seperti Pararaton dan Nagarakrtagama, tak jarang menyajikan drama intrik, perebutan kekuasaan, dan dendam berdarah yang mengguncang takhta. Salah satu kisah paling mencekam melibatkan sosok Ken Arok, pendiri Wangsa Rajasa, dan nasib tragisnya di tangan putranya sendiri, Anusapati. Kisah ini bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan sebuah epik tentang takdir, pengkhianatan, dan pembalasan yang membentuk lanskap politik Tumapel, cikal bakal Majapahit.
Kisah Anak Tunggal Ametung yang Beranjak Dewasa: Anusapati
Anusapati lahir dari rahim Ken Dedes, istri Tunggul Ametung, akuwu (kepala daerah) Tumapel. Saat Ken Arok berhasil menyingkirkan Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes, sang istri telah mengandung beberapa bulan. Maka, meskipun Ken Arok kemudian menjadi ayahnya, Anusapati secara biologis adalah putra sah Tunggul Ametung. Ia tumbuh di bawah bayang-bayang Ken Arok, yang oleh Pararaton disebut sebagai ayah tirinya.
Kelahiran Anusapati dicatat dalam Pararaton sebagai anak laki-laki yang dinamai Sang Anusapati, putra Tunggul Ametung, setelah Ken Dedes melahirkan pada waktunya. Ken Arok sendiri kemudian memiliki empat anak lain dengan Ken Dedes, yaitu Mahisa Wong Atëlëng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Selain itu, Ken Arok juga memiliki anak dari istri anomnya, Ken Umang, termasuk Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Twan Wërgola, dan Dewi Rambi, sehingga total anaknya ada sembilan.
Menariknya, Nagarakrtagama cenderung menyederhanakan hubungan ini, hanya menyebut Anusapati sebagai "putra" dari pendahulu di takhta. Sikap ini kemungkinan disengaja oleh Prapanca, sang pujangga istana, untuk menghindari "sejarah yang kurang mendidik" tentang pendiri dinasti tersebut, seperti cerita pembunuhan dan intrik keluarga. Dalam konteks sejarah, Ken Arok diangkat menjadi Raja Tumapel (atau kerajaan Singasari) dengan gelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amürwabhümi, dan dihormati oleh para bhujangga Ciwa dan Buddha.
Kenangan Masa Lalu dan Hasrat Balas Dendam
Seiring waktu, ketika Anusapati beranjak dewasa, ia mulai merasakan kejanggalan dalam hidupnya. Ia menanyakan kepada "pamongmong" (pengasuhnya) mengenai ayahnya dan mengapa Ken Arok memandangnya berbeda dari saudara-saudaranya yang lain. Kecurigaan ini terus menghantuinya, mendorongnya mencari kebenaran yang terkubur.
Akhirnya, Ken Dedes, ibunya, tak mampu lagi menyimpan rahasia kelam itu. Dengan berat hati, ia mengungkapkan kepada Anusapati bahwa Tunggul Ametung adalah ayah kandungnya, dan bahwa ia telah dibunuh oleh Ken Arok. Ken Dedes sendiri sudah hamil tiga bulan ketika Ken Arok menikahinya. Pengungkapan ini, yang diwarnai "kalaputan" atau rasa bersalah Ken Dedes karena memberitakan kebenaran kepada putranya, memicu badai emosi dalam diri Anusapati.
Hasrat untuk membalas dendam pun mulai membara. Anusapati kemudian bertanya tentang keris peninggalan ayahnya yang dibuat oleh Mpu Gandring. Keris itu, yang memiliki sejarah tragis, adalah senjata yang sama yang digunakan Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung dan kemudian menjebak Kebo Hijo. Mpu Gandring sendiri, sebelum meninggal, telah mengucapkan kutukan mengerikan: bahwa keris itu akan menewaskan Ken Arok, anak-anak, dan cucu-cucunya, dan bahwa tujuh raja akan tewas oleh keris itu. Ken Dedes, tanpa ragu, memberikan keris tersebut kepada putranya. Dengan keris pembunuh ayahnya di tangan, takdir Anusapati untuk membalaskan dendamnya pun tak terhindarkan.
Terbunuhnya Ken Arok di Tangan Anusapati
Dendam yang telah lama terpendam akhirnya menemukan jalannya. Anusapati, putra Tunggul Ametung yang kini memegang keris Mpu Gandring, merencanakan pembunuhan terhadap Ken Arok. Ia memanggil seorang pengikutnya dari Batil dan memerintahkannya untuk membunuh Sang Amürwabhümi (Ken Arok) dengan keris tersebut.
Pengikut dari Batil itu melaksanakan perintah Anusapati. Ken Arok pun tewas ditusuk dengan keris Mpu Gandring, mengakhiri hidupnya di tangan pembunuh bayaran yang diutus oleh putra tiri yang menyimpan dendam.
Mengenai tahun kematian Ken Arok, kedua sumber utama kita, Pararaton dan Nagarakrtagama, memiliki catatan yang berbeda. Menurut Pararaton, Ken Arok wafat pada tahun Caka 1169. Di sisi lain, Nagarakrtagama Zang 40, bait 4, mencatat bahwa kematiannya terjadi pada tahun Caka 1149, yang diindikasikan dengan "negen, ocean, Rudra (1149)". Meskipun ada perbedaan angka, kedua teks ini sepakat bahwa peristiwa ini menandai akhir dari pemerintahan Ken Arok.
Jasad Ken Arok kemudian dimakamkan dengan upacara yang layak. Nagarakrtagama menyebutkan bahwa ia dikebumikan di Kagënëngan dalam dua candi, merepresentasikan statusnya sebagai mantan pengikut aliran Ciwa dan Buddha. Pararaton juga mengkonfirmasi lokasi pemakaman di Kagënëngan.
Setelah Ken Arok tiada, Anusapati naik takhta sebagai raja Tumapel. Nagarakrtagama menyatakan bahwa Anusapati memerintah sejak tahun Caka 1149 hingga 1170, dengan masa pemerintahan yang damai tanpa catatan peristiwa penting. Namun, Pararaton mencatat Anusapati mulai memerintah pada tahun Caka 1170 dan meninggal pada tahun Caka 1171. Perbedaan detail ini menunjukkan kompleksitas penafsiran sejarah Jawa kuno yang mengandalkan beragam sumber.
Kisah pembunuhan Ken Arok oleh Anusapati adalah salah satu bab paling dramatis dalam sejarah Jawa kuno, sebuah cerminan dari roda pembalasan dendam yang tak pernah berhenti berputar dalam perebutan kekuasaan.***
Posting Komentar