Penaklukan Bali dan Perluasan Kekuasaan Majapahit
Mengulas ekspedisi militer Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada yang berhasil menaklukkan Bali, memperluas wilayah kekuasaan.
![]() |
Ilustrasi armada kapal perang Kerajaan Majapahit abad ke-14 yang megah mendekati pesisir Bali. (Generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Dari pendopo agung ibu kota, ambisi seorang mahapatih membumbung tinggi, melampaui batas cakrawala Jawa. Gajah Mada, dengan sumpah legendarisnya yang tercatat dalam kitab Pararaton, berikrar tidak akan menikmati buah palapa—kenikmatan duniawi—sebelum seluruh Nusantara berada di bawah panji-panji kebesaran Majapahit. Dalam sumpahnya yang menggetarkan itu, nama Bali disebut secara eksplisit sebagai salah satu target utama: "...lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tafijung pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa". Ikrar ini bukan sekadar retorika politik, melainkan sebuah cetak biru ekspedisi militer yang akan mengubah peta kekuasaan di kepulauan selamanya. Penaklukan Bali menjadi salah satu babak krusial dalam realisasi Sumpah Palapa dan penegasan dominasi Majapahit.
Bali sebelum Penaklukan Majapahit
Sumber-sumber yang tersedia tidak banyak mengisahkan kondisi politik Bali secara rinci sebelum invasi Majapahit. Namun, kitab Nagarakrtagama memberikan sebuah petunjuk penting melalui istilah yang digunakannya. Peristiwa penaklukan yang terjadi pada tahun 1265 Saka (1343 M) itu disebut sebagai tuchtiging atau "penghukuman" terhadap Bali. Penggunaan kata "penghukuman" ini mengisyaratkan bahwa sebelum ekspedisi militer dilancarkan, kemungkinan telah ada hubungan antara Bali dan Majapahit, mungkin dalam bentuk negara vasal atau aliansi yang kemudian dianggap membangkang.
Keheningan sumber mengenai detail perlawanan atau raja-raja Bali pra-Majapahit menunjukkan bahwa dari perspektif penulis babad Jawa, yang terpenting adalah penegasan kembali otoritas Majapahit atas wilayah yang dianggap sudah seharusnya tunduk. Status Bali sebagai salah satu entitas politik yang diperhitungkan di Nusantara ditegaskan oleh pencantumannya dalam Sumpah Palapa Gajah Mada, sejajar dengan nama-nama besar lain seperti Sunda dan Palembang.
Ekspedisi Besar Gajah Mada dan Perlawanan Bali
Genderang perang akhirnya ditabuh. Sesuai dengan catatan dalam Nagarakrtagama, ekspedisi militer untuk "menghukum" Bali terjadi pada tahun 1265 Saka, atau sekitar bulan Mei 1343 Masehi. Ekspedisi besar ini merupakan bagian dari kampanye penyatuan Nusantara yang berada di bawah komando Mahapatih Gajah Mada. Tujuannya jelas: menundukkan Bali dan mengintegrasikannya secara penuh ke dalam mandala kekuasaan Majapahit, sesuai dengan janji Sumpah Palapa.
Namun, narasi sejarah seringkali memiliki banyak suara. Catatan dalam Babad Majapahit dan Para Wali memberikan warna yang berbeda pada kisah penaklukan ini. Menurut babad tersebut, tokoh yang dianggap berjasa "memukul negara Bali" bukanlah Gajah Mada seorang, melainkan Dipati Andayaningrat dari Pengging. Keterangan ini membuka ruang interpretasi: apakah Andayaningrat adalah seorang jenderal utama dalam ekspedisi yang dipimpin Gajah Mada, ataukah ada narasi lain yang menempatkannya sebagai tokoh sentral? Sumber-sumber yang ada tidak memberikan jawaban pasti, meninggalkan sebuah teka-teki menarik tentang siapa sebenarnya panglima di garis depan dalam penaklukan Bali.
Meskipun disebut sebagai "penghukuman", sumber-sumber dari era Majapahit seperti Nagarakrtagama dan Pararaton tidak merinci jalannya pertempuran maupun bentuk perlawanan dari pihak Bali. Catatan sejarah lebih berfokus pada hasil akhir, yaitu keberhasilan Majapahit dalam menaklukkan pulau tersebut dan memasukkannya ke dalam daftar wilayah kekuasaan.
Dampak Penaklukan terhadap Budaya dan Politik Bali
Keberhasilan ekspedisi militer Majapahit membawa dampak signifikan bagi Bali. Secara politik, Bali secara definitif masuk ke dalam lingkup kekuasaan Majapahit, menjadi salah satu dari sekian banyak wilayah bawahan yang membentang di seluruh Nusantara, dari Sumatra hingga Kepulauan Maluku. Penaklukan ini memperkuat hegemoni Majapahit di kawasan timur Jawa.
Dampak kultural dan religius juga terasa kuat. Setelah penaklukan, Bali menjadi salah satu wilayah yang diizinkan untuk dikunjungi oleh para pendeta Buddha dalam misi keagamaan dari pusat kerajaan. Ini menunjukkan bahwa administrasi keagamaan Majapahit juga diperluas hingga ke Bali, mengintegrasikannya ke dalam sistem kepercayaan kerajaan.
Lebih jauh lagi, pengaruh Majapahit terpatri dalam lanskap budaya Bali itu sendiri. Para arkeolog modern mencatat adanya kemiripan yang mencolok antara tata ruang bangunan suci di bekas ibu kota Majapahit dengan pembagian halaman pada pura-pura di Bali. Pola tiga halaman—jaba (luar), jaba tengah (tengah), dan jeroan (dalam)—yang menjadi ciri khas arsitektur pura Bali, merefleksikan konsep tata ruang yang juga berkembang di pusat kekuasaan Jawa pada masa itu. Hal ini menunjukkan adanya aliran budaya yang intensif dari Jawa ke Bali, yang semakin diperkuat setelah penaklukan, membentuk warisan budaya yang bertahan hingga hari ini.
Penaklukan Bali pada tahun 1343 M bukan sekadar penambahan wilayah, melainkan sebuah penegasan supremasi Majapahit yang digerakkan oleh visi besar Mahapatih Gajah Mada. Peristiwa ini menjadi tonggak sejarah yang mengikat Bali ke dalam orbit politik dan budaya Jawa untuk beberapa abad berikutnya, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam arsitektur, kepercayaan, dan perjalanan sejarah Pulau Dewata.
Daftar Pustaka
Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Penerbit Kepel Press.
Brandes, J. L. A. (1920). Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapël en van Majapahit (2nd ed.; N. J. Krom, Ed.). Albrecht & Co.
Kern, H. (1919). Het Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapañca (1365 A.D.). (N. J. Krom, Ed.). Martinus Nijhoff.
Sastradiwirya, K. (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. (R. P. Prawirayuda, original author). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Posting Komentar