Majapahit Setelah Paregreg: Kerajaan yang Terbagi
Pasca Perang Paregreg, Majapahit mengalami kemerosotan drastis. Kekuasaan pusat melemah dan daerah mulai mandiri.
![]() |
Ilustrasi perang Paregreg. (Generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Langit Majapahit tak lagi sama. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kerajaan besar itu mulai meredup. Takhta yang ditinggalkan menjadi rebutan, membelah keluarga istana menjadi dua kekuatan. Di barat, Wikramawarddhana, menantu Hayam Wuruk, memegang kendali atas pusat kekuasaan di Trowulan. Di timur, Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari seorang selir, membangun kekuatannya sendiri di Blambangan.
Persaingan ini memuncak menjadi perang saudara yang mengoyak jantung imperium: Perang Paregreg. Berlangsung dari tahun 1401 hingga 1406 M, perang ini meninggalkan luka menganga yang tak pernah benar-benar pulih. Meski Wikramawarddhana keluar sebagai pemenang setelah kematian Wirabhumi, kemenangan itu terasa pahit. Majapahit memang masih berdiri, namun kewibawaannya telah retak. Inilah awal dari babak Majapahit Akhir, sebuah era di mana kerajaan besar itu perlahan terbagi dan kehilangan kendali.
Kerusakan Infrastruktur dan Ekonomi Pasca-Perang
Dampak Perang Paregreg terasa hingga ke jantung ibu kota. Meski sumber-sumber tidak merinci kerusakan bangunan akibat perang secara langsung, catatan sejarah melukiskan gambaran sebuah kerajaan yang sakit. Tak lama setelah konflik usai, wabah penyakit (gering) yang mengerikan melanda Majapahit. Ratusan orang meninggal setiap hari, pagi sakit sore wafat, atau sebaliknya. Penjagaan istana menjadi kacau balau karena para petugas banyak yang wafat atau mewakilkan tugas pada anak-anak mereka. Bahkan permaisuri, Dyah Dwarawati, jatuh sakit parah hingga lupa ingatan.
Wabah ini bukan sekadar bencana kesehatan, melainkan cerminan dari lumpuhnya tatanan sosial dan ekonomi. Dengan ibu kota yang dilanda penyakit, aktivitas pemerintahan dan perdagangan pastilah terganggu. Kondisi ini diperparah oleh hilangnya pusaka-pusaka keramat yang menjadi simbol stabilitas. Keris pusaka Condongcampur, yang diyakini mengandung roh jahat dan menjadi penyebab wabah, akhirnya dapat dikalahkan oleh keris sakti lainnya. Namun, tak lama kemudian, keris Condongcampur itu patah dan lenyap ke langit saat hendak ditempa kembali, meninggalkan pesan gaib agar raja membuat pusaka baru demi keselamatan negara. Hilangnya pusaka utama ini menjadi simbol keruntuhan kewibawaan pusat Majapahit.
Munculnya Kekuatan Daerah yang Melemahan Pusat
Kekosongan kekuasaan dan melemahnya wibawa Trowulan pasca-Paregreg menjadi peluang bagi kekuatan-kekuatan daerah untuk bangkit. Mereka tak lagi sepenuhnya tunduk pada titah raja.
Di Blambangan, wilayah bekas kekuasaan Wirabhumi, bara perlawanan tak pernah padam. Seorang Adipati Blambangan, setelah mendengar dari juru nujum bahwa "wahyu istana telah pergi dari Majapahit" dan pindah ke keris pusaka bernama Sangkelat di Tuban, segera bertindak. Ia memerintahkan seorang pencuri ulung bernama Celuring untuk mencuri pusaka tersebut dengan keyakinan bahwa siapa pun yang memilikinya akan menjadi raja. Keberhasilan misi ini, yang bahkan membuat Celuring diangkat menjadi Patih, menunjukkan betapa beraninya kekuatan daerah menantang legitimasi Majapahit secara langsung.
Sementara itu, di pesisir utara Jawa, kekuatan baru berbasis Islam mulai tumbuh. Raden Patah, yang merupakan putra Prabu Brawijaya dari Majapahit, mendapat petunjuk dari Sunan Ampel untuk membuka pemukiman baru di hutan Bintara. Tempat itu diramalkan akan menjadi cikal bakal sebuah "istana Islam". Pemukiman Bintara (kemudian dikenal sebagai Demak) berkembang pesat dan ramai dikunjungi para ulama, hingga membuat Raja Majapahit khawatir akan timbulnya pemberontakan. Meski pada akhirnya Raden Patah diangkat menjadi Adipati Demak-Bintara untuk meredam potensi konflik, langkah ini justru mengukuhkan posisi Demak sebagai pusat kekuatan politik dan agama baru yang independen dari hegemoni Hindu-Buddha Majapahit.
Perubahan Politik: Kekuatan di Trowulan dan Blambangan
Secara politik, Perang Paregreg menjadi titik balik yang membagi kekuatan Majapahit. Meskipun secara resmi kerajaan kembali bersatu di bawah Wikramawarddhana, dualisme kekuasaan antara barat (Trowulan) dan timur (Blambangan) terus berlanjut dalam bentuk yang berbeda.
Di Trowulan, pusat pemerintahan tampak semakin rapuh. Kemerosotan ini tidak hanya ditandai oleh wabah penyakit, tetapi juga oleh simbol-simbol kekuasaan yang mulai memudar. Keris pusaka keraton, Condongcampur, patah dan lenyap. Peristiwa ini begitu mengguncang hingga raja diperintahkan suara gaib untuk membuat pusaka baru, Nagasasra, sebagai "tumbal negara" demi menyelamatkan Majapahit dari kehancuran total. Upaya putus asa untuk menciptakan simbol kekuatan baru ini menunjukkan betapa dalamnya krisis legitimasi yang dialami oleh takhta di Trowulan.
Di sisi lain, Blambangan terus mengukuhkan dirinya sebagai pusat kekuatan alternatif di ujung timur Jawa. Sebagai bekas basis kekuasaan Bhre Wirabhumi, daerah ini menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi Trowulan. Ambisi Adipati Blambangan untuk merebut wahyu kerajaan dengan mencuri keris Sangkelat adalah manifestasi nyata dari pergeseran politik ini. Ia tidak lagi melihat Trowulan sebagai pusat yang harus ditaati, melainkan sebagai kekuatan yang bisa ditantang dan bahkan digantikan. Pengangkatan sang pencuri pusaka menjadi patih menunjukkan bahwa Blambangan sedang membangun struktur kekuasaannya sendiri, terlepas dari bayang-bayang Majapahit. Kerajaan itu kini benar-benar terbagi, tidak lagi secara formal, tetapi secara nyata dalam pengaruh dan kewibawaan.
Daftar Pustaka
Djafar, H. (1978). Girindrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir. Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda.
Pigeaud, T. G. T. (1960). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, The Nāgarakṛtāgama by Rakawi Prapañca of Majapahit, 1365 A.D. (Vol. III & IV). Martinus Nijhoff.
Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rangkuti, N., dkk. (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. In I. Andrisijanti (Ed.), Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Penerbit Kepel Press.
Slametmuljana. (2005). Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. LKiS Pelangi Aksara.
Posting Komentar