Kelanjutan Majapahit: Blambangan dan Kediri Pasca Trowulan

Table of Contents

Walaupun pusat Trowulan runtuh, warisan Majapahit tetap hidup di kerajaan-kerajaan kecil seperti Blambangan dan sisa-sisa Kediri.

Ilustrasi keris Sangkelat. Konon yang memiliki keris tersebut kelak akan jadi raja. (Generatif ChatGPT)
Ilustrasi keris Sangkelat. Konon yang memiliki keris tersebut kelak akan jadi raja. (Generatif ChatGPT)

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Senja kala Majapahit bukan berarti akhir dari segalanya. Ketika pusat kekuasaan di Trowulan mulai meredup pada akhir abad ke-15, cahayanya tak sepenuhnya padam. Warisan peradaban besar itu berpendar, menyala kembali di kantong-kantong perlawanan budaya dan politik di ujung timur dan pedalaman Jawa. Dua nama menonjol sebagai pewaris Majapahit yang gigih: Kerajaan Blambangan di ujung timur dan sisa-sisa kekuatan Kediri di jantung Jawa Timur. Mereka bukan sekadar sisa-sisa, melainkan entitas yang berjuang mempertahankan identitas di tengah gelombang perubahan besar yang melanda Nusantara.

Para sejarawan modern, seperti H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, mengingatkan untuk meninggalkan anggapan bahwa keruntuhan Majapahit berlangsung mendadak dan final. Sebaliknya, yang terjadi adalah sebuah "peralihan" di mana peradaban Jawa Majapahit tidak lenyap, melainkan "sedikit demi sedikit diislamkan". Dalam proses transisi inilah Blambangan dan Kediri Majapahit memainkan peran krusial sebagai benteng terakhir tradisi Hindu-Jawa.

Munculnya Kekuatan Baru di Blambangan (Jawa Timur)

Jauh di ujung timur Jawa, Kerajaan Blambangan telah lama menjadi bagian dari mandala kekuasaan Majapahit. Namun, seiring melemahnya pusat, Blambangan melihat peluang untuk bangkit sebagai kekuatan mandiri. Ambisi ini tidak hanya bersifat politis, tetapi juga spiritual. Mereka berupaya mengklaim legitimasi sebagai penerus sah takhta Majapahit.

Menurut Babad Majapahit dan Para Wali, seorang juru nujum melaporkan kepada Adipati Blambangan bahwa "wahyu istana telah pergi dari Majapahit dan pindah ke Tuban, masuk ke dalam keris pusaka buatan wali yang bernama Sangkelat". Siapa pun yang memiliki pusaka tersebut diyakini akan menjadi Raja Jawa. Terobsesi dengan ramalan itu, sang Adipati memerintahkan seorang pencuri ulung bernama Celuring untuk mencuri keris sakti itu.

Kisah perebutan pusaka ini, meskipun berbalut legenda, menunjukkan betapa Blambangan secara sadar memposisikan diri sebagai pewaris spiritual Majapahit. Mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, tetapi juga berusaha merebut simbol-simbol kekuasaan mistis yang selama ini menjadi penopang legitimasi raja-raja Majapahit. Upaya Ki Supa, seorang empu keris sakti, untuk merebut kembali Sangkelat dengan menyamar sebagai pandai besi di istana Blambangan menjadi episode spionase klasik yang menegaskan betapa berharganya pusaka itu di mata para elite politik masa transisi tersebut.

"Adipati Blambangan mendapat laporan dari juru nujum bahwa saat bergesernya Istana di Jawa tinggal setahun lagi. Wahyu istana telah pergi dari Majapahit dan pindah ke Tuban, masuk ke dalam keris pusaka buatan wali yang bernama Sangkelat. Siapa yang memilikinya akan menjadi Raja." (Prawira Yuda, 1988, hlm. 23).

Upaya Pelestarian Tradisi Hindu-Jawa di Pedalaman

Sementara Blambangan menegaskan klaimnya di ujung timur, sisa-sisa kekuatan Majapahit juga bertahan di jantung Jawa Timur, berpusat di sekitar Kediri (Daha). Kediri bukanlah nama baru; ia adalah bagian dari dwitunggal kekuasaan Majapahit (Janggala-Kadiri) sejak lama. Ketika pusat pemerintahan di Trowulan runtuh sekitar tahun 1527 akibat serbuan Demak, diduga kuat sisa-sisa elite dan bangsawan Majapahit menyingkir ke pedalaman dan melanjutkan pemerintahan di bawah nama Daha atau Kediri.

Sejarawan H.J. de Graaf mencatat bahwa Tome Pires, seorang musafir Portugis, menyebut ibu kota Majapahit pada awal abad ke-16 dengan nama "Dayo", yang kemungkinan merupakan ejaan keliru untuk Daha. Hal ini memperkuat dugaan bahwa pada masa-masa akhirnya, pusat pemerintahan Majapahit secara de facto telah bergeser ke Kediri. Sisa-sisa kekuatan Kediri Majapahit ini menjadi benteng pertahanan tradisi Hindu-Jawa.

Perlawanan mereka bukanlah tanpa sekutu. De Graaf dan Pigeaud mencatat bahwa perlawanan "kaum kafir" (sebutan untuk penganut Hindu-Buddha saat itu) di Jawa Timur kemungkinan besar mendapat bantuan dari Bali, yang tidak pernah berada di bawah kekuasaan Islam. Ikatan budaya dan agama yang kuat antara Jawa Timur dan Bali menjadi fondasi aliansi strategis dalam menghadapi ekspansi kekuatan Islam dari pesisir. Inilah potret sesungguhnya dari "jejak kejayaan di luar kota" (Andrisijanti, 2014), di mana warisan Majapahit terus hidup di kantong-kantong budaya yang menolak menyerah pada perubahan zaman.

Konflik dan Perjuangan Melawan Kekuatan Pesisir

Kebangkitan Blambangan dan bertahannya Kediri tak pelak memicu konflik terbuka dengan kekuatan baru di pantai utara (Pesisir), terutama Kesultanan Demak. Bagi Demak, yang memposisikan diri sebagai pewaris sah Majapahit dalam bingkai Islam, keberadaan kerajaan-kerajaan "kafir" di pedalaman dan ujung timur adalah sebuah ancaman yang harus ditaklukkan.

Serangkaian ekspedisi militer pun dilancarkan. Menurut Babad Sangkala, setelah menaklukkan ibu kota Trowulan, serangan Demak berlanjut ke timur. Tuban jatuh pada tahun 1527, disusul Wirasari pada 1528, Gagelang pada 1529, dan Surabaya pada 1531. Akhirnya, pada tahun 1527, Kediri sendiri berhasil ditaklukkan.

Namun, penaklukan ujung timur Jawa, khususnya Blambangan dan Panarukan, terbukti jauh lebih sulit. Wilayah ini menjadi medan pertempuran sengit selama puluhan tahun. Puncaknya adalah ekspedisi besar yang dipimpin langsung oleh Sultan Tranggana dari Demak pada tahun 1546. Ekspedisi ini berakhir tragis. Sultan Tranggana gugur sebelum berhasil menaklukkan Panarukan, sebuah peristiwa yang menandai batas akhir ekspansi Demak ke timur.

"Setelah jatuhnya kota kerajaan tua Majapahit pada tahun 1527,... para raja taklukan maharaja 'kafir' yang ada di ujung timur Jawa-lah yang paling lama bertahan melawan kekuasaan Islam yang terus mendesak itu." (De Graaf & Pigeaud, 1985, hlm. 200).

Kekalahan Demak di Panarukan dan kegigihan Blambangan membuktikan bahwa api Majapahit tidak mudah dipadamkan. Selama lebih dari satu abad berikutnya, Kerajaan Blambangan, seringkali dengan bantuan Bali, terus menjadi duri dalam daging bagi kekuasaan Islam yang berpusat di Jawa Tengah, baik itu Demak, Pajang, maupun Mataram. Kisah mereka adalah epik tentang perlawanan, sebuah testamen bahwa sebuah peradaban besar tidak akan lenyap dalam sekejap, melainkan bertransformasi dan terus hidup dalam berbagai bentuk di sudut-sudut wilayah yang menolak untuk dilupakan.

Daftar Pustaka

Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Kepel Press.

Brandes, J. L. A. (1920). Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapěl en van Majapahit (2nd ed., N. J. Krom, Ed.). Albrecht & Co. / Martinus Nijhoff.

De Graaf, H. J., & Pigeaud, Th. G. Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.

Muljana, S. (2005). Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. LKiS.

Pigeaud, Th. G. Th. (1960-1963). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History. The Nāgarakṛtāgama by Rakawi Prapañca of Majapahit, 1365 A.D. (5 jilid). Martinus Nijhoff.

Prawira Yuda, R. P. (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1 (Sastradiwirya, Trans.). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar