Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Arsitektur Unik Borobudur: Perpaduan Punden Berundak dan Konsep Buddha

Borobudur adalah mahakarya unik, menggabungkan punden berundak (lokal) dengan konsep Buddha dalam mencapai kesempurnaan.

Borobudur adalah mahakarya unik, menggabungkan punden berundak (lokal) dengan konsep Buddha dalam mencapai kesempurnaan.

Candi Borobudur, bangunan cagar budaya perpaduan antara punden berundak dan konsep Buddha. (Wikimedia)
Candi Borobudur, bangunan cagar budaya perpaduan antara punden berundak dan konsep Buddha. (Wikimedia)

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Candi Borobudur, yang merupakan candi bercorak agama Buddha berukuran besar dengan struktur batu andesit sebagai penyusunnya, adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang luar biasa. Keagungan monumen ini tidak hanya terletak pada skala fisik pembangunannya—yang diperkirakan membutuhkan waktu lebih dari satu abad dan menggunakan kurang lebih 55.000 meter kubik batu andesit—tetapi juga pada kejeniusan filosofis dan arsitekturalnya yang unik.

Para arsitek Jawa Kuno (shilpin) abad ke-9 Masehi berhasil menciptakan sebuah masterpiece yang sama sekali berbeda dari monumen Buddha lain di dunia, baik di Asia Tenggara maupun India. Kreativitas dan originalitas pemikiran mereka dalam menyelaraskan konsep Buddhis dengan budaya asli Indonesia menghasilkan arsitektur yang dikenal sebagai perpaduan antara punden berundak dan konsep Buddha.

1. Konsep Punden Berundak sebagai Ide Lokal

Arsitektur Candi Borobudur yang bertingkat-tingkat merupakan manifestasi fisik dari gagasan yang berpusat pada pemahaman konsep Buddhis, namun diselaraskan dengan budaya asli Indonesia.

Punden berundak (stepped pyramid) adalah bentuk asli bangunan suci nenek moyang bangsa Indonesia yang berfungsi sebagai tempat pemujaan roh leluhur dan mengakar pada tradisi megalitik. Dalam rancangannya, Borobudur mengadopsi struktur ini:

• Piramida Berundak: Borobudur memiliki bentuk denah bujur sangkar (123 x 123 meter) dan menjulang tinggi, diakhiri dengan stupa sentral di puncak. Bentuknya yang berteras-teras mengingatkan pada bangunan prasejarah untuk penghormatan terhadap jasa para leluhur.

• Fusi Simbolis: Monumen ini dirancang sebagai piramida berundak yang diatapi stupa. Perpaduan ini sangat unik: piramida berundak adalah aspek fundamental dalam sistem pemujaan leluhur (ancestor worship), sementara stupa jelas berasal dari Buddhisme. Kontradiksi ini digabungkan secara indah, baik secara arsitektural maupun simbolis, menunjukkan kejeniusan para arsitek di baliknya.

• Modifikasi Bukit Alam: Candi Borobudur dibangun di atas sebuah bukit alam yang telah dimodifikasi. Bukit ini dipotong, namun disisakan sebagian sebagai inti candi yang berada tepat di bawah stupa besar. Bukit alami yang dimodifikasi sebagai platform candi ini juga menguatkan keterkaitan Borobudur dengan konsep gunung suci.

2. Borobudur sebagai Bunga Teratai (Lotus)

Salah satu interpretasi yang paling puitis mengenai bentuk arsitektur Borobudur adalah hipotesa yang diajukan oleh arsitek Belanda, Nieuwenkamp (1933), yang menyatakan bahwa Candi Borobudur merupakan perwujudan sebuah ceplok bunga teratai yang mengapung di tengah-tengah telaga (Fiet Borobudur Meer).

• Dukungan Geologis: Hipotesa Nieuwenkamp ini diperkuat oleh penelitian geologi yang dilakukan oleh van Bemmelen pada tahun 1952, yang menyebutkan bahwa telah terbentuk danau yang luas di daerah Magelang Selatan, kemungkinan akibat letusan Gunung Merapi sekitar tahun 1006. Analisis geomorfologi dan interpretasi foto udara juga menunjukkan bahwa dataran Borobudur pada masa paruh kedua zaman Kuarter merupakan lingkungan danau. Meskipun penelitian terbaru (2011) menunjukkan Borobudur dibangun di atas batuan yang kering, bukan danau purba, gagasan lotus ini tetap kuat secara simbolis.

• Simbolisme Buddha: Bentuk candi yang menyerupai bunga teratai merupakan ide orisinil yang luar biasa dari nenek moyang bangsa Indonesia dalam menggabungkan dua konsep (punden dan Buddha). Dalam Buddhisme, bunga teratai (padma sana) melambangkan kemurnian dan pencerahan. Posisi arca Buddha di puncak Borobudur yang duduk hening bersamadhi dalam posisi lotus adalah ekspresi tak berwujud (formless) yang melambangkan "mekarnya teratai di atas telaga dunia yang kotor berlumpur dukha".

3. Mengapa Borobudur Tidak Memiliki Ruang Pemujaan (Cella)

Perbedaan arsitektural Borobudur yang paling mendasar dibandingkan candi-candi lain, baik Hindu maupun Buddha di Jawa, adalah ketiadaan ruang utama inti candi (garbhagrěha) atau bilik pemujaan (cella).

Secara tradisional, bangunan yang disebut “candi” (atau candikagrha) di Jawa seharusnya memiliki patung yang berdiri bebas sebagai objek pemujaan, ditempatkan di dalam ruang inti. Borobudur tidak memiliki elemen esensial ini; candi ini tidak memiliki ruangan, tidak memiliki patung yang mewakili raja-dewa, dan bahkan tidak memiliki atap untuk menaunginya.

• Fungsi Berbeda: Ketiadaan cella ini mengisyaratkan bahwa fungsi dan tujuan pembangunan Candi Borobudur berbeda dari candi-candi lain yang umumnya dibangun sebagai tempat pemujaan.

• Monumen Pembelajaran: Borobudur sebaliknya dirancang sebagai sebuah monumen untuk pembelajaran, tempat untuk mencapai pencerahan atau kesempurnaan. Struktur 10 tingkat dan ribuan panel reliefnya (mencapai 6 km jika dipanjangkan) adalah sarana bagi peziarah untuk melakukan perjalanan spiritual (pradaksina) secara fisik dan mental melalui Triloka (Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu), meninggalkan dunia hasrat menuju nirwana.

• Stupa Agung: Sejumlah peneliti lebih memilih menyebut Borobudur sebagai Stupa Agung daripada candi dalam arti bangunan suci yang menyimpan arca dewa pujaan dalam ruangan inti. Bentuknya yang stupa besar, terdiri dari sepuluh tingkatan dengan lorong jalan keliling, menegaskan fungsi utamanya sebagai jalur ziarah dan pembelajaran kosmologi Buddhis.

Arsitektur Borobudur adalah bukti nyata kearifan lokal dan keterampilan tinggi nenek moyang bangsa Indonesia. Monumen ini bukan sekadar tiruan dari model asing, melainkan hasil kreasi orisinal yang menggabungkan struktur megalitik punden berundak dengan konsepsi filosofis Buddha Mahayana yang mendalam. Penggabungan ini menghasilkan bangunan yang unik—sebuah Stupa Agung yang berfungsi sebagai "perpustakaan seni dan budaya berbentuk batu" dan jalur spiritual bertingkat, yang secara sengaja tidak memiliki cella karena tujuannya adalah memandu peziarah melalui narasi kosmos, bukan sebagai tempat pemujaan statis. Keunikan ini menempatkan Borobudur sebagai salah satu mahakarya peradaban dunia.

Daftar Pustaka

Anonim. (1974). Reports and Documents of the Consultative Committee for Safeguarding of Borobudur. Proyek Pelita Pemugaran Candi Borobudur.

Balai Konservasi Borobudur. (2012). 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur Candi Borobudur dalam Multiaspek (Trilogi III). Balai Konservasi Borobudur.

Balai Konservasi Borobudur. (2012). 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur Dekonstruksi dan Rekonstruksi Candi Borobudur (Trilogi II). Balai Konservasi Borobudur.

Balai Konservasi Borobudur. (2012). 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur (Trilogi I). Balai Konservasi Borobudur.

Bernet Kempers, A.J. (n.d.). Ageless Borobudur - Buddhist mystery in stone, decay and -- Bernet Kempers, August Johan , 1906.

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. (2013). Candi Indonesia Seri Jawa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Soekmono, R. (n.d.). Candi Fungsi dan Pengertiannya.

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com