Ambisi Maritim Demak: Dari Selat Muria Menggempur Dominasi Eropa di Malaka

Daftar Isi

Menelisik peran Demak sebagai kekuatan maritim di bawah Adipati Unus, yang armadanya menyerang Portugis di Malaka dan menguasai jalur dagang pesisir.

Ilustrasi Adipati Unus memimpin pasukan Demak menggempur Portugis di Malaka. (Generatif Gemini)

BABAD.ID | Stori Loka Jawa -  Jauh sebelum Mataram menancapkan hegemoni agrarisnya di pedalaman Jawa, sebuah kekuatan besar lahir dari perairan pesisir utara. Kesultanan Demak, yang sering dikenang sebagai kerajaan Islam pertama, sesungguhnya adalah sebuah imperium maritim yang ambisius. Denyut nadi kekuasaannya tidak hanya berdetak di daratan, tetapi bergelora di lautan Nusantara. Berpusat di sebuah selat strategis yang kini telah sirna, Demak membangun armada laut yang ditakuti, menantang dominasi Eropa, dan menjadikan gelombang lautan sebagai medium dakwah dan perdagangan.

Kisah ini adalah tentang bagaimana sebuah kerajaan pesisir, dipimpin oleh seorang pangeran pemberani berjuluk Pangeran Sabrang Lor, berani menyeberangi lautan untuk menggempur benteng Portugis yang perkasa di Malaka, sebuah episode heroik yang selamanya terpatri dalam sejarah bahari Nusantara.

Selat Muria: Gerbang Perdagangan dan Kekuatan Pesisir

Letak Demak pada masanya adalah sebuah anugerah geografis. Kerajaan ini berada tepat di tepi sebuah selat yang memisahkan daratan utama Jawa dengan Pegunungan Muria, yang kala itu masih berupa sebuah pulau. Selat yang kini telah menjadi daratan itu dulunya adalah jalur pelayaran yang ramai dan dapat dilayari dengan baik, memungkinkan kapal-kapal dagang mengambil jalan pintas dari Semarang ke Rembang. Posisi strategis inilah yang menjadi fondasi kekuatan maritim Demak.

Dengan menguasai jalur vital ini, Demak menjelma menjadi penguasa mutlak lalu lintas perdagangan di pantai utara Jawa. Kota-kota pelabuhan penting seperti Giri, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban akhirnya mengakui kedaulatan Demak, bukan karena paksaan semata, tetapi karena dalam persatuan itu mereka merasa lebih aman dan kuat. Dari Selat Muria, Demak memproyeksikan kekuatannya, mengendalikan arus komoditas—terutama beras dari pedalaman—dan menjadikannya pusat niaga yang disegani.

Armada Guntur Adipati Unus: Menggempur Portugis di Malaka

Wajah kekuatan maritim Demak yang paling gagah berani adalah Adipati Unus, yang dalam catatan Portugis disebut Pate Unus. Julukannya, Pangeran Sabrang Lor (Pangeran yang Menyeberang ke Utara), bukanlah isapan jempol, melainkan bukti nyata keberaniannya memimpin ekspedisi kolosal melawan Portugis di Malaka. Serangan ini adalah respons dunia Islam Nusantara atas jatuhnya Malaka, bandar dagang Muslim terpenting di Asia Tenggara, ke tangan Portugis pada tahun 1511.

Sekitar tahun 1512-1513, bahkan sebelum naik takhta menggantikan ayahnya, Adipati Unus yang masih sangat muda—sekitar 17 tahun—mengerahkan armada laut yang luar biasa, terdiri dari sekitar 90 hingga 100 kapal jung dengan 12.000 prajurit. Armada gabungan dari Jepara, Semarang, dan Rembang ini berlayar untuk menggempur benteng Eropa yang kokoh. Meskipun serangan itu berakhir dengan kegagalan—hanya 7 atau 8 kapal yang berhasil kembali ke Jepara—keberanian Adipati Unus meninggalkan jejak yang tak terhapuskan. Konon, sebagai monumen peringatan akan pertempuran melawan "bangsa paling gagah berani di dunia" itu, sebuah kapal jung raksasa sengaja didamparkan di pantai Jepara. Kegagalan ini tidak memadamkan semangat maritim Demak; justru menjadi pemantik untuk ekspansi yang lebih luas di kemudian hari.

Menguasai Bandar-Bandar Pesisir: Jaringan Dakwah dan Perdagangan

Setelah kegagalan di Malaka, ambisi maritim Demak tidak surut. Di bawah pemerintahan Sultan Trenggana, Demak melanjutkan ekspansi ke arah barat untuk mempersempit ruang gerak Portugis. Misi ini dipimpin oleh seorang ulama-panglima perang dari Pasai bernama Faletehan atau Fatahillah, yang juga merupakan ipar Sultan Trenggana.

Pada tahun 1526, Fatahillah memimpin armada Demak dan berhasil menduduki Banten tanpa perlawanan berarti, lalu mengislamkan penduduknya. Setahun kemudian, pada awal 1527, giliran Sunda Kelapa yang direbut setelah melalui pertempuran sengit. Kemenangan ini sangat strategis karena berhasil menggagalkan rencana Portugis untuk mendirikan benteng di sana sesuai perjanjian mereka dengan Kerajaan Pajajaran. Sebagai simbol kemenangan Islam, nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta pada tahun 1527 itu juga. Melalui penguasaan bandar-bandar pesisir ini—Cirebon, Banten, dan Jakarta—Demak tidak hanya mengamankan jalur perdagangannya, tetapi juga secara sistematis menyebarkan pengaruh politik dan ajaran Islam ke seluruh pesisir utara Jawa.

Daftar Pustaka

Akasah, H. (n.d.). Arya Penangsang: Perebutan Tahta Kesultanan Demak. Aziry Computer.

de Graaf, H. J., & Pigeaud, Th. G. Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.

Kasri, M. K., & Semedi, P. (2008). Sejarah Demak: Matahari Terbit di Glagah Wangi. Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak.

Sastradiwirya (Alih Aksara). (1988). Babad Majapahit dan Para Wali 1. Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sastronaryatmo, M. (Alih Bahasa). (2011). Babad Jaka Tingkir (Babad Pajang). Perpustakaan Nasional RI & Balai Pustaka.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.