Penerus Raden Wijaya: Jayanagara, Sang Raja Muda Penuh Tekanan
Raden Wijaya wafat, dan takhta Majapahit jatuh kepada putranya, Jayanagara, yang kemudian menghadapi berbagai tantangan dan konflik.
![]() |
Arca agung Harihara (perpaduan Siwa dan Wisnu) sebagai perwujudan Raden Wijaya. (ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Langit Majapahit masih berhias kebesaran nama Raden Wijaya, sang pendiri yang dengan susah payah merajut kepingan bekas Singhasari menjadi sebuah imperium baru. Namun, setiap era kejayaan akan selalu menemui senjanya. Peralihan kekuasaan adalah momen paling krusial, dan bagi Majapahit, suksesi pertama jatuh ke tangan seorang pangeran muda, putra Raden Wijaya dari permaisurinya yang berasal dari Melayu, Dara Petak. Pangeran itu bernama Kala Gemet, yang kelak naik takhta dengan gelar Jayanagara. Namanya, alih-alih dikenang sebagai penerus yang gemilang, justru tercatat dalam kitab-kitab kuno seperti Pararaton dan Nagarakretagama sebagai raja yang penuh tekanan, kontroversial, dan berakhir tragis.
Akhir Hayat Raden Wijaya dan Penyerahan Takhta
Setelah berhasil mendirikan dan mengukuhkan Majapahit, Raden Wijaya, yang bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana, wafat. Para sejarawan, merujuk pada kitab Pararaton dan interpretasi modern atas Nagarakretagama, menyepakati tahun wafatnya adalah 1231 Saka atau 1309 Masehi. Sebagai penghormatan abadi, jasadnya didarmakan di beberapa tempat suci. Salah satu candi pendharmaannya yang paling utama adalah Candi Simping, yang kini diidentifikasi sebagai Candi Sumberjati di Blitar, tempat ia diarcakan sebagai Harihara, perpaduan Siwa dan Wisnu.
Takhta yang ditinggalkan Raden Wijaya kemudian diwariskan kepada putra satu-satunya dari permaisuri Dara Petak, yakni Raden Kala Gemet. Ia naik takhta pada tahun yang sama dengan wafat ayahnya dan menyandang gelar abhiseka Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara, atau lebih dikenal sebagai Jayanagara. Di usianya yang masih sangat muda, Jayanagara mewarisi sebuah kerajaan besar yang fondasinya masih terus diuji.
Jayanagara, Raja Muda yang Tidak Populer
Takhta yang baru didudukinya seakan bergoyang sejak awal. Masa pemerintahan Jayanagara diwarnai oleh serangkaian pemberontakan dari para pengikut setia ayahnya. Kitab Pararaton mencatat beberapa pemberontakan besar, seperti pemberontakan Rangga Lawe, Sora, dan Nambi. Salah satu kampanye militer terbesar yang dipimpin langsung oleh Jayanagara adalah penumpasan pemberontakan Nambi di Lumajang pada tahun 1316 M (1238 Saka). Serangkaian pergolakan ini menunjukkan betapa berat tekanan yang dihadapinya untuk menjaga kesetiaan para bangsawan senior.
Di balik layar, intrik istana terus membayangi. Ketidakpopuleran Jayanagara, seperti dicatat dalam Nagarakretagama dan Pararaton, bukan tanpa sebab. Salah satu isu paling kontroversial yang membuatnya dijuluki Kala Gemet—yang dapat berarti "si lemah" atau "si jahat"—adalah keinginannya untuk mempersunting kedua saudari tirinya, Bhre Kahuripan (calon Tribhuwana Tunggadewi) dan Bhre Daha. Ia melarang keduanya menikah dengan pangeran lain, sebuah skandal yang mencoreng nama istana dan menimbulkan ketidaksenangan di kalangan bangsawan.
Kematian Jayanagara dan Munculnya Tribhuwana Tunggadewi
Puncak dari masa pemerintahan yang penuh gejolak ini berakhir dengan cara yang tak kalah dramatis. Pada tahun 1328 M (1250 Saka), Raja Jayanagara wafat bukan karena perang atau sakit biasa, melainkan karena dibunuh di dalam istananya sendiri.
Pararaton mengisahkan detail tragedi tersebut. Sang raja menderita bisul (bubuhën) dan memanggil tabib istana bernama Tanca untuk mengobatinya. Namun, Tanca menyimpan dendam karena istrinya pernah diganggu oleh Jayanagara. Diduga dihasut oleh Gajah Mada, Tanca menggunakan kesempatan itu untuk membalas dendam. Saat sedang melakukan pembedahan di kamar tidur raja (pagulingan), Tanca menikam Jayanagara hingga tewas. Seketika itu pula, Gajah Mada, yang berada di dekatnya, langsung membunuh Tanca dengan dalih membalaskan kematian raja, sekaligus menghilangkan saksi kunci.
Jayanagara wafat tanpa meninggalkan keturunan. Jasadnya didarmakan di beberapa tempat, antara lain di Kapopongan (Srenggapura) dan Bubat. Sepeninggalnya, takhta Majapahit kosong. Sesuai garis suksesi, yang berhak menggantikannya adalah saudari tirinya, Bhre Kahuripan. Ia kemudian naik takhta dengan gelar Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani. Di bawah pemerintahannyalah, didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, Majapahit mulai menapaki jalan menuju puncak kejayaannya yang kelak disempurnakan oleh putranya, Hayam Wuruk. Kematian tragis Jayanagara menjadi penutup babak awal yang kelam sekaligus pembuka gerbang era keemasan Majapahit.***
Daftar Pustaka
Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Kepel Press.
Brandes, J. L. A., & Krom, N. J. (Ed.). (1920). Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapël en van Majapahit (2nd ed.). Albrecht & Co.
Kern, H. (Trans. & Ed.) & Krom, N. J. (Ann.). (1919). Het Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 A.D.). Martinus Nijhoff.
Sastradiwirya, A. (Trans.). (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Posting Komentar