Sumpah Kontroversial: Lahirnya Cita-cita Persatuan Nusantara
Menjelajahi kisah Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa, sebuah janji besar untuk menyatukan seluruh Nusantara di bawah Majapahit.
![]() |
Ilustrasi epik dari Patih Gajah Mada yang sedang mengucapkan Sumpah Palapa di tengah balairung agung Kerajaan Majapahit. (Generatif ChatGPT) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Di sebuah balairung agung Kerajaan Majapahit, di tengah para pembesar dan pejabat istana, seorang tokoh yang baru saja menapaki puncak kekuasaan menggetarkan singgasana dengan sebuah janji. Janji itu bukan sekadar sumpah jabatan biasa. Ia adalah deklarasi ambisius yang kelak terpatri dalam sejarah sebagai Sumpah Palapa. Tokoh itu adalah Gajah Mada, sang Mahapatih yang visinya melampaui zamannya. Namun, sebelum cita-cita agung itu terwujud, sumpahnya justru disambut dengan cemoohan dan tawa sinis. Inilah kisah lahirnya sebuah gagasan persatuan Nusantara yang bermula dari sebuah kontroversi di jantung kekuasaan Majapahit.
Jabatan Patih Gajah Mada dan Latar Belakangnya
Karier Gajah Mada mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani. Menurut kitab Pararaton, posisi Mahapatih Amangkubumi sebelumnya dipegang oleh Arya Tadah yang sedang sakit-sakitan. Sang patih sepuh inilah yang menunjuk Gajah Mada sebagai penggantinya. Namun, Gajah Mada pada awalnya menolak jabatan tersebut hingga ia berhasil menyelesaikan pemberontakan di Sadeng dan Keta.
Setelah berhasil memadamkan pemberontakan tersebut, Gajah Mada akhirnya diangkat menjadi Patih Amangkubumi. Pengangkatan ini menjadi titik balik penting dalam sejarah Majapahit. Di bawah kepemimpinan Ratu Tribhuwanatunggadewi dan dengan dukungan penuh Gajah Mada, kerajaan mulai menata kembali kekuatannya dan memperluas pengaruhnya. Jabatan ini memberikan Gajah Mada otoritas yang luar biasa untuk menjalankan agenda politiknya yang paling ambisius: menyatukan Nusantara di bawah panji-panji Majapahit.
Momen Bersejarah Sumpah Palapa
Tak lama setelah dilantik menjadi Patih Amangkubumi, Gajah Mada mengikrarkan sumpahnya yang monumental. Kitab Pararaton mencatat momen dramatis ini dengan rinci. Di hadapan para pembesar kerajaan, Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati amukti palapa—sebuah istilah yang ditafsirkan sebagai menikmati istirahat, kesenangan duniawi, atau rempah-rempah sebagai simbol kemewahan—sebelum seluruh Nusantara tunduk di bawah kekuasaan Majapahit.
Isi sumpahnya tercatat sebagai berikut:
"Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tafijung pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
Artinya: "Jika telah kalah Nusantara, saya baru akan menikmati istirahat. Jika telah kalah Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah saya akan menikmati istirahat".
Sumpah ini bukan sekadar janji pribadi, melainkan sebuah proklamasi politik yang mengikat dirinya pada sebuah tujuan maha besar. Daftar wilayah yang ia sebutkan mencakup hampir seluruh wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia dan sebagian wilayah negara tetangga. Ini adalah sebuah visi geopolitik yang belum pernah terdengar sebelumnya, sebuah cetak biru untuk imperium maritim yang berpusat di Jawa.
Reaksi Para Pembesar Kerajaan dan Rakyat
Alih-alih disambut dengan tepuk tangan dan dukungan, sumpah Gajah Mada justru memicu reaksi sinis dan cemoohan dari sebagian pembesar yang hadir. Pararaton secara spesifik menyebutkan nama-nama pejabat yang menertawakan sumpahnya, yaitu Këmbar, Jabung terewes, dan Lëmbu pëtëng. Mereka meremehkan ambisi Gajah Mada yang dianggap terlalu muluk dan tidak realistis bagi seorang patih yang baru saja menjabat.
Sumpah tersebut menjadi kontroversial karena beberapa alasan. Pertama, skala penaklukannya sangat luas, mencakup wilayah-wilayah yang kuat dan mandiri seperti Sunda dan Bali. Kedua, janji tersebut diucapkan oleh seorang pejabat, bukan oleh raja, yang menunjukkan tingkat kepercayaan diri dan kekuasaan yang luar biasa. Ketiga, Gajah Mada mengikat nasib pribadinya dengan nasib ekspansi kerajaan, sebuah pertaruhan politik yang sangat berisiko.
Namun, sejarah membuktikan bahwa Gajah Mada bukanlah pembual. Dengan dukungan penuh dari Raja Hayam Wuruk yang kemudian naik takhta, strategi politik dan militer Gajah Mada berhasil mewujudkan sebagian besar dari sumpahnya. Cita-cita persatuan Nusantara yang lahir dari sebuah sumpah kontroversial itu akhirnya membawa Majapahit ke puncak kejayaannya, sebuah era keemasan yang pengaruhnya masih terasa hingga kini dalam konsep Wawasan Nusantara Indonesia modern. Tawa sinis para pembesar di masa lalu akhirnya sirna, digantikan oleh decak kagum sejarah atas visi besar seorang Mahapatih Gajah Mada.
Daftar Pustaka
Andrisijanti, I. (Ed.). (2014). Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Kepel Press.
Brandes, J. L. A. (1920). Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapël en van Majapahit (2nd ed.). (N. J. Krom, Ed.). Albrecht & Co.
Kern, H. (1919). Het Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 A.D.). (N. J. Krom, Ed.). Martinus Nijhoff.
Panji Prawira Yuda, R. (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. (Sastradiwirya, Trans.). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Posting Komentar