Berguru di Banyubiru: Perjalanan Spiritual Jaka Tingkir Kepada Ki Ageng
Mengungkap peran Ki Ageng Banyubiru (Ki Kebo Kanigara) sebagai guru spiritual Jaka Tingkir setelah diusir dari Demak, dan pembekalan "tanah dagan" sakti.
![]() |
Ilustrasi Jaka Tingkir berguru kepada Ki Ageng Banyubiru. (Generatif Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Kisah Jaka Tingkir (Mas Karebet) setelah diusir dari Demak Bintoro adalah babak penting dalam riwayatnya, mengubahnya dari pemuda yang dipermalukan menjadi calon pemimpin spiritual dan politik Jawa. Setelah insiden kontroversial yang mengakibatkan ia kehilangan jabatan Lurah Tamtama, Jaka Tingkir digambarkan berjalan sendirian, tanpa pengiring, menuju hutan di pinggir sungai (wanardi dan pinggir kali).
Ia kehilangan kehormatan dan semangat hidup (tanpa bayu), pandangannya kabur (sumaput kang panon), dan semua yang melihatnya merasa kasihan (langkung kawlas asih). Periode pengasingan ini merupakan kebutuhan mendesak untuk menemukan kembali jati diri dan membangun kekuatan spiritual yang tak lagi bergantung pada legitimasi kekuasaan duniawi Demak.
Untuk mencapai takdir agungnya sebagai penguasa, Jaka Tingkir harus mencari guru yang bukan hanya mengajarinya ilmu perang, tetapi juga mengajarkan ilmu sejati, yang membawanya ke dukuh Sarehan, tempat bersemayamnya Ki Ageng Banyubiru.
Pencerahan dari Sahabat Lama Sang Ayah
Dalam kebingungannya, Jaka Tingkir bertemu dengan Ki Ageng Butuh, salah satu sahabat seperguruan dan kerabat ayahnya (Ki Ageng Pengging/Kebo Kenanga). Pertemuan ini sangat emosional. Ki Ageng Butuh memeluk dan menangisi Jaka Tingkir, terharu karena nasib buruk yang menimpa putra sahabatnya itu.
Setelah mendengarkan seluruh kisah Jaka Tingkir, Ki Ageng Butuh memberikan saran yang krusial. Ia menasihati Jaka Tingkir agar:
1. Mengunjungi dan bersemedi di makam orang tuanya, Ki Ageng Pengging.
2. Setelah itu, berguru kepada Ki Ageng Banyubiru yang berada di daerah Sarehan Jatingarang.
Ki Ageng Banyubiru dikenal sebagai tokoh guru yang mumpuni, sakti mandraguna, dan memiliki sifat welas asih.
Ki Ageng Banyubiru: Sang Kakak yang Memilih Jalan Sunyi
Ki Ageng Banyubiru bukanlah orang asing bagi Jaka Tingkir. Ia adalah Ki Kebo Kanigara, kakak kandung dari Ki Kebo Kenanga (ayah Jaka Tingkir). Setelah wafatnya Adipati Handayaningrat Makurung (kakek Jaka Tingkir), Ki Kebo Kanigara menolak takhta Pengging dan memilih jalan berkelana untuk menemukan jati diri.
Perjalanan spiritualnya dikenal ekstrem, termasuk melakukan tapa kungkum (merendam diri) selama tujuh tahun di Rawa Pening. Karena pertapaannya membuat air di Rawa Pening berubah menjadi biru, ia dijuluki Ki Ageng Banyubiru.
Ki Ageng Banyubiru juga memiliki latar belakang spiritual yang sama dengan ayah Jaka Tingkir, yakni sama-sama menjadi murid dari Syeh Siti Jenar (atau Syeh Sitijenar/Syeh Lemah Abang), bersama Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang, dan Ki Ageng Butuh. Meskipun Syeh Siti Jenar dituduh murtad dan dihukum mati oleh Majelis Wali Sanga, kelompok spiritual ini tetap memiliki pengaruh besar. Ki Ageng Banyubiru akhirnya menetap di Dukuh Sarehan, Desa Jatingarang, Sukoharjo, hingga akhir hayatnya.
Pembekalan Ilmu dan Janji Kekuasaan
Pertemuan antara paman dan keponakan ini di Jatingarang diceritakan sangat mengharukan. Ki Ageng Banyubiru kemudian menerima Jaka Tingkir sebagai muridnya. Mengetahui ketekunan dan bakat yang dimiliki Jaka Tingkir dalam olah kanuragan, Ki Ageng Banyubiru semakin menyayanginya.
Selama tiga bulan (tigang sasi), Jaka Tingkir mendalami ilmu spiritual di Banyubiru. Ia diajari ngelmu jaya-kawijayan (ilmu kekebalan atau kejayaan) dan wididya-kawididyan (ilmu kesaktian).
Bahkan sebelum Jaka Tingkir kembali ke Demak, Ki Buyut di Banyu Biru (Ki Kebo Kanigara) telah meramalkan nasib muridnya di hadapan murid-murid lain (Ki Wuragil dan Ki Manca), menyatakan bahwa Jaka Tingkir adalah tamu istimewa yang kelak akan menjadi raja yang memimpin tanah Jawa:
“Iya wruhanira sami/ mÄ•ngko ingsun dhadhayuwan/ bakal ratu iku tÄ•mbe/ pan amÄ•ngku ing ngrat Jawa…”
(Ketahuilah kalian semua/ sekarang aku kedatangan tamu agung/ ia kelak akan menjadi raja/ yang akan memimpin di tanah Jawa...).
Sebagai bekal kepulangan ke Demak Bintoro, Ki Ageng Banyubiru memberinya segumpal tanah yang telah dimantrai. Tanah ini, sering disebut "tanah dagan" atau "tanah sĕkti", berfungsi sebagai pusaka yang akan menjadi kunci bagi Jaka Tingkir untuk mengatasi rintangan politik dan mendapatkan pengampunan Sultan Trenggana. Dengan bekal spiritual dan ramalan agung ini, Jaka Tingkir pun meninggalkan Sarehan Jatingarang, bersiap menghadapi ujian berikutnya di Gunung Prawata.
Daftar Pustaka
Graaf, H. J. de, & Pigeaud, Th. G. Th. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Pers.
Kasri, M. K., & Semedi, P. (2008). Sejarah Demak: Matahari Terbit di Glagahwangi.
Moelyono Sastronaryatmo. (2011). Babad Jaka Tingkir (Babad Pajang). Perpustakaan Nasional.
Muljana, S. (2005). Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit). LKiS.
Serat Babad Demak (Alih Aksara). (2023). Krisna Arimurti, Siti Amanah, Tio Cahya Sadewa.
Tim Penyusun. (2001). Legenda Ki Ageng Banyubiru dan Joko Tingkir: Ds. Jatingarang. Sub Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Sukoharjo.