Mengenal Ragam Pertunjukan Rakyat Jawa Menurut Dr Th Pigeaud
Jelajahi dunia pertunjukan rakyat Jawa, dari tari topeng hingga kuda kepang. Pahami perbedaan antara seni rakyat dan seni keraton.
![]() |
| Ilustrasi ragam pertunjukan rakyat Jawa. (Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Dalam khazanah kebudayaan Jawa yang mahakaya, pertunjukan rakyat memegang peranan penting sebagai cerminan denyut nadi kehidupan masyarakat. Jauh sebelum panggung-panggung modern berdiri, seni pertunjukan telah tumbuh subur di desa-desa dan pusat-pusat keramaian. Salah satu kajian paling komprehensif mengenai subjek ini datang dari Dr. Th. Pigeaud, seorang ilmuwan yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti kebudayaan Jawa. Melalui karyanya yang monumental, Javaanse Volksvertoningen (Pertunjukan Rakyat Jawa) yang diterbitkan oleh Volkslectuur di Batavia pada tahun 1938, Pigeaud membuka jendela untuk memahami ragam, cakupan, dan esensi dari seni yang hidup di tengah rakyat.
Dari Tari Topeng ke Kajian yang Lebih Luas
Awalnya, proyek penelitian yang digagas oleh Dr. Th. Pigeaud, atas permintaan dari Hoofdbestuur Java-Instituut, hanyalah sebuah studi yang berfokus pada tari topeng Jawa (Javaanse maskerdansen). Namun, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya bahan penelitian yang ia kumpulkan, Pigeaud menyadari bahwa materi yang dimilikinya terlalu luas untuk sekadar menjadi sebuah risalah. Ia menemukan begitu banyak pertunjukan rakyat yang saling terkait atau setidaknya layak mendapat perhatian setara.
Akhirnya, penelitian yang semula spesifik itu berkembang menjadi sebuah buku yang jauh lebih komprehensif. Pigeaud merasa perlu untuk melebarkan sayap kajiannya, memberikan deskripsi mendalam tentang berbagai hal yang mungkin hanya memiliki hubungan jauh dengan tari topeng. Ia melakukannya dengan keyakinan bahwa ini adalah kesempatan baik untuk mengangkat berbagai aspek kehidupan dan seni rakyat yang hingga saat itu belum banyak tercatat dalam literatur Belanda tentang Jawa.
Membedakan Volkskunst (Seni Rakyat) dan Hofkunst (Seni Keraton)
Untuk memahami lanskap pertunjukan Jawa, Pigeaud memperkenalkan sebuah pembedaan mendasar antara dua kutub artistik: volkskunst (seni rakyat) dan hofkunst (seni keraton).
• Volkskunst adalah istilah yang ia gunakan untuk merangkum berbagai pertunjukan yang lahir dan berkembang di tengah masyarakat umum. Seni ini mencerminkan kehidupan, kepercayaan, dan estetika rakyat jelata.
• Hofkunst, di sisi lain, merujuk pada seni tari, teater, dan musik Jawa tingkat tinggi yang sangat berbudaya (zeer gekultiveerde), yang tumbuh dan dikembangkan di lingkungan istana atau keraton.
Pigeaud menegaskan bahwa pembedaan ini bukanlah antara elemen "Jawa asli" melawan "Hindu-Jawa", sebuah pandangan yang menurutnya keliru. Sebaliknya, ini adalah cerminan stratifikasi sosial alami yang ada di setiap masyarakat yang memiliki sejarah panjang, termasuk masyarakat Jawa. Kedua kutub seni ini tidak statis; terjadi interaksi dinamis di antara keduanya. Ada kalanya ekspresi seni rakyat diangkat dan dimuliakan menjadi bagian dari seni keraton, dan sebaliknya, seni keraton menyebar luas ke masyarakat hingga mempengaruhi bentuk-bentuk seni rakyat.
Cakupan Pertunjukan Rakyat
Dalam bukunya, Pigeaud secara spesifik memfokuskan pembahasannya pada beberapa jenis pertunjukan rakyat yang ia anggap penting. Ia meringkas pertunjukan-pertunjukan tari yang diiringi musik dan terkadang narasi ini di bawah judul besar volksvertoningen atau pertunjukan rakyat. Cakupan utama penelitiannya meliputi:
• Mommerijen: Arak-arakan yang menampilkan kostum hewan atau monster, yang dibedakan dari pertunjukan tari topeng biasa.
• Paarddansen: Pertunjukan tari kuda yang dikenal luas sebagai koeda-képang (kuda kepang).
• Pertunjukan penari laki-laki muda (vertoningen van dansjongens).
• Tari kelompok pria (groepdansen van mannen).
• Pertunjukan religius (religieuze opvoeringen).
Pertunjukan yang Tidak Dibahas
Dengan cermat, Pigeaud juga memberikan batasan yang jelas mengenai apa saja yang tidak ia bahas secara mendalam dalam karyanya. Ia memperingatkan pembaca agar tidak salah paham bahwa bukunya mencakup semua jenis pertunjukan rakyat Jawa. Beberapa kelompok pertunjukan penting yang secara eksplisit ia kecualikan adalah:
• Penampilan penari wanita dan penyanyi (dansvrouwen en zangeressen).
• Pertunjukan pencerita, baik pria maupun wanita (vertellers en vertelsters).
• Permainan adu ketangkasan dan olahraga tarung seperti anggar (vechtspelen).
• Sabung ayam dan adu hewan lainnya (hanen- en andere dierengevechten).
• Pertunjukan kesurupan (trance-opvoeringen), yang menurutnya terkait erat dengan permainan biologi dan permainan anak-anak.
• Berbagai jenis wayang atau teater boneka (poppenspel).
• Berbagai jenis musik dan tarian seni untuk pria dan wanita yang berada di bawah pengaruh kuat seni keraton (hofkunst).
• Permainan anak-anak (kinderspelen) dan permainan untung-untungan (hazardspelen).
Batasan ini menunjukkan betapa luasnya spektrum seni pertunjukan di Jawa dan betapa fokusnya Pigeaud pada area yang ia anggap belum banyak terdokumentasi.
Pentingnya Variasi Daerah
Salah satu kontribusi terpenting Pigeaud dalam Javaanse Volksvertoningen adalah penekanannya yang kuat pada perbedaan gaya regional (gewestelijke verschillen) dalam seni Jawa. Ia mengkritik kecenderungan banyak penulis pada masanya yang sering mengabaikan variasi ini, terutama dalam bidang teater dan musik.
Menurut Pigeaud, tidak cukup hanya membedakan seni antara etnis Sunda, Jawa, Madura, dan Bali. Di dalam wilayah penutur bahasa Jawa sendiri, terdapat perbedaan yang signifikan dalam dialek dan bentuk seni asli di setiap daerahnya. Ia mencontohkan bagaimana produk kerajinan seperti batik dan tenun dari berbagai daerah menunjukkan gaya yang khas, dan hal yang sama berlaku untuk seni pertunjukan. Perbedaan ini, menurutnya, justru paling jelas terlihat pada pertunjukan jalanan yang digemari oleh masyarakat lapisan bawah, karena kesenian tersebut kurang terpapar oleh pengaruh seni keraton yang cenderung menyeragamkan.
Pigeaud secara implisit mengkritik penulis seperti Th. B. van Lelyveld yang dalam bukunya, de Javaansche danskunst, hanya berfokus pada beberapa tarian seni yang dikembangkan di lingkungan keraton-keraton Jawa Tengah. Hal ini, menurut Pigeaud, memberikan kesan yang keliru seolah-olah tidak ada tarian lain di Jawa. Baginya, seorang peneliti ilmiah harus berkeliling ke seluruh Jawa dan Madura, tidak hanya berhenti di keraton, untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan akurat tentang kekayaan seni pertunjukan Jawa.***
