Akhir Takhta Ranggawuni dan Munculnya Kertanagara: Babak Baru Kerajaan Singhasari
Ranggawuni, yang bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana, mengakhiri masa kekuasaannya yang relatif damai dengan mempersiapkan putranya, Kertanagara, sebagai penerus. Namun, penyerahan takhta ini menjadi awal dari periode ekspansi besar-besaran sekaligus bibit keruntuhan salah satu kerajaan terbesar di Jawa.
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Roda zaman terus berputar di tanah Jawa pada abad ke-13 Masehi. Setelah periode penuh intrik berdarah yang menumbangkan para pendahulunya, takhta Tumapel—yang kelak dikenal sebagai Singhasari—berada di tangan Ranggawuni. Bertahta dengan nama Sri Jaya Wisnuwardhana, ia memimpin bersama sepupunya yang setia, Mahisa Campaka, yang bergelar Bhatara Narasingha. Duet kepemimpinan ini berhasil menciptakan stabilitas yang telah lama hilang di kerajaan.
Namun, setiap masa keemasan memiliki akhirnya. Kitab Pararaton dan kakawin Nagarakrtagama, dua sumber primer utama dari periode ini, mencatat momen krusial ketika Ranggawuni, atau Wisnuwardhana, mulai mempersiapkan transisi kekuasaan kepada putra mahkotanya, Kertanagara. Ini bukan sekadar pergantian raja, melainkan awal dari sebuah era baru yang akan membawa Singhasari ke puncak kejayaan sekaligus jurang kehancurannya.
Ranggawuni Menyerahkan Takhta kepada Kertanagara
Menurut Mpu Prapanca dalam Nagarakrtagama, proses penyerahan kekuasaan kepada Kertanagara dimulai jauh sebelum Wisnuwardhana mangkat. Pada tahun Saka 1176 (1254 M), Wisnuwardhana secara resmi "mewisuda putranya untuk memerintah" (ngabhiseka sang suta siwi). Seluruh rakyat dari dua wilayah utama kerajaan, Janggala dan Kadiri, datang ke ibu kota untuk memberikan penghormatan.
Pada saat inilah, sang pangeran mendapatkan nama abhiseka atau nama penobatannya: Kertanagara. Sejak saat itu pula, ibu kota yang sebelumnya bernama Kutaraja, tempat kakek buyutnya, Ranggah Rajasa (Ken Angrok), memulai kekuasaan, secara resmi diubah namanya menjadi Singhasarinagara.
Penobatan ini tampaknya bukan sekadar pengangkatan sebagai putra mahkota (yuwaraja), melainkan sebuah penyerahan wewenang yang signifikan. Meskipun Wisnuwardhana secara resmi masih bertahta, Kertanagara telah aktif menjalankan roda pemerintahan. Bukti kuat dari peranannya ini dapat ditemukan dalam sebuah prasasti bertarikh 1188 Saka (1266 M), di mana Kertanagara tampil sebagai tokoh utama yang mengeluarkan perintah, sementara ayahnya hanya disebutkan secara seremonial.
Kitab Pararaton sendiri tidak mencatat detail upacara ini, namun menyebutkan bahwa setelah Wisnuwardhana wafat pada 1194 Saka (1272 M), putranya, Sri Kertanagara, menggantikannya di atas takhta. Nagarakrtagama memberikan tanggal wafat yang sedikit lebih awal, yaitu 1190 Saka (1268 M). Terlepas dari perbedaan kecil ini, kedua sumber sepakat bahwa peralihan kekuasaan dari ayah ke anak berjalan mulus, sebuah anomali di tengah sejarah Singhasari yang penuh kudeta.
Peran Kertanagara di Masa Akhir Kekuasaan Ranggawuni
Sebelum menjadi raja tunggal, Kertanagara telah menunjukkan karakter yang kuat dan ambisius. Nagarakrtagama melukiskan masa-masa akhir pemerintahan ayahnya sebagai periode di mana Kertanagara sudah mulai menancapkan pengaruhnya. Ia digambarkan sebagai sosok yang mulai "menghilangkan para penjahat" (anghilangaken katungka kujana).
Pada 1192 Saka (1270 M), ia menumpas seorang durjana bernama Cayaraja (dalam Pararaton disebut Bhaya). Lima tahun kemudian, pada 1197 Saka (1275 M), Kertanagara memerintahkan ekspedisi militer besar-besaran ke "tanah Malayu" (Sumatra), yang dikenal sebagai Ekspedisi Pamalayu. Tindakan ini menunjukkan visi politik luar negerinya yang ekspansif, sebuah kebijakan yang sangat berbeda dari ayahnya yang lebih fokus pada stabilitas internal.
Bahkan, Prapanca menggambarkan bahwa penaklukan wilayah-wilayah seberang lautan seperti Pahang, Gurun (kepulauan di Indonesia Timur), dan Bakulapura (Borneo) telah terjadi di bawah pengaruh Kertanagara, bahkan sebelum ia menjadi raja sepenuhnya. Wilayah Sunda dan Madura pun disebut telah tunduk tanpa perlawanan. Ambisi besar Kertanagara ini menjadi ciri khas pemerintahannya kelak.
Kertanagara Menjadi Raja dan Masa Depan Singhasari
Setelah wafatnya Wisnuwardhana, Kertanagara naik takhta sebagai raja terakhir Singhasari. Ia tidak hanya mewarisi sebuah kerajaan yang stabil, tetapi juga membawa agenda politiknya sendiri yang akan mengubah peta kekuasaan di Nusantara. Wisnuwardhana, setelah wafat, diabadikan dalam dua bentuk arca di candi yang berbeda: sebagai arca Siwa di Waleri dan sebagai arca Buddha (Sugata) di Jajaghu (Candi Jago). Hal ini menunjukkan adanya sinkretisme Siwa-Buddha yang kelak menjadi ciri kuat pada masa Kertanagara.
Kertanagara sendiri digambarkan dalam Nagarakrtagama sebagai raja yang sangat mendalami ajaran Tantrayana dari sekte Buddha Mahayana, bahkan melakukan upacara inisiasi khusus hingga bergelar Sri Jnanabajreswara.
Pemerintahannya ditandai dengan penaklukan wilayah yang lebih luas, termasuk Bali pada 1206 Saka (1284 M). Namun, ambisinya yang besar dan fokus pada ekspedisi ke luar Jawa membuatnya lalai terhadap ancaman dari dalam. Kebijakannya mengirimkan sebagian besar kekuatan militer ke Sumatra dalam Ekspedisi Pamalayu terbukti menjadi kesalahan fatal. Di saat kekuatan Singhasari melemah di pusat, Jayakatwang, penguasa bawahan dari Kadiri, melihat peluang untuk memberontak.
Pada akhirnya, Kertanagara, raja yang cakap, visioner, namun juga dianggap lalai oleh penulis Pararaton, tewas dalam serangan mendadak Jayakatwang ke ibu kota pada 1214 Saka (1292 M). Kematiannya sekaligus menjadi akhir dari Kerajaan Singhasari. Namun, dari puing-puing keruntuhan inilah, menantunya, Raden Wijaya, kelak akan membangun sebuah imperium baru yang jauh lebih besar: Majapahit. Peralihan takhta dari Ranggawuni kepada Kertanagara, yang semula tampak damai, ternyata membuka kotak Pandora yang menentukan nasib Nusantara di abad-abad berikutnya.***