Kebijakan Politik Ranggawuni: Stabilitas dan Persatuan di Tengah Dinasti Tumapel yang Bergejolak
Ranggawuni, yang kemudian bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana, menerapkan berbagai kebijakan politik dan pembangunan strategis untuk menciptakan stabilitas dan persatuan di seluruh wilayah Kerajaan Singhasari yang sebelumnya sarat akan konflik internal.
![]() |
Dua raja Jawa kuno dari abad ke-13, Ranggawuni (Wisnuwardhana) dan Mahisa Campaka (Narasingha), berdiri berdampingan di balairung istana Kerajaan Singhasari yang megah. (Generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Sejarah Dinasti Tumapel-Singhasari sering kali digambarkan sebagai panggung pertumpahan darah yang tak berkesudahan. Kakawin Nagarakrtagama dan kitab Pararaton mencatat bagaimana takhta kekuasaan berulang kali berpindah tangan melalui pembunuhan dan kudeta. Dari Ken Arok yang mendirikan dinasti dengan menyingkirkan Tunggul Ametung, hingga Anusapati yang membalaskan dendam ayahnya, siklus kekerasan seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kerajaan ini.
Namun, di tengah-tengah riak konflik tersebut, muncul seorang pemimpin yang berhasil membawa era stabilitas dan persatuan: Ranggawuni. Dikenal dengan gelar abhiseka Sri Jaya Wisnuwardhana, pemerintahannya yang berlangsung dari tahun 1248 hingga 1268 M (atau 1172 hingga 1190 Saka menurut Nagarakrtagama) menjadi periode penting yang meletakkan fondasi bagi ekspansi besar yang kelak dilakukan oleh putranya, Kertanagara.
Struktur Pemerintahan yang Lebih Terorganisir
Setelah naik takhta pasca-tergulingnya Tohjaya dalam sebuah pemberontakan, Ranggawuni segera mengambil langkah politik yang cerdas untuk mengakhiri perseteruan internal. Ia tidak memerintah seorang diri. Seperti yang dicatat dalam kitab Pararaton, ia berbagi kekuasaan dengan sepupunya, Mahisa Campaka, yang kemudian bergelar Bhatara Narasingha.
Prapanca dalam Nagarakrtagama menggambarkan hubungan mereka dengan indah, menyatakan bahwa mereka memerintah bersama "bagaikan Madhawa (Wisnu) dengan saudaranya" untuk menjaga keamanan negara. Kebijakan ini dikenal sebagai dwitunggal atau pemerintahan bersama. Ranggawuni menjadi raja, sementara Narasingha diangkat sebagai ratu angabhaya, sebuah posisi yang kemungkinan besar setara dengan wakil raja atau rekan penguasa. Struktur ini terbukti sangat efektif dalam meredam potensi konflik antara dua cabang keturunan Ken Arok.
Menurut Kern, H. (1919) dalam analisisnya terhadap Nagarakrtagama, "Kebijakan ini berhasil menyatukan dua faksi utama yang sebelumnya saling berebut pengaruh, yakni keturunan Tunggul Ametung (melalui Anusapati dan Ranggawuni) dan keturunan Ken Arok dari Ken Dedes (melalui Mahisa Wongateleng dan Mahisa Campaka)". Pemerintahan ganda ini menciptakan keseimbangan politik yang krusial bagi stabilitas kerajaan.
Pembangunan Infrastruktur yang Megah
Era pemerintahan Ranggawuni juga ditandai oleh pembangunan infrastruktur yang signifikan, menunjukkan kemampuan negara untuk memobilisasi sumber daya dalam skala besar. Pararaton mencatat bahwa pada tahun 1193 Saka (1271 M), "Bhatara Wisnuwardhana membangun sebuah benteng (kuta) di Canggu Lor". Pembangunan benteng ini mengindikasikan adanya perhatian serius terhadap pertahanan dan penguatan pusat-pusat strategis kerajaan.
Namun, karya monumental yang paling dikenal dari masanya adalah candi-candi yang dibangun sebagai tempat pendharmaan bagi dirinya dan keluarganya. Nagarakrtagama mencatat bahwa setelah wafat, Wisnuwardhana didharmakan di dua tempat dengan manifestasi berbeda: sebagai arca Siwa di Waleri dan sebagai arca Buddha (Sugata) di Jajaghu.
Menurut Krom, N. J. (1919), "Jajaghu tidak diragukan lagi adalah Candi Jago yang sekarang, juga dikenal sebagai Candi Tumpang". Pembangunan dua candi dengan corak agama yang berbeda (Siwa dan Buddha) untuk satu raja menunjukkan adanya sinkretisme keagamaan yang kuat di lingkungan istana, sebuah kebijakan yang terus dilanjutkan dan diperkuat oleh putranya, Kertanagara.
Hubungan dengan Kekuasaan Lain dan Persatuan Jawa
Meskipun sumber-sumber tidak banyak berbicara tentang ekspansi militer besar selama masa pemerintahannya, kebijakan Ranggawuni berhasil menjaga kedaulatan dan bahkan memperluas pengaruhnya secara damai. Pararaton menyebutkan bahwa ia berhasil "menghilangkan seorang penjahat bernama Lingganing pati", sebuah tindakan yang tampaknya merupakan operasi penegakan hukum untuk menjaga stabilitas internal.
Lebih dari itu, pemerintahannya menjadi momen penting dalam penyatuan kembali wilayah-wilayah Jawa. Sebuah prasasti yang dikutip oleh Brandes (1920) menyebutkan bahwa Raja Wisnuwardhana berhasil menyatukan kembali Janggala dan Kadiri. Persatuan ini sangat signifikan, mengingat kedua wilayah tersebut sebelumnya sering kali menjadi sumber konflik sejak masa Raja Airlangga.
Dengan memantapkan struktur internal, membangun infrastruktur megah sebagai simbol kekuasaan, dan menyatukan kembali wilayah-wilayah kunci di Jawa, Ranggawuni atau Wisnuwardhana berhasil menciptakan periode damai yang langka. Pemerintahannya bukan hanya sekadar jeda dari pertumpahan darah, melainkan sebuah masa konsolidasi yang mempersiapkan Singhasari untuk mencapai puncak kejayaannya. Warisan terbesarnya adalah stabilitas yang memungkinkan putranya, Kertanagara, untuk mengalihkan pandangannya melampaui batas-batas Jawa dan memulai visi Nusantara.***
Posting Komentar