Peta Kekuasaan Majapahit: Wilayah Taklukan dari Barat ke Timur
Menjelajahi sejauh mana kekuasaan Majapahit membentang, mencakup wilayah inti dan negeri-negeri yang menjalin hubungan persahabatan.
![]() |
Ilustrasi peta kekuasaan Majapahit pada abad 14. (generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - SEBUAH nama, Majapahit, membangkitkan imaji tentang kekuasaan adidaya yang membentang di sekujur Nusantara. Namun, seberapa luaskah sebenarnya wilayah Majapahit itu? Jawabannya tak tunggal, tersimpan dalam helai-helai lontar kuno dan babad yang menuturkan jejak keemasannya. Dua sumber utama, Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca (1365 M) dan Pararaton, menjadi kompas bagi para sejarawan untuk memetakan tapal batas pengaruh kerajaan yang berpusat di Trowulan ini.
Dari kedua teks tersebut, ditambah catatan lain seperti Babad Majapahit, terungkap sebuah mosaik kekuasaan yang kompleks. Bukan sekadar penaklukan militer, kekuasaan Majapahit juga terjalin melalui hubungan persahabatan dan sistem administrasi yang menjangkau hingga ke pulau-pulau terjauh. Inilah peta Peta Nusantara di bawah panji-panji Gula Kelapa.
Pulau-pulau Utama yang Ditaklukkan (Jawa, Sumatra, Borneo)
Kekuasaan Majapahit bermula dari jantungnya di Pulau Jawa. Seluruh Jawa berhasil ditaklukkan, dari wilayah timur hingga selatan. Babad Majapahit bahkan secara spesifik menyebut penaklukan negara Pajajaran. Kitab Pararaton dan Nagarakrtagama juga menegaskan bahwa Sunda dan Madura termasuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Menariknya, Nagarakrtagama menyebutkan bahwa pada masa lampau, Pulau Madura dianggap sebagai satu kesatuan dengan Tanah Jawa (tunggal mwang Yawadharani).
Jangkauan pengaruh Majapahit kemudian membentang jauh ke seberang lautan. Di sebelah barat, Pulau Sumatra, yang dalam Nagarakrtagama disebut sebagai Malayu, menjadi salah satu wilayah kekuasaan terpenting. Pupuh 13 kitab tersebut merinci daftar panjang daerah-daerah di Sumatra yang berada di bawah naungan Majapahit, di antaranya Jambi, Palembang, Teba (Toba), Dharmasraya, Manangkabo, Siak, Rokan (Rëkan), Kampar, Haru, Samudra, hingga Lamuri dan Lampung. Penunjukan Arya Damar sebagai Adipati di Palembang, seperti dikisahkan dalam Babad Majapahit, menjadi bukti konkret kendali administratif kerajaan di pulau ini.
Di sebelah utara Jawa, Pulau Borneo, yang disebut sebagai Tanjungnagara dalam Nagarakrtagama, juga tunduk pada kekuasaan Majapahit. Daftar wilayah taklukannya mencakup daerah-daerah pesisir yang strategis, seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Sambas, Lawai, hingga Buruneng (Brunei), Pasir, Baritu (Barito), dan Tunjung Kute (Kutai). Kitab tersebut bahkan menyebut Tanjungpuri sebagai ibu kotanya. Pararaton pun mengonfirmasi Tanjungpura sebagai salah satu daerah bawahan Majapahit.
Selain tiga pulau besar tersebut, kekuasaan Majapahit juga menjangkau kepulauan di sebelah timur Jawa. Nagarakrtagama mencatat Bali (dengan pusatnya di Badahulu dan Lwagajah), Lombok (Lombok Mirah dan Saksak), Dompo, Sumbawa (Sapi), Bima, Seran, Ambon, Maloko (Maluku), hingga Timor sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya.
Hubungan Persahabatan dengan Kerajaan Lain
Kekuasaan Majapahit tidak hanya dibangun melalui penaklukan, tetapi juga melalui jaringan diplomasi dan persahabatan yang erat dengan kerajaan-kerajaan di daratan Asia Tenggara dan sekitarnya. Mpu Prapanca dalam Nagarakrtagama (Pupuh XV) secara khusus menyebutkan adanya negara-negara yang menjadi "mitra setia" (mitreka satata).
Negara-negara sahabat tersebut antara lain Syangkayodyapura (Siam/Thailand), Dharmmanagari (di Semenanjung Malaya), Marutma (Martaban di Myanmar), Singhanagari (Singapura), Campa (Champa/Vietnam Selatan), Kamboja, dan Yawana (Annam/Vietnam Utara).
Hubungan ini diperkuat oleh catatan pada pupuh lain (Pupuh LXXXIII) yang menggambarkan bagaimana para pedagang, resi, dan pendeta dari berbagai negeri asing datang dan menetap dengan senang hati di Majapahit. Negeri-negeri tersebut mencakup Jambudwipa (India), Kamboja, Cina, Yawana, Campa, Karnnataka (India Selatan), Goda (Benggala), dan Syangka (Siam). Salah satu wujud konkret hubungan ini adalah perkawinan antara Prabu Brawijaya dengan putri dari Cempa, yang diceritakan dalam Babad Majapahit.
Administrasi Pemerintahan Wilayah Taklukan
Mengelola wilayah seluas itu tentu membutuhkan sistem administrasi yang mumpuni. Sumber-sumber sejarah memberikan gambaran bagaimana Majapahit menjalankan pemerintahannya di daerah-daerah bawahan. Nagarakrtagama (Pupuh 16) menguraikan bahwa para bhujangga (pendeta atau sarjana kerajaan) diutus ke berbagai wilayah untuk mengawasi dan membina kehidupan beragama, meneguhkan ajaran Siwa. Namun, ada aturan khusus: para pendeta Buddha tidak diizinkan untuk pergi ke wilayah Jawa bagian barat.
Selain pengawasan keagamaan, aspek ekonomi juga menjadi perhatian utama. Para mantri diutus untuk mengumpulkan upeti (pahudhaman) yang harus diserahkan secara berkala oleh setiap wilayah taklukan di seberang lautan (dwipantara).
Struktur pemerintahan di daerah bawahan juga diatur secara hierarkis. Pararaton menjelaskan bahwa wilayah di luar pusat pemerintahan dipimpin oleh seorang menteri amancanagara atau juru. Di bawahnya terdapat tingkatan pejabat seperti wedana (setingkat bupati), akuwu (setingkat camat atau kepala kelompok desa), dan buyut (setingkat lurah). Babad Majapahit juga memberikan contoh konkret penempatan pejabat, seperti pengangkatan Adipati di Palembang serta penempatan putra-putra raja sebagai penguasa di Madura, Makasar, dan Panaraga.
Peta kekuasaan yang dilukiskan dalam Nagarakrtagama dan sumber lainnya menunjukkan sebuah imperium maritim yang tidak hanya kuat secara militer, tetapi juga lihai dalam berdiplomasi dan terorganisir dalam administrasi. Warisan Majapahit bukanlah sekadar cerita tentang raja-raja, melainkan sebuah cetak biru tentang bagaimana Nusantara pernah disatukan dalam satu naungan kekuasaan dari ujung barat hingga timur.
Daftar Pustaka
Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Kepel Press.
Brandes, J. L. A. (1920). Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapël en van Majapahit (N. J. Krom, Ed.; 2nd ed.). M. Nijhoff.
Kern, H. (1919). Het Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 A.D.) (N. J. Krom, Ed.). M. Nijhoff.
Sastradiwirya. (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Posting Komentar