Akhir Kejayaan Demak: Perebutan Takhta Berdarah yang Mengakhiri Dinasti Islam Pertama di Jawa

Daftar Isi

Drama perebutan kekuasaan sepeninggal Sultan Trenggana pada 1546 yang melibatkan Sunan Prawoto, Arya Penangsang, dan Jaka Tingkir, berujung runtuhnya Demak.

Ilustrasi perseteruan antara Arya Penangsang dengan Jaka Tingkir pasca wafatnya Sultan Trenggana. (Generatif Gemini)

BABAD.ID | Stori Loka Jawa -  Kekuasaan, seringkali, runtuh bukan oleh serbuan legiun musuh, melainkan oleh intrik dari dalam istana. Di puncak kejayaannya, Kesultanan Demak adalah imperium maritim yang disegani, pusat syiar Islam yang benderanya berkibar dari Cirebon hingga ujung timur Jawa. Namun, semua itu sirna dalam sekejap. Bukan oleh gempuran Portugis, melainkan oleh sebilah belati dari seorang bocah pelayan. Wafatnya Sultan Trenggana yang dramatis pada tahun 1546 menjadi pemicu sebuah tragedi berdarah yang menyeret anak, paman, dan menantu ke dalam pusaran dendam dan perebutan takhta. Inilah babak akhir dinasti Demak, sebuah kisah tentang bagaimana ambisi pribadi mampu meruntuhkan warisan para wali.

Babad-babad Jawa melukiskan periode ini sebagai sebuah drama epik yang penuh intrik dan pertarungan kesaktian. Peralihan kekuasaan dari Demak ke Pajang bukanlah transisi damai, melainkan sebuah jalan pedang yang berlumuran darah para pangeran.

Wafatnya Sultan Trenggana: Maut di Ujung Ekspedisi

Pada tahun 1546, Sultan Trenggana, penguasa ketiga sekaligus terbesar dalam sejarah Demak, memimpin langsung sebuah ekspedisi militer ke Panarukan di ujung timur Jawa. Tujuannya adalah menaklukkan benteng terakhir "kekafiran" dan membendung pengaruh Portugis yang mulai merapat ke sana. Namun, takdir berkata lain. Di tengah musyawarah menyusun siasat perang, sebuah peristiwa sepele berakibat fatal. Seorang pelayan muda berusia 10 tahun, yang merasa dihina karena ditempeleng Sultan, dengan nekat menusuk sang penguasa tepat di ulu hati. Sultan Trenggana tewas seketika.

Kematian mendadak sang Sultan di medan laga ini menciptakan kekosongan kekuasaan yang berbahaya. Pasukan ditarik mundur ke Demak, dan di ibu kota, bara api perselisihan antar pewaris takhta mulai menyala, memicu kekacauan dan perang saudara yang tak terhindarkan.

Konflik Berdarah: Dendam Arya Penangsang dan Kematian Sunan Prawoto

Sepeninggal Sultan Trenggana, takhta diwariskan kepada putra sulungnya, Sunan Prawoto. Namun, suksesi ini ditentang keras oleh sepupunya, Arya Penangsang, Adipati Jipang-Panolan. Arya Penangsang menaruh dendam kesumat karena meyakini bahwa Sunan Prawoto-lah yang bertanggung jawab atas pembunuhan ayahnya, Pangeran Surawiyata (Sekar Seda Lepen), di tepi sungai beberapa tahun sebelumnya. Menurut beberapa versi babad, Pangeran Surawiyata dibunuh karena dianggap sebagai penghalang utama bagi Raden Trenggana untuk naik takhta.

Dendam itu akhirnya dituntaskan. Atas restu gurunya, Sunan Kudus, Arya Penangsang mengutus pembunuh bayaran kepercayaannya, Soreng Rangkud, untuk menghabisi nyawa Sunan Prawoto. Pembunuhan itu terjadi dengan sangat tragis. Sunan Prawoto, yang sedang sakit, ditikam saat tengah bersandar pada istrinya. Keris itu menembus tubuhnya hingga melukai sang istri, yang akhirnya tewas bersama suaminya. Namun, sebelum mengembuskan napas terakhir, Sunan Prawoto sempat menarik keris pusakanya, Kyai Bethok, dan melemparkannya hingga menewaskan Soreng Rangkud. Tragedi tak berhenti di situ. Pangeran Hadiri, suami dari Ratu Kalinyamat (putri Sultan Trenggana), juga dibunuh oleh orang-orang suruhan Arya Penangsang sepulang dari Kudus untuk menuntut keadilan atas kematian Sunan Prawoto.

Jaka Tingkir, Arya Penangsang, dan Akhir Dinasti Demak

Pembunuhan berantai ini membuat para adipati pesisir resah. Ratu Kalinyamat, yang kini menjadi janda, melakukan protes keras dengan bersumpah akan bertapa telanjang, hanya berselubungkan rambutnya (tapa wuda sinjang rambut), hingga kematian suaminya terbalaskan. Desakan inilah yang akhirnya mendorong Jaka Tingkir (Mas Karebet), menantu Sultan Trenggana yang menjabat sebagai Adipati Pajang, untuk turun tangan.

Pertarungan puncak antara Pajang dan Jipang pun tak terhindarkan. Dengan siasat cerdik dari penasihatnya, Ki Juru Martani, pasukan Pajang berhasil memancing Arya Penangsang menyeberangi Bengawan Sore—sebuah tindakan pantang yang diyakini akan membawa kekalahan. Kuda kesayangan Penangsang yang gagah berani, Gagak Rimang, dibuat tak terkendali karena melihat kuda betina yang sengaja dibawa pasukan Pajang. Di seberang sungai, Arya Penangsang langsung disambut oleh Sutawijaya (putra Ki Ageng Pemanahan) yang berhasil melukainya dengan tombak Kyai Plered.

Meski ususnya terburai keluar, kesaktian Arya Penangsang membuatnya tetap bertahan. Ia menyampirkan ususnya pada pangkal keris pusakanya, Setan Kober, dan terus mengejar lawannya. Namun, inilah akhir riwayatnya. Saat hendak menghunus keris untuk membalas, ia justru memotong sendiri ususnya yang tersampir dan tewas seketika. Dengan gugurnya Arya Penangsang, berakhirlah perang saudara dan tamat pula riwayat Kesultanan Demak. Pusat kekuasaan pun dipindahkan. Jaka Tingkir, dengan dukungan para wali dan adipati, memindahkan pusaka-pusaka keraton Demak ke Pajang dan menobatkan diri sebagai sultan dengan gelar Sultan Hadiwijaya, mendirikan dinasti baru: Kesultanan Pajang.

Daftar Pustaka

Akasah, H. (n.d.). Arya Penangsang: Perebutan Tahta Kesultanan Demak. Aziry Computer.

Arimurti, K., Amanah, S., & Sadewa, T. C. (2023). Alih Aksara Serat Babad Demak. Perpusnas PRESS.

de Graaf, H. J. (1987). Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati (Seri Terjemahan Javanologi No. 3). Grafiti Pers.

de Graaf, H. J., & Pigeaud, Th. G. Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.

Sastronaryatmo, M. (Alih Bahasa). (2011). Babad Jaka Tingkir (Babad Pajang). Perpustakaan Nasional RI & Balai Pustaka.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.